Salahsatu kampanye penggalangan donasi untuk pengungsi Suriah yang peruntukannya tidak tepat sasaran. Bahkan diduga jatuh ke kelompok teroris.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
PENGUNGKAPAN skandal yang begitu gamblang, rinci yang fakta dan datanya terbongkar dari kalangan mereka sendiri, karena konflik internal – menimbulkan kehebohan masyarakat – mendorong pemerintah akhirnya membekukan izin ACT – lembaga pengumpul sumbangan masyarakat yang telah disalahgunakan.
Menteri Sosial melalui SK No 133/HUK/2022 mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan kepada Yayasan ACT di Jakarta Selatan pada Rabu (06/07).
Ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah sumbangan warga dan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan – diselewengkan dan sebagiannya digelapkan digunakan sebagiannya untuk memperkaya diri, mensejahterakan keluarganya, tanpa mempertimbangkan bahwa di luar sana, orang orang menyumbang ala kadarnya, yang dengan ikhlas untuk membantu orang lain, sepenuh hati.
Lebih parah lagi, karena dana sumbangan ratusan miliar itu diduga juga disalurkan kepada kelompok terlarang, kelompok teroris di luar negeri mungkin juga dalam negeri, khususnya di Suriah – juga konon ke partai tertentu. Terbukti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah membekukan lagi 300 rekening ACT yang tersebar di 41 penyedia jasa keuangan (PJK).
Dengan teknologi canggihnya, PPATK bisa menelusuri aliran uang ke pihak pihak kemana pun. Densus 88 pun telah mendapat laporannya.
Presiden lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar dalam konferensi pers di kantor ACT, Menara 165, Jakarta, Rabu (6/7/2022), mempertanyakan keputusan pencabutan izin dari Kementerian Sosial (Kemensos) itu dan menyatakan, berusaha bersikap kooperatif untuk membuka transparansi pengelolaan keuangan.
“Bersikap kooperatif” hanya memperingan hukuman kelak, karena sudah ada dugaan pidana. Keterangan berbelit tak kooperatif malah akan memperberat hukuman.
Dugaan pidana penggelapan, penipuan dan penyalahgunaan wewenang sudah membayang dalam pengusutan kasus ini.
Hemat kita – dan harapan masyarakat lain – kasus ACT tak berhenti hanya dengan mencabut izin, melainkan juga pengusutan lebih lanjut.
Berkah konflik internal oleh mismanajemen – serta keserakahan pendiri dan pengurusnya – terkuak skandal penyaluran dana yang menghebohkan masyarakat kini.
Heboh di media mempercepat tindakan aparat dan lembaga pemerintah yang mengawasi kegiatan mereka.
ACT patut diduga menyalahgunakan kedermawanan warga dan masyarakat yang terus didakwahi agar terus beramal untuk sesama, tetapi mereka menilepnya untuk keuntungan pendiri keluarga dan stafnya.
Membiarkan lembaga seperti ACT – yang sudah 17 tahun beroperasi – terus mengumpulkan dan mengelola dana masyarakat – bukan hanya merugikan warga, melainkan juga membahayakan negara. Dana yang begitu besar yang terkumpul selama ini, patut diduga tersalur ke teroris teroris klas dunia.
DALAM KASUS lain, di Jombang, Jawa Timur, akhirnya pelaku anak Kiai asal Jombang dijemput paksa polisi atas kasus pencabulan di Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah, polisi juga mengamankan puluhan orang yang berjaga-jaga di ponpes tersebut.
Sempat terjadi kericuhan pada saat polisi hendak menjemput tersangka yang telah menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus pencabulan yang dilakukan di wilayah ponpes.
Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42), putra Pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang berstatus tersangka sejak 2019 dan sudah menjadi DPO kasus pencabulan santriwati sejak 13 Januari 2022. Kasus pencabulan santriwati yang dilaporkan oleh aktivis perempuan sejak akhir tahun 2019 silam itu, dan selama tiga tahun jalan di tempat. Dia dilaporkan bersembunyi dari pihak berwenang di ponpes sekaligus kediaman keluarganya.
Sang Kyai, yaitu KH Muhammad Mukhtar Mukthi, dengan wibawa dan kharismanya – yang selama ini membuat aparat setempat segan – terus mencegah polisi menangkap anaknya. Bahkan membawa keselamatan bangsa segala. “Demi untuk keselamatan kita bersama. Demi kejayaan Indonesia Raya, “ katanya.
DUA PERISTIWA di atas menunjukkan kita sedang bermasalah dengan orang orang yang menggunakan agama untuk penipuan dan pencabulan. Mereka, para pelaku, jelas belajar hukum agama: akhlak, adab, hal hal yang haram dan halal, tapi tanpa rasa bersalah mempermainkannya. Mengelabui umat awam.
Doktrin agama yang disuntikkan hingga “over dosis” membuat para korban jemaah / umat tak berdaya dibawah bujukan, tekanan dan ancaman – kasar maupun halus dari para pendakwah dan calo calo agama – agar mereka mengikuti apa saja, yang mereka inginkan. Terus berderma, terus peduli sesama, terus menyumbang, dan mereka yang menangguk dana menyelewengkan untuk memakmurkan diri sendiri dan kawan kawannya.
Tindakan itu tidak hanya bertentangan dengan hukum positif, undang undang dan aturan yang berlaku – melainkan juga etika, moral, agama, serta keadaban sosial yang berlaku di negeri kita dan di mana pun.
Mereka memanfaatkan belas kasihan dan semangat gotong royong serta kepedulian sesama untuk menggelembungkan kantong sendiri. Karena itu, tindakan tegas memang harus dilakukan.
Ciri ciri negara maju adalah ketegasan penegakkan hukumnya. Makin maju satu negara, makin tegas penegakkan hukumnya. Makin transparan. Dan berlaku bagi siapa pun, yang melanggar, tidak tebang pilih, tidak ada mentang mentang.
Hukum Indonesia selama ini terlalu baik, terlalu longgar dan lemah dalam menghadapi orang orang yang dianggap alim dan merasa beragama.
Khususnya dari agama mayoritas.
Bahkan, sebagai bagian dari mayoritas, saya menganggap hukum kita masih diskriminatif. ***