Helen Johnson, wanita miskin pencuri 5 butir telor yang dibebaskan polisi AS karena alasan kemanusiaan. Roy Suryo, politisi Demokrat yang tiba-tiba memakai kursi roda, dibebaskan dari bui karena alasan kemanusiaan. Dua kasus kemanusiaan dari persoalan hukum dengan pendekatan berbeda.
Anda pernah merasa kelaparan sekali ? Jika belum cobalah merasakan penderitaan orang-orang miskin; tidak makan baranbg sehari dua hari. Anggap anda tidak punya uang dan tidak memiliki siapapun di dunia ini. Apa yang anda lakukan ? Anda akan mencari makan. Pilihannya dua; mengemis untuk memperoleh makanan, atau mencuri untuk mengisi perut.
Itu yang dilakukan ival Wibowo (27), pria asal Ampenan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia terpaksa berurusan dengan hukum karena mencuri. Dia mengaku mencuri di rumah makan karena terdorong rasa lapar saat baru menginjakkan kakinya di Bali. Rival dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Gara Gara Toa
Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, tinggal dekat Mesjid. Suatu harai, suara toa menggema begitu keras sampai ke telinganya. Ia mendatangi pengurus mesjid agar suara toa dipelankan. Bukannya memelankan suara toa, Meliana dilaporkan telah menista Agama Islam.
Meliana dipolisikan dan langsung masuk bui. Meliana mengajukan kasasi namun ditolak, Mahkamah Agung memberi ganjaran atas penistaan gama selama 18 bulan setelah ia dimaki-maki banyak orang dan rumahnya dibakar.
Itu tak jauh dari nasib yang menimpa Ahok Basuki Tjahaya Purnama hanya karena seseorang yang membencinya, Buni Yani memelintir sepenggal ayat Al Quran, Gubernur DKI itu masuk penjara dan dihabisi kariernya.
Tak semua penista agama masuk penjara. Tak semua perkara remeh temeh bahkan masuk kasus berat masuk penjara. Tergantung siapa yang melakukan, siapa yang melaporkannya.
Kursi Roda Roy Suryo
Hukum di Indonesia masih timpang, buta dan tidak adil. Jika punya waktu untuk riset atau survei kecil-kecilan, cari saja berita hukum di negeri ini yang jelas membenturkan perlakuan yang tidak adil. Jika anda rakyat jelata, masyarakat biasa, apalagi minoritass dan tidak memiliki pengacara terkenal, bui sudah pasti akan menjadi kehidupan anda berikutnya.
Kasus baru-baru ini saja telah memberikan gambarak nyata betapa hukum memang pilih kasih.
Roy Suryo, politisi dari partai Demokrat, benar-benar telah menghina dua pihak, Presiden Jokowi dan Umat Budha. Ia membuat ilustrasi patung Budha yang diedit menjadi wajah Presiden Republik Indonesia. Orang marah, tapi tak ada yang melapoarkan. bahkan Presiden sekalipun, seperti biasa, berdiam diri. Namun penganut Budha melaporkan Roy Suryo.
Roy diperiksa berjam-jam, dicap tersangka, namun kemudian tidak masuk bui. Ia seorang politisi partai Demokrat. Ada pertimbangan atau bantuan lain yang diberikan sehingga ia tak perlu masuk penjara, Apalagi dengan gambaran ia memakai kursi roda saat akan diperiksa, semua peristiwa dan keputusan bisa berubah. Polisi melunak, entah kenapa.
Kemanusiaan Nikita
Nikita Mirzani dianggap menghina dan merugikan seseorang, sehingga ia dijadikan tersanka. Ia ditangkap saat belanja di mall, diperiksa polisi, lalu dibebaskan. Alasan polisi adalah kemanusiaan. Nikita artis ternama, punya uang, punya pengacara. Lagi-lagi polisi yang semula menangkap paksa saat Nikita berada di mall ditangkap karena dianggap tidak kooperatif. Namun ia dilepas. Tentu ada hal-hal lain yang membuatnya ia tak perlu masuk penjara, selain ia artis.
Bagaimana dengan Meliana yang hanya menegur soal toa hingga dimusuhi massa, rumahnya dibakar dan masih ditahan ? Apanya yang salah dengan menegur soal toa ? Apakah toa telah menjadi lambang sebuah agama ? Salahnya Meliana dan Ahok karena mereka minoritas. Tak ada kata demi kemanusiaan. Hukum tiba-tiba menutup mata. Bahkan kemanusiaan juga tak ada. Tak peduli Ahok berjasa pada Jakarta, tak peduli Ahok seorang gubernur panutan, tapi ia minoritas dan perlakukannya dijatuhkan secara tersendiri. Aapalagi jika dalam kasus seperti ini, banyak kelompok agama yang tak menyukainya. Yang mendorong hukum yang mestinya biasa-biasa saja, menjadi luar biasa.
Melunak Demi Kemanusiaan Umum
Hukum bukan lagi soal pasal-pasal, melainkan siapa yang memutuskan. Unsur kemanusiaan, keberpihakan dan unsur kelompok yang sama, mendominasi hukum di Indonesia. Pasal-pasal bisa dilunakkan. Tergantgung orangnya, tergantung keberpihakannya. Sehingga ketika ada undang-undang atau peraturan baru yang sedang dibuat diperdebatkan, sering ingin tersenyumn sendiri. Hukum bukan hanya menyangkut pasal, melainkan pelaksanaan di lapangannya. Keadilan hukum masih bisa diperdebatkan.
Saya sepakat jika hukum melunak karena kemanusiaan. Namun kemanusiaan secara umum yang dipahami masyarakat, bukanlah pada status seseorang, melainkan pada hati nurani secara umum. Ketidaksengajaan dan keterpaksaan yang membuat seseorang melanggar hukum, menurut saya layak masuk katagori atas nama kemanusiaan. Apalagi dilakukan orang miskin, tak berpendidikan dan karena keterpaksaan.
Jika Ival Wibomo yang lapar kemudian mencuri lalu dibebaskan karena alasan kemanusiaan, sangat masuk akal. Tapi Roy Suryo, Nikita Mirzani yang jelas-jelas dengan sengaja melakukan penghinaan dan penistaan agama, harusnya diproses hukum sebagaimana aturan hukum yang beralku, jika kita ingin hidup dalam aturan hukum dan menghormatinya
Kisah Polisi Dan Kemanusiaan
Ada kisah menarik tentang alasan polisi soal kemanusiaan terhadap seorang pencuri.
Seperti dikutip dari Kompas, Helen Jojhnson. seorang wanita di Alabama, AS tertangkap basah oleh karyawan supermarket setelah mencuri lima butir telur. Pihak supermarket menahan Helen agar tidak kabur sembari menelepon polisi.
Saat tiba, polisi bernama William Stacy menginterogasi Helen dan menemukan barang yang dicuri, yakni lima butir telur. Kepada Stacy, Helen mengaku terpaksa mencuri lima butir telur karena anak dan cucunya sudah dua hari tak makan. ( Ingat; Stacy kulit putih, Helen kulit berwarna. Namun kasus ini meniadakan soal perbedaan. Ini manusia dan manusia)
Polisi menerima alasan Helen. Ia tidak ditahan. Ia malah mendapat banyak bahan makanan dari polisi. Helen menangis melihat perlakukan polisi yang sangat manusiawi ini.
Polisi juga terharu oleh kisah Helen yang miskin dan terpaksa mencuri. Setiap minggu Helen harus memberi makan dua putrinya, keponakan dan dua cucu yang masih balita. Helen memberi mereka makan dengan uang pensiun yang hanya US$120 sebulan. Namun, minggu lalu uang itu hilang melalui pos hingga membuat keluarga Helen kelaparan.
Pada hari Sabtu, keluarga itu belum makan selama dua hari. Helen pergi ke supermarket dengan hanya US$1,25 untuk membeli telur. Namun, karena tidak cukup, Helen terpaksa mencuri.
Helen Johnson yang mencuri 5 butir telor karena terpaksa, karena miskin dan anak cucunya kelaparan, dibebaskan dari hukum karena alasan kemanusiaan.
Perhatian Terhadap Orang Miskin
Setelah peristiwa itu, keesokan harinya, Stacy dan beberapa anggota polisi setempat mendatangi rumah Helen, membawa banyak bahan makanan pokok. Melihat hal ini, Helen tak mampu menahan kesedihannya. Helen pun memeluk Stacy dan polisi lain sambil menangis
Kejadian mengharukan dan manusiawi ini menjadi pemberitaan di berbagai media setempat. Banyak dukungan mengalir kepada Helen dari berbagai pihak. Tak hanya makanan, banyak juga sumbangan pakaian dan uang kepada Helen.
Peristiwa hukum ini jelas telah mempertontonkan sisi kemanusiaan secara manusiawi, adil dan beradab. Ini perlakukan yang layak diberikan kepada orang-orang tertentu karena alasan kemanusiaan. Mencuri karena terpaksa, mencuri karena kelaparan.
Bukan karena stattus atau kekuatan di balik semua itu. Kemanusiaan adalah ketika hati nurani kita, kemanusiaan kita tersentuh oleh sebab nasib orang lain yang tidak lebih baik dari kita.
ARTIKEL LAIN: