Oleh HARRY TJAHJONO
Dulu, sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pandangan Doni pada profesi sekretaris cenderung negatif. Mungkin karena terpengaruh berita di koran dan majalah, yang gemar memberitakan perselingkuhan antara bos dan sekretarisnya. Atau barangkali disebabkan Doni belum tahu persis apa itu sekretaris.
Namun, setelah mengenal dan bergaul dengan Susi, pandangan Doni langsung berubah dratis. Sebagai sekretaris bos, Susi sungguh sigap, cekatan, terampil, dan perfeksionistis. Ditunjang penampilannya yang selalu indah sehingga kesannya tak pernah lelah, Susi sungguh patut disebut Si Manis Sekretaris. Lagipula, di kantor Doni, popularitas Susi memang melampaui rating sinetron Ikatan Cinta.
“Seandainya saya jadi bos, saya akan mencari sekretaris seperti Susi,” kata Pram, sejawat kerja Doni, berangan-angan.
Seandainya jadi bos, Doni pasti juga akan merekrut sekretaris sekualitas Susi. Dengan mempekerjakan sekretaris sekaliber Susi, semua pekerjaan pasti serba beres.
Lihatlah sendiri, apa yang tidak mampu dikerjakan Susi?
Susi dengan cermat mengatur jadwal harian bos. Dengan teliti menyeleksi telepon yang perlu dan tidak diterima bos. Susi dengan seksama menyaring tamu-tamu yang ingin bertemu bos. Susi dengan kepekaan seorang perancang busana memilihkan warna dasi, jas, dan kemeja bos agar sesuai dengan siapa bos akan berjumpa. Susi dengan cerdas menyusun pidato, jadwal golf atau tenis, serta secara ketat mengatur menu makan bos. Dengan demikian, kesehatan bos selalu terjaga. Tak mungkin kelebihan kolesterol, sehingga aman dari ancaman serangan jantung sebagaimana sering dialami kaum bos pada umumnya.
Berkat Susi, penampilan bos senantiasa prima, selalu nampak necis dan pintar. Kekurangan, bahkan kebodohan bos, dengan sempurna tertutupi hasil kerja Susi.
“Tanpa Susi, bos pasti loyo,” kata Pram pada suatu ketika.
“Jangan-jangan hubungan mereka lebih dari sekedar antara bos dengan sekretaris,” kata Kicep.
“Ya jelas lebih, dong,” sahut Jono.
Kantor, dimanapun, memang sebuah habitat yang membuat gosip dapat tumbuh subur. Maka, di kantor Doni, gosip tentang Susi juga berkembang-biak tanpa perlu bantuan teknobiologi kloning.
Tapi, Doni berusaha untuk tidak terlibat menggosipkan hubungan Susi dengan bos. Selain takut, Doni tahu Susi bukan tipe wanita penyelingkuh. Ia punya anak dan suami. Susi pernah mengatakan pada Doni, bahwa ia sangat mencintai anak dan suaminya. Dan Doni percaya.
Meski belum kenal dengan suaminya, Doni merasa yakin rumah tangga Susi tentulah bahagia. Suami mana yang tak bahagia bila punya istri seperti Susi? Selain cantik dan cekatan, gajinya juga lebih dari lumayan.
Dalam benak Doni terbayang betapa suami Susi setiap hari selalu tampil prima berkat istri. Seperti bos, segala keperluannya diatur dengan tertib, serba beres dan rapi jali. Suami mana, oii…, yang tidak merasa beruntung punya istri seperti Susi? Seandainya istri Doni juga sekretaris sekaliber Susi, alangkah indahnya hidup ini. Sayangnya, istri Doni hanyalah ibu rumah tangga biasa.
Terus terang saja, Doni sering merasa iri pada suami Susi. Maka, Doni sungguh terkejut ketika pada suatu hari Pram datang dan bilang bahwa, “Suami Susi kawin lagi…”
Doni melototi Pram, mencurigainya akan menyebar gosip.
“Ini fakta, bukan gosip,” lanjut Pram serius.
Doni masih tetap curiga.
“Kamu kan tahu, saya kenal akrab dengan Bas, suami Susi. Saya heran.., bagaimana mungkin Bas bisa mengkhianati istri sebaik Susi,” kata Pram bernada menyesalkan.
“Iya, ya…, penyebabnya apa ya?” tanya Doni terpancing.
“Sepele. Kata Bas pada saya, ia bosan diperlakukan seperti bos. Ia merasa capek karena kegiatannya setiap hari selalu dijadwal dan diatur. Dari cara berpakaian sampai jenis makanan, mesti sesuai dengan yang telah disusun Susi,” kata Pram.
“Seperti bos?” tanya Doni.
“Ya.., seperti bos. Dan Bas bilang pada saya bahwa ia ingin diperlakukan sebagai suami. Bukan sebagai bos! Maka, ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang memperlakukannya sebagai suami, Bas langsung menikahinya…”
Doni tak begitu memperhatikan kelanjutan ucapan Pram. Doni pikir, suami Susi terlalu mengada-ada. Dasar hidung belang, pandai benar mencar-cari alasan.
“Tapi, boleh jadi alasan Bas ada benarnya. Mungkin memang bukan pada tempatnya jika seorang istri memperlakukan suaminya sebagai bos. Seperti juga bukan pada tempatnya jika suami memperlakukan istrinya sebagai sekretarisnya,” lanjut Pram.
Mendengar ucapan Pram yang bernada “filosofis” itu, diam-diam Doni merasa bersyukur punya istri seorang ibu rumah tangga biasa. *