Oleh HARRY TJAHJONO
Kamis dini hari, 8/7/2021, rumah pasangan Dona-Doni lebih semarak dari semifinal Italia vs Spanyol kemarin. Maklum, selain kedua anaknya, Dono-Dini, juga ada bapak mertua Doni sengaja menginap. Kedatangannya selain nonton semifinal Inggris vs Denmark, juga demi mendukung Dona yang menjagokan Denmark, melawan Doni-Dini yang fanatik Inggris. Sedangkan Doni, seperti biasa, memilih netral meskipun akhirnya jadi terpojok sana-sini.
Pertandingan berlangsung seru. Tim Dinamit lebih dulu unggul lewat tembakan bebas Mikkel Damsgaard di menit ke-30. Tapi, sembilan menit kemudian, The Three Lions mampu menyamakan skor 1-1 lewat gol bunuh diri Simon Kjaer. Dona dan bapaknya beserta Dono-Dini dengan semangat berkobar memberikan support yang menggemuruh. Tapi, Doni memilih diam. Doni memang penggila bola. Tapi, di depan bapak mertuanya, Doni merasa lebih asyik dan lebih aman jika berselancar di kenangan masa lalunya.
DONA-DONI, menurut Parman dan teman Doni yang lain, adalah contoh konkret pasangan ideal yang pantas didambakan pasangan suami-istri di muka bumi ini. Pun bahkan ketika masih berpacaran, mereka berdua sudah menjadi idola teman-teman—termasuk Parman.
Maklum, Dona wanita cerdas, berbodi langsing semampai, berkulit putih pualam, cantik lagipula anak tunggal keluarga berada. Sedangkan Doni pria cerdas, bertubuh atletis, tampan dan mempunyai pekerjaan cukup baik. Ditambah lagi, Dona dan Doni sama-sama sangat mencintai bahkan cenderung tergila-gila sepakbola. Maka ketika mereka menikah, kecintaan pada sepakbola itu benar-benar menyatu. Pasangan Dona-Doni lantas identik dengan Donadoni, si gelandang penyerang AC Milan yang memperkuat tim nasional Italia di World Cup USA ’94.
Kecintaan pada sepakbola bahkan membuat Dona-Doni pernah bercita-cita ingin mempunyai 11 anak laki-laki. “Kalau cita-cita itu terkabul, saya akan didik mereka supaya menjadi tim kesebelasan yang jauh lebih tangguh dari PSSI. Supaya sepakbola Indonesia bisa berlaga di tingkat Internasional,” kata mereka waktu itu.
Namun, cita-cita itu tidak kesampaian. Sebab, “Orangtua Dona tidak setuju. Mereka memutuskan agar anak kami paling banyak tiga. Dona cuma bisa menurut. Saya sendiri mana mungkin melawan kemauan orangtua? Sabda mertua itu, bagi saya, ibarat keputusan wasit yang tak bisa diganggu gugat, meskipun bikin kita geram dan kecewa,” kata Doni ketika ngobrol berdua Parman di warung kopi.
Namun, kecintaan Dona-Doni pada sepakbola tak lantas pudar hanya karena gagal diijinkan mertua untuk punya 11 anak laki-laki. Lagipula cita-cita semacam itu memang, terbilang berlebihan. Selain itu, mereka juga menerapkan srategi dan falsafah sepakbola dalam mengelola kebahagian rumah tangganya. Bagi Dona-Doni, sebuah perkawinan adalah sebuah tim kesebelasan, di mana masing-masing anggota keluarga punya hak, kewajiban dan fungsi tertentu.
Doni, misalnya, memposisikan dirinya sebagai kapten kesebelasan yang mengatur strategi penyerangan maupun pertahanan. Akan halnya Dona ditempatkan sebagai kiper yang harus menjaga agar gawang tidak kebobolan—dalam arti bisa mengatur keuangan, tidak boros dan seterusnya. Sedangkan kedua anaknya diibaratkan para pemain yang harus terus-menerus dilatih dan ditempa agar siap berlaga dan mampu mencetak gol di medan kehidupan.
Pendeknya, rumah tangga Dona-Doni ibarat kesebelasan AC Milan yang dijuluki The Dream Team. Sebab itu Parman merasa heran tatkala Doni mengeluh bahwa, “Sesunggunya saya tidak bahagia…..”
“Apa lagi yang kurang sih, Don? Istri, anak, status sosial ekonomi? Semuanya kan serba istimewa, bahkan harusnya kamu syukuri. Jarang ada orang yang seberuntung kamu lho, Don….,” kata Parman mencela keluhannya.
“Ya, anak dan istri saya memang istimewa…..”
“Lalu apalagi yang membuat kamu merasa ndak bahagia,” kata Parman sengit menukas.
“Mertua…….,’’ sahut Doni tercekat di tenggorokan.
“Mertua?”
Lalu Doni cerita, betapa mertuanya terlalu banyak mencampuri urusan rumah tangganya. Ketika Doni membeli rumah cicilan BTN yang uang mukanya sudah ia bayar dengan susah payah, “Mertua saya melarang kami pindah. Saya coba jelaskan bahwa kami ingin mencoba mandiri. Tapi beliau berkeras agar kami tetap tinggal serumah bersama mereka. Dona saja tak bisa menentang kemauan orangtuanya, apalagi saya?” kata Doni.
Selanjutnya Doni juga cerita bahwa segala sesuatu di dalam kehidupan rumah tangganya tak pernah lepas dari campur tangan mertua. Dari soal memilih sekolah anak-anak, menentukan jadwal rekreasi keluarga, menetapkan waktu dan menu sarapan serta makan malam, cara mendidik anak agar disiplin, and so dan lain-lain….. “Semuanya diatur mertua,” ucap Doni.
Parman termangu, dan cuma terdiam ketika Doni mengatakan bahwa, kekuasaan mertua atas rumah tangga saya bersifat mutlak. “Beliau ibarat wasit yang berhak menentukan sanksi. Kekuasaannya absolut. Celakanya, mertua saya seringkali menjatuhkan sanksi tendangan pinalti, yang membuat saya selalu kalah tanpa daya. Gol-gol yang berhasil saya buat, selalu dianulir tanpa ampun…..”
Parman termenung diam. “Dan saya bersyukur ketika akhirnya bisa beli rumah sendiri, boleh pindah ke rumah sendiri, walaupun mertua lumayan sering datang dan menginap untuk mewasiti rumah tangga saya,” kata Doni lega.
Parman menarik napas dalam-dalam. Unik sekali ungkapan Doni yang mengibaratkan mertuanya sebagai wasit dalam gelanggang rumah tangganya. Dan bila menyimak keluhannya itu, Doni memang pantas merasa tidak bahagia.
Tapi, Doni tidak sendiri. Parman juga mengalami hal semacam itu. Sebagai menantu yang terpaksa tinggal di “Pondok Mertua Indah”, Parman juga musti mengikuti aturan main mertua. Mungkin Doni masih terbilang beruntung. Sebab, mertua Parman tak hanya berperan sebagai wasit, tapi juga pelatih dan komentator sekaligus. Maka yang Parman alami sungguh lebih campur aduk tak keruan. Dengan kata lain, dalam gelanggang rumah tangga Parman, pinalti yang dijatuhkan wasit masih dilanjutkan dengan petunjuk pelatih plus ulasan komentator—yang kesemuanya itu dirangkap mertua saya.
Bapak mertua Doni mendadak berteriak panik. Doni kaget, tersadar dari lamunannya dan kembali menyimak semifinal Inggris vs Denmark yang bertahan imbang selama 90 menit. Pertandingan dilanjut 2X15 menit. Dono-Dini bersorak keras ketika di menit ke-104 Inggris akibat Raheem Sterling dilanggar.
Skor tersebut bertahan selama 90 menit dan laga terpaksa lanjut ke tambahan 2×15 menit. Di menit ke-104, Inggris mendapat hadiah penalti setelah VAR menilai Raheem Sterling dilanggar.
Harry Kane mengeksukusi penalti. Bola memang bisa ditepis Kasper Schemeichel. Tapi, Kane cepat menyambar bola rebound dan goool! Perjalanan panjang Inggris di pertandingan Eropa yang gagal ke laga puncak saat menjadi tuan rumah Euro 1996, berakhir manis. Skuad asuhan Gareth Southgate berhasil tampil di final Euro 2021 berhadapan dengan Italia. Tentu saja itu membuat Dona dan bapak mertua Doni ngomel-ngomel.*