Oleh HARRY TJAHJONO
Akhirnya Paul tidak tahan untuk tidak mengeluh. Sebagai pria yang sudah menikah, tentu saja yang patut Paul keluhkan adalah ihwal istri dan soal-soal seputar rumah tangga. Untuk kepentingan mengeluh itulah Paul datang pada Doni, sesama pria yang sudah menikah.
“Makin lama, ipar dan keponakan dari istri saya makin terasa sebagai gangguan. Coba saja hitung. Istri saya punya dua belas saudara. Semua sudah menikah. Jadi, berarti saya punya 12 ipar, ditambah 14 keponakan. Kacau,” kata Paul mengawali keluhan.
Doni tersenyum dan bertanya santai, “Gangguannya dalam bentuk apa?”
“Macam-macam! Tapi, yang terasa sangat mengganggu adalah hal-hal yang menyangkut materi. Cobalah hitung, setiap awal bulan selalu saja ada ipar yang datang minta bantuan, maka gangguan itu berlangsung selama setahun penuh. Lama-lama ‘kan saya bisa gila? Saya banting tulang ‘kan untuk nafkah istri? Bukan untuk membantu ipar dan keponakan? Ini benar-benar keterlaluan! Bikin kepala terus-menerus pusing! Bikin amarah saya selalu siap meledak hanya oleh hal-hal sepele!” cerocos Paul.
“Sabar…., sabar…., orang sabar itu disayang Tuhan,” kata Doni, dalam senyum dan nada santai.
“Sabar? Berapa lama lagi saya mesti bersabar? Kamu ‘kan tahu, saya sudah menikah selama lebih dari 10 tahun. Jadi, saya sudah bersabar 10 tahun! Sepuluh tahun! Apa masih kurang lama lagi? Sampai saya jompo?” gerutu Paul.
“Tenang, tenang. Kalau kamu emosi begitu, bagaimana mencari jalan keluarnya?” kata Doni.
Paul mencoba menuruti saran Doni. Paul tarik napas dalam-dalam. Paul tenggak segelas air putih sambil menelan kembali kemarahan dan rasa kesal yang merayap naik sampai kerongkongan.
“Gangguan semacam itu memang lazim terjadi di dalam kehidupan suami istri. Sudah sewajarnya orang yang secara materi cukup memberikan bantuan ekonomi kepada ipar atau keponakan. Yang mengalami semacam itu bukan kamu sendiri,” lanjut Doni santai.
“Lazim terjadi? Wajar? Yang bernasib ini bukan saya sendiri?” Paul melotot. Rasa kesal yang sudah hampir tertelan sampai di perut tiba-tiba merayap ke leher lagi.
“Iya. Bukan kamu sendiri. Ingatlah selalu bahwa kamu ‘kan hidup di dunia timur, dimana suatu perkawinan bukan hanya berarti penyatuan individu antara suami dan istri thok! Di mana ketika kamu memutuskan menikahi istrimu, maka berarti kamu juga mengawini keluarganya, mengawini adik ipar, mertua, keponakan dan seterusnya. Lain ladang lain belalang, bung. Lain lubuk lain ikannya. Kalau kamu orang bule, kamu memang bisa bersifat egois, bisa nggak mau tahu nasib ipar dan mertua. Tapi ‘kan kamu orang Indonesia, terlebih Jawa. Iya ‘kan?” kata Doni, panjang dan dilengkapi pepatah.
“Tapi cobalah bayangkan…, ah! Kamu sih enak, menikah dengan anak tunggal. Jadinya tidak pernah mengalami gangguan ipar. Ya…, ini memang salah saya, kenapa dulu saya tidak memilih istri yang anak tunggal seperti kamu. Kalau istri saya anak tunggal seperti istrimu, tentu saya tidak akan pernah mengalami gangguan dari ipar,” sahut Paul tak kalah panjang, hanya saja tanpa pepatah.
Mendengar itu, Doni tercenung terdiam.
“Punya istri yang anak tunggal memang enak, ‘kan?” desak Paul penasaran.
Donil mendesah, lalu menyahut pelan. “Ya, karena istri saya terlahir sebagai anak tunggal, saya memang tak pernah diganggu ipar. Tapi, bukan berarti tidak ada gangguan, lho……”
“Ah, kalaupun ada, paling-paling juga gangguan yang sifatnya sepele. Soal dicemburukan atau yang semacam itu,” kata Paul.
Doni menggeleng. “Saya memang tidak pernah mengalami gangguan dari ipar, tapi selalu mendapat gangguan dari mertua,” kata Doni lirih, mengeluh.
“Dari mertua?” tanya Paul.
Doni mengangguk. “Ya. Sebagai anak tunggal, istri saya tentu sangat disayang dan dimanja mertuanya. Sampai sekarang pun orangtua istri saya, jadi mertua saya, selalu menyayang dan memanjakan istri saya. Mereka juga selalu khawatir istri saya tidak bahagia bersuamikan saya. Maka, mereka merasa perlu ikut campur dalam mengatur rumah tangga saya. Mereka menentukan dan mengharuskan saya untuk mrlakukan ini dan itu, yang menurut mereka akan membuat istri saya bahagia. Nah, kalau kamu yang mengalami hal itu, bagaimana?” lanjut Doni, tersendat di kerongkongannnya.
Mendengar itu Paul tercenung. Diam. “Jadi, sebetulnya kita ini senasib sepenanggungan, dong?” kata Paul, lebih ditujukan pada diri sendiri.
“Yaah, begitulah…,” jawab Doni.
“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?” tanya Paul.
“Yaah…, berusaha menjalani nasib dengan tabah.”
“Pasrah?”
“Yaah, begitulah,” sahut Doni.
“Menyesali diri kenapa menikah dan tidak membujang seumur hidup saja?” tanya Paul.
Doni menggeleng lemah, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi. Tentu saja tingkahnya itu membuat Paul bingung.
“Kamu ngapain, sih?” tanya Paul.
“Nggak kenapa-kenapa. Cuma teringat Socrates,” kata Doni
“Socrates? Filsuf yang dipaksa minum racun?” tanya Paul.
“Ya…, Socrates kan pernah bilang begini…, kalau engkau menikah, kamu akan menyesal. Kalau kamu tidak menikah, kamu juga akan menyesal…,” kata Doni.
Lama sekali Paul mencoba memahami makna yang terkandung di dalam kalimat yang kata Doni pernah diucapkan Socrates itu. Tapi, semakin dicoba untuk memahaminya, Paul merasa semakin bingung. ***