HUMOR PASUTRI: Gol Bunuh Diri Marcus Rashford bin Markusim

JARI CINTA

Oleh HARRY TJAHJONO

CUPING hidung Markusim, teman saya, langsung kembang kempis jika dipanggil Markus. Itu menandakan bahwa hatinya senang dan bangga. Doni tak tahu mengapa rasa senang dan bangga bisa mengakibatkan cuping hidung Markus kembang-kempis. Bukan membuat dadanya membusung, misalnya. Yang jelas, sejak lama Markusim mengidolakan Marcus Rashford, pebola Manchester United, yang jadi pemain depan Timnas Inggris di piala Euro 2021.

Tapi yang Doni ingin ceritakan bukanlah soal hidung Markus yang sering kembang-kempis atau kegilaanya pada Marcus Rashford. Bukan itu, melainkan tentang keluh kesah Markus terhadap istrinya.

Sebulan yang lalu, di kantor, Markus datang di ruangan Doni dengan wajah muram dan kesal. Anehnya, meski sudah dipanggil dengan nama Markus, hidungnya tidak kembang-kempis. Tentu ada sesuatu yang membuat rasa senang dan bangganya tak mampu membuat hidungnya kembang-kempis. Sesuatu yang serius, tentu saja.

”Istri saya keterlaluan,” katanya waktu itu, nadanya geram.

“Keterlaluan apanya, sih?” sahut Doni hati-hati.

“Pokoknya keterlaluan. Sudah tahu suami kerja keras sepanjang hari, dia malah enak-enakan di rumah,” katanya.

“Enak-enakan bagaimana?”

“Ya, enak-enakan. Coba saja kamu pikir, sewaktu saya bekerja di kantor, dia santai di rumah, enak-enakan nonton telenovela, atau malah tidur siang dengan nyenyaknya,” kata Markus tetap dalam nada geram.

“Tugas ibu rumah tangga itu berat, lho. Masak, nyuci, momong anak, dan sepanjang hari terkurung di dalam rumah. Kok kamu bilang enak-enak bagaimana, sih?” kata Doni mengingatkan.

“Huh, berat apanya?  Ya berat saya yang mesti bekerja di kantor, dong. Nggak bisa nonton telenovela, nggak bisa tidur siang,” sergah Markus.

Doni terdiam.

“Membayangkan istri saya enak-enakan di rumah sementara saya banting tulang di kantor, membuat saya jadi merasa diperbudak. Itulah sebabnya sejak beberapa hari ini saya mendesaknya agar mencari pekerjaan,” ucap Markus melanjutkan keluhannya.

Doni tetap terdiam, sambil membayangkan Dona, istrinyayang mungkin sedang enak-enakan di rumah.

DAN SIANG ini, di kantor, kembali Markus mendatangi Doni dan lagi-lagi berkeluh kesah

“Istri saya sudah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan,” katanya pelan.

“Lalu ?” tanya Doni tak paham.

 “Gajinya lebih besar dari gaji saya….”

“Syukurlah…”

“Apa yang harus saya syukuri? Itu malah membuat saya jadi senewen!” sahut Markus sengit.

“Kamu ini aneh. Dulu, waktu istrimu full jadi ibu rumah tangga, kamu bilang dia enak-enakan. Sekarang, dia bekerja, kamu senewen. Atau kamu minder, karena gajimu kalah besar?” tanya Doni menyelidik.

“Kalau soal kalah gaji sih, nggak apa-apa…..”

“Lalu?”

“Saya bayangkan, apaan saja yang dilakukan istri saya ketika di kantor berdua boss-nya. Kamu kan tahu…, istri saya kan cantik…., dan jabatan sekretaris itu ….., gila! Membayangkan istri saya di kantor disuruh ini itu oleh boss-nya, diajak makan siang dengan alasan bisnis padahal ada maksud-maksud tertentu…, gila! Senewen dah gua!” Dan Markus memukul kepalanya sendiri.

Doni terdiam, sambil membayangkan Dona, istrinya, yang siang ini tentunya sedang menulis surat lamaran kerja. Ya, Dona memang sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan. Niat itu muncul setelah beberapa hari yang lalu kami cekcok gara-gara saya mengatakan bahwa Dona, selama masa perkawinannya dengan Doni, hanya enak-enakan di rumah sementara Doni harus banting tulang mencari nafkah.

“Saya menyesal telah menyuruhnya bekerja. Kalau main sepakbola, keputusan menyuruh dia bekerja itu ibarat melakukan tendangan bunuh diri. Saya khawatir…,” Markus tak melanjutkan ucapannya, menunduk kelu.

Entah kenapa, tiba-tiba Doni juga merasa khawatir. Jangan-jangan Dona sudah mengirimkan surat lamaran kerja. Jangan-jangan dia diterima sebagai sekretaris dan jangan-jangan kemudian….

Bayangan yang bukan-bukan berjumpalitan di dalam benak. Itu membuat Doni nekad ijinpamit pulang. Ngebut. Kurang dari seperempat jam, Donisudah tiba di rumah.

“Mama mana?” tanya Doni pada Dono, anak lelakinya.

“Di kamar,” sahut Dono.

Dono berjingkat menuju kamar. Doni harus minta maaf, karena telah berprasangka menuduhnya cuma enak-enakan di rumah. Padahal, Doni tahu, menjadi ibu rumah tangga itu merupakan suatu profesi yang berat dan membosankan. Berat karena harus mengurus semua kebutuhan suami dan anak. Membosankan karena setiap hari harus terkurung di ruang yang sama: kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi—sementara Doni bisa cuci mata di plaza atau mall yang terletak di seberang kantor.

Di depan pintu kamar yang tertutup itu, Doni menyesali prasangka yang telah terlontarkan pada Dona, yang saat itu mungkin sedang serius menulis surat lamaran kerja. Ah, itu tidak boleh terjadi!

Doni merasa harus minta maaf sekaligus memintanya merobek-robek surat lamaran kerja yang sedang ditulisnya. Kalau perlu, Doni bersedia berlutut untuk itu. Sebab Doni tak mau mengalami nasib seperti Markus, yang ibarat pemain sepakbola telah begitu ceroboh sehingga melakukan gol bunuh diri. Sungguh!

Perlahan, Doni membuka pintu kamar.

Doni melihat Dona, istrinya, sedang tidur nyenyak memeluk guling. Begitu santai. Begitu damai. Sungguh gol bunuh diri yang tidak terbukti. * 

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara