HUMOR PASUTRI Indera Keenam Istri

cinta

Oleh HARRY TJAHJONO

Terpesona pada seseorang, tentu bukan hanya bisa dialami kaum pria. Perempuan, bahkan yang sudah bersuami, suatu ketika tentu juga bisa terpesona pada pria lain. Maka, Doni pikir wajar saja kalau sebulan yang lalu Doni terpesona kecantikan Yuni.

Doni mengenalnya secara tak sengaja. Saat sama-sama berdiri di tangga berjalan sebuah pertokoan.  Mulanya cuma saling lirik, lalu saling senyum, dan kebetulan sama-sama akan makan siang di kantin fast food lantai paling atas. Kebetulan pula pengunjung kantin sedang penuh, dan meja yang tersisa tinggal satu, sehingga akhirnya Doni dan Yuni duduk berdua.

Doni terpesona pada rambutnya yang pendek, tidak panjang terurai seperti rambut Dona, istrinya. Doni terpesona pada bentuk bibirnya, dagunya, hidungnya, bulu matanya yang lentik—yang kesemuanya sungguh jauh berbeda dengan Dona. Yang paling mempesona, usia Yuni jauh lebih muda dari Dona.

Perkenalan itu lantas berkelanjutan. Setiap siang, Doni dan Yuni kencan makan siang di kantin yang sama. Tak cuma sekedar makan siang, tentu saja. Juga berbincang-bincang, bercanda, dan rasanya bahagiaaa…

Sejak kenal Yuni, Doni jadi sering melamun. Di rumah, di kantor, di jalan, wajah Yuni bernari-nari di depan mata. Itu membuat Doni sering senyum sendiri, bengong sendiri. Sampai-sampai Doba pernah bilang begini, “Kamu sekarang kok jadi aneh sih, Mas? Jadi pendiam.”

Doni berdalih sedang tidak enak badan. Lalu naik ke tempat tidur, menindih kepala dengan bantal, menikmati lamunan tentang Yuni yang sebulan terakhir ini membuat Doni bahagiaaa….

Bahkan, hari ini, pagi-pagi Doni sudah melamunkan Yuni. Doni bayangkan beberapa jam lagi akan ketemu Yuni. Makan siang, ngobrol, bercanda, dan bahagiaaa…

Kriiing!

Telepon dimeja Doni berdering nyaring, menghancurkan lamunan indah tentang Yuni. Dengan malas Doniangkat telepon.

“Halo…,” sapa Doni mencoba ramah, meskipun sebal.

Nggak usah halo-haloan! Saya sekarang sudah tahu belangmu. Kalau cuma kepingin yang rambut pendek, Mas ‘kan bisa menyuruh saya pergi ke salon!”

Doni terkesiap! Kaget! Gugup!

“Dasar suami nggak tahu diri! Di rumah semuanya sudah dilayani istri, masih juga kencan dengan wanita lain!”

“Saya….”

“Saya apa? Mau mengelak apa lagi? Mau bikin alasan apa lagi? Masih mau ngebohongin saya lagi? Dasar mata keranjang!” suara di seberang tekepon itu terdengar bengis.

Terdengar gagang telepon dibanting. Nuuuuuuut…..

Tiba-tiba kepala Doni jadi nyut-nyutan. Lantai kantor seperti bergoyang-goyang. Caci-maki yang barusan menikam gendang telinga Doni masih mendenging-denging. Tak biasanya Dona bicara keras begitu. Biasanya selalu lembut. Tapi barusan seperti bukan suara Dona. Seperti suara orang asing. Mungkin karena sedang diamuk amarah, dibakar kecemburuan, dan merasa dikhianati,  sehingga suaranya berubah total bagaikan auman singa luka.

“Ada apa, Dik?” tanya Mas Tisna, yang tiba-tiba saja duduk di depan meja.

Doni menelan ludah, kemudian berterus terang dengan harapan bisa merasa lega. “Saya heran…., siapa yang melaporkan soal Yuni itu pada istri saya,” kata Doni mengunci pengakuan.

“Wah, kalau teman sekantor sih nggak mungkin lapor, Dik. Mungkin ada tetangga yang kebetulan melihat, lalu melapor,” kata Mas Tisna.

“Ah…., saya nggak pernah kepergok tetangga, kok,” sergah Doni.

“Bisa jadi indera keenam istrimu yang membisikan firasat bahwa kamu sedang ada affair,” kata Mas Tisna.

“Indera keenam?” tanya Doni tak nyakin.

“Iya. Semua istri di dunia ini punya indera keenam lho, Dik. Kalau suaminya ada main sama wanita lain, indera keenam istri yang fungsinya seperti radar itu lantas mengirim isyarat , mengirim firasat.  Bisa dalam bentuk mimpi, atau pelupuk mata yang berdenyut-denyut, bunyi nging di kuping, tersedak air minum dan macam-macam lagi. Itu betul, lho. Saya sendiri pernah mengalaminya, kok. Sungguh!” kata Mas Tisna.

Doni termangu. Kepalanya makin terasa berat.

“Sebaiknya kamu lekas pulang. Jelaskan apa adanya.Jelaskan bahwa affair kamu sama Yuni itu cuma sebatas kencan makan siang. Minta maaf, lalu janji nggak akan mengulang lagi. Kalau perlu bersumpah,” saran Mas Tisna.

Doni mengangguk. Bangkit dan meleset pulang.

Kurang dari setengah jam, Doni sudah sampai di depan pintu rumah. Pelan Doni ketuk pintu, sambil membayangkan rambut istrinya sudah dipotong, pendek, dan wajahnya merah padam dibakar amarah.

Pintu terbuka. Doni ternganga. Rambut Dona masih tetap panjang. Wajahnya cerah dihiasi senyum berseri-seri.

Lho…., kok sudah pulang, Mas? Sakit?” tanya Dona dengan suara lembut.

Doni menyahut dengan gugup. “Kamu tadi…, tadi kamu menelepon saya, kan?”

“Menelepon? Enggak tuh?” kata Dona heran.

Lho.., kalau begitu yang marah-marah di telepon tadi siapa, ya?” kata Doni tak habis pikir.

“Marah-marah? Kenapa saya mesti marah-marah sama Mas? Ah, salah sambung, kali….”

“Salah sambung?” kata Doni.

“Iya. Pasti salah sambung,” tegas Dona.

Doni termangu. Boleh jadi Dona benar. Telepon yang tadi saya terima itu pasti memang salah sambung. Pantas saja suaranya sangat lain dengan suara Dona. Jadi…, rupanya bukan saya sendiri yang punya affair dengan wanita berambut pendek. Ada pria lain, suami lain dan bukan cuma Doni.

“Kok bengong saja sih, Mas?” tanya Dona heran.

Doni tersentak, pura-pura melihat arloji untuk mengalihkan rasa gugup.

“Ada janji sama orang?” tanya Dona waktu melihat saya menjenguk arloji.

“Iya….,“ sahut Doni sekenanya.

“Kalau ada janji, ya cepat berangkat, dong. Nanti terlambat, lho…,” kata Dona

“Iya, iya…,” sebelum berlalu pergi, saya kecup pipi istri saya. Kemudian saya melesat pergi karena takut terlambat makan siang.  *

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara