Oleh HARRY TJAHJONO
MODAL utama pernikahan saya dengan Santy hanyalah cinta dan kasih sayang. Ketika meminang Santy, saya belum punya rumah atau harta benda yang bisa dijadikan jaminan bahwa roda ekonomi rumah tangga yang akan saya bina bersama Santy akan bergulir lancar dan sejahtera. Maklum, ketika itu, saya hanyalah pegawai rendah sebuah perusahaan swasta.
“Tapi, setidaknya saya sudah punya pekerjaan tetap. Lagipula saya mencintaimu sepenuh hati,” kata saya saat melamar Santy.
Syukurlah Santy, juga orangtuanya, mempercayai cinta, optimisme dan harapan saya. Bila pinangan saya diterima dengan senang hati, barangkali dikarenakan Santy juga mencintai saya sepenuh hati. Barangkali juga di saat jumlah pengangguran semakin meningkat, mencari suami atau calon menantu yang punya pekerjaan tetap, memang terbilang sulit.
Tapi, beberapa teman menganggap keberhasilan saya meminang Santy itu disebabkan, “Dibanding pria lain yang mencoba menggaet Santy, kamu lebih romantis,” kata Lukman.
“Selain itu, kamu pandai mengambil hati calon mertua, misalnya, dengan cara selalu membawakan oleh-oleh setiap kali apel ke rumah Santy,” kata Anwar.
Apapun, yang jelas saya sudah berhasil menyunting Santy. Kami menikah, dan memulai lembaran hidup baru di sebuah rumah kontrakan. Saya bekerja, sedangkan Santy sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.
Bila dua tahun kemudian kami dikarunai anak laki-laki yang sehat dan pintar, tentunya tak terlepas dari kesungguhan Santy dalam menjaga mutu gizi selama hamil dan menyusui. Bila lima tahun kemudian kami bisa membeli rumah sendiri, punya deposito dan tabungan dalam bentuk perhiasan, tentunya juga berkait erat dengan kepandaian Santy mengatur ekonomi rumah tangga.
Pendeknya, berkat Santy, kehidupan rumah tangga kami boleh dikatakan sejahtera—dalam arti, misalnya kalau cuma sekadar ingin membeli kulkas, mampu. Ingin mengongkosi pendidikan anak sampai perguruan tinggi, sudah ada tabungan. Ingin makan di restoran seminggu sekali bisa, asal menunya jangan kebanyakan. Ingin liburan saat mengambil cuti tahunan, anggaran dananya sudah tersedia, asal pikniknya jangan jauh-jauh.
Pendeknya, berkat punya istri Santy, di dalam hidup ini ada sebentuk kepastian. Itu membuat saya bisa bekerja dengan tenang, berprestasi, dan dengan demikian gaji terus meningkat. Tanpa Santy, saya belum tentu bisa mengalami hidup enak dan nyaman seperti sekarang ini. Itulah sebabnya saya tak pernah manyangkal apabila suatu ketika Santy membanggakan dirinya dengan mengatakan, “Jika istrimu bukan saya, boleh jadi kamu belum punya rumah, belum punya mobil, belum punya deposito…..”
Apa yang dikatakan Santy memang benar. Saya tak merasa malu untuk mengakui serta berterima kasih kepadanya. Faktanya memang begitu. Itulah yang membuat saya semakin mencintai Santy, dan tak pernah ingin berpaling pada wanita lain. Pada Santy, kalimat bernuansa filosofis yang pernah diucapkan Mas Atmo, atasan saya, terbuktikan kebenarannya. Mas Atmo pernah bilang, “Istri, lambat-laun menjadi tua, dan mungkin sakit-sakitan. Sedangkan di luar rumah, berseliweran wanita yang lebih muda dan lebih cantik. Bila suami tak mau berpaling pada wanita lain yang lebih segar dan lebih menggairahkan, itu karena ia tak bisa menghapus peran istri dalam sejarah kehidupannya. Jadi, bukan lantaran si suami memang berniat setia sepenuhnya hanya pada istri.”
Benar kata Mas Atmo. Mana mungkin saya bisa menghapus fakta bersejarah berupa masa-masa sulit yang pernah saya alami berdua Santy saat menjalani kehidupan di rumah kontrakkan yang sumpek dan pengap? Mana mungkin? Lagipula ada pepatah: bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Santy memang pahlawan rumah tangga kami. Tanpa Santy, mungkin kami masih tinggal di rumah kontrakan, hidup pas-pasan dan tidak sejahtera. Saya kira, peranan istri dalam sejarah hidup suami sungguh besar dan penting.
“Setidaknya, berkat istri, saya selalu berhasil menolak dengan halus tapi tegas, desakan pegawai asuransi yang secara agresif menawarkan polis dengan iming-iming macam-macam,” kata saya, mencoba memberi contoh paling sederhana kepada Syaiful, teman sekantor, yang belakangan ini direpotkan oleh kedatangan para sales asuransi.
“Ah, masa?” tanya Syaiful. Maklum, meski sudah punya dua macam polis tanggungan untuk istri dan dirinya sendiri, Syaiful masih sering didatangi dan didesak pegawai asuransi untuk membeli polis jenis lain. Itu sering membuat Syaiful repot dan kewalahan.
“Begini. Cara praktis menolak tawaran itu adalah dengan mengatakan pada si pegawai asuransi, bahwa urusan yang menyangkut hal-hal semacam itu merupakan wewenang istri. Titik,” tegas saya.
Ita, sekretaris Syaiful, tiba-tiba muncul.
“Pak….., ada tamu.”
“Siapa? Pegawai asuransi?”
Ita mengangguk.
“Kamu bilang saya ada di tempat?”
“Dia teman kuliah saya, Pak. Saya nggak tega membohonginya,” kata Ita pelan, menunduk.
“Praktekkan saja pengalaman saya,” bisik saya pada Syaiful.
Syaiful mengangguk, bangkit menuju ruang tamu. Lima menit kemudian, Syaiful kembali dengan wajah berseri.
“Bagaimana? Sukses?” tanya saya.
“Sukses. Saya janji makan siang berdua,” sahut Syaiful bahagia.
“Lho? Kok malah bikin janji makan siang?”
“Dia juga ingin bertemu kamu.”
“Menawarkan asuransi?”
Syaiful mengangguk. Saya bangkit, melangkah mantap ke ruang tamu. Ini cuma perkara sepele. Tak perlu cemas. Toh saya sudah punya banyak kiat untuk mengatasinya
“Kenalkan…, nama saya Indri….”
Ketika jemari yang lembut itu berada dalam genggaman, ketika wajah jelita Indri begitu dekat bahkan kalau mau bisa disentuh, saya jadi mengerti mengapa Syaiful menjanjikan suatu kencan makan siang. Keindahan semacam Indri memang wajar bila membuat Syaiful melupakan sejarah. Saya sendiri sebetulnya juga cenderung akan lupa…. ***