Oleh HARRY TJAHJONO
Setelah berumah tangga lebih dari 15 tahun, Doni sering merasa pantas untuk disebut ahli atau pakar dalam masalah perkawinan. Karena, jika untuk manjadi sarjana dalam disipin ilmu tertentu seseorang butuh waktu 5-7 tahun, bukannya bermaksud menyombong bila —dengan rentang waktu 15 tahun masa “kuliah” perkawinan yang sudah Doni jalani—masuk kategori 52 dalam disiplin ilmu rumah tangga. Jangan-jangan Doni bahkan sudah menjadi cendikiawan.
Sebagai ahli, tentu saja Doni juga memiliki kecenderungan atau sindrom yang lazim dialami para pakar—yakni merasa berhak merumuskan segala sesuatu secara ilmiah. Dalam hal Doni, khususnya yang berkaitan dengan seputar rumah tangga. Soal konflik suami-istri, misalnya, Doni punya rumusan sebagai berikut.
Di dalam perkawinan, hemat Doni, sebetulnya cuma ada dua jenis konflik. Yakni, konflik prinsipiil dan konflik tidak prinsipiil. Konflik prinsipiil itu biasanya berkait erat dengan ihwal moral—antara lain penyelewengan, campur tangan mertua atau ipar, mantan pacar dan semacamnya. Untuk menyelesaikan konflik prinsipiil, mutlak diperlukan adanya dialog antara suami-istri. Artinya, suami-istri perlu berdialog secara terbuka, jujur, terus terang, siap sedia mengakui kesalahan sekaligus sudi minta maaf, supaya masalahnya dapat terkomunikasikan dengan gamblang. Hanya dengan cara itulah suatu konflik prinsipiil dapat diselesaikan dengan baik, sehingga hubungan suami-istri kembali asyik.
Sedangkan konflik tidak prinsipiil lazimnya bersumber pada masalah remeh-temeh. Misalnya, istri tersinggung karena suami keceplosan mencela masakannya, atau sebaliknya suami tersinggung karena istri lupa masak karena ketiduran. Untuk menyelesaikan konflik semacam ini, tidak diperlukan dialog. Diamkan sajalah. Karena diam adalah juga suatu bentuk komunikasi. Karena jika masalah yang tidak prinsipiil didialogkan, malah akan melebar kemana-mana. Serahkan saja penyelesaiannya pada waktu. Dalam jangka dua atau tiga hari, paling-paling kemendongkolan dan ketersinggungan itu akan reda, akan hilang sendiri.
Mengidentifikasikan masalah dan menetapkannya dalam kategori konflik prinsipiil atau bukan agar bisa memilih bentuk komunikasi yang pas untuk menyelesaikan, ini yang tidak mudah. Maklum, batas antara yang prinsipiil dan yang bukan, kadangkala cuma setipis kertas. Atau malah campur-aduk. Namun, syukurlah, Doni berhasil mengatasi konflik yang muncul selama 15 tahun berumah tangga dengan baik—dalam arti sampai sekarang tidak atau belum bercerai.
Dan seminggu belakangan ini, rumus tersebut kembali diuji realitas. Menjelang haid, seperti biasa, perilaku istri Doni angot-angotan. Impulsif, mudah tersinggung, dan akhirnya konflik pun meledak tanpa sebab yang jelas. Berdasar pengalaman, konflik menjelang haid begini bukanlah tergolong konflik prinsipiil. Maka, seperti biasa, Doni memilih menyerahkan penyelesaian pada waktu. Memilih bentuk komunikasi diam.
Sehari, dua hari, tiga hari, eh…., bahkan setelah seminggu, ternyata waktu belum juga mampu menyelesaikan konflik itu. Doni dan Dona masih saling membisu. Tak pernah bertegur-sapa. Tidur saling menunggangi. Pokoknya, selama seminggu penuh itu kami berdua seperti tidak saling mengenal.
Sebetulnya Doni sudah tidak tahan untuk menegur lebih dulu. Tapi, sebagai laki-laki yang sudah menjadi suami selama 15 tahun, Doni merasa berhak untuk tidak mengalah. Gengsi, dong, kalau Doni yang harus menyapa lebih dulu. Hemat Doni, wanita—apalagi ibu rumah tangga—adalah mahkluk lemah yang tubuh dan pikirannya sepenuhnya dikuasai oleh perasaan. Suatu saat ia pasti akan menyerah, menginsyafi dan menyesali tindakannya.
Namun, rupanya istri Doni ini termasuk wanita keras kepala. Sudah sepuluh hari berlalu, ia tetap saja membisu. Tak mau menyerah. Tak mau mengalah. Tentu saja sikapnya yang membatu itu membuat Doni semakin tertantang untuk unjuk diri sebagai laki-laki.
Setelah dua minggu berlalu, dan waktu belum juga mencairkan kebisuan di antara kami, Doni jadi resah. Di kantor Doni gelisah. Ingin rasanya menelepon kerumah, sekadar pura-pura menanyakan sesuatu agar kebisuan itu pecah. Tapi setiap kali Doni akan mengangkat telepon gengsi kelelakian Doni mencegah.
Dalam pada itu, setiap kali telepon meja kantor berdering, Doni berharap istri Doni menelepon untuk mengatakan sesuatu—syukur kalau penyesalan dan minta maaf. Tapi, hal itu tak pernah terjadi.
Doni jadi heran, bagaimana ia dapat bertahan dalam kebisuan selama dua minggu? Apakah kebutuhannya untuk berbincang bisa terpenuhi oleh percakapannya dengan anak-anak? Atau barangkali dengan tetangga? Bagaimana ia sebagai wanita yang lemah dan dikuasai oleh emosi dapat memenuhi kebutuhannya untuk bercakap-cakap, bertukar pikiran, berkeluh kesah dan bergosip?
Hal itu baru terjawab ketika Doni membayar telepon. Tagihan rekeningnya tercatat 1 juta rupiah. Jumlah itu membuat Doni kaget dan menduga telah terjadi kesalahan di pihak Telkom. Tapi tidak.
Apa jawab istri Doni ketika hal itu Doni tanyakan kepadanya?
“Memang benar. Selama dua minggu ini, saya sering menginterlokal teman-teman lama,” katanya santai.
“Ngapain?”
“Ngobrol aja. Iseng. Memangnya kenapa?”
“Lalu rekeningnya siapa yang bayar, ya biar saja telepon itu diputus,” sahutnya santai.
Doni terkesima. Dugaan bahwa wanita adalah mahkluk lemah, mendadak rontok. Yang lebih jelas lagi, rumusan bahwa waktu bisa diserahi tugas untuk menyelesaikan suatu konflik, biayanya ternyata tak kurang dari 1 juta rupiah. Dan untuk mengongkosinya, Doni mesti bekerja lebih keras, lebih capek, lebih ngos-ngosan…. *