JAUH sebelum ada iklan pembersih lantai yang ditutup dengan dialog genit, “Belum lima menit…,” lantai rumah saya selama 24 jam penuh boleh dibilang bebas debu dan kuman. Tak hanya lantai, tapi juga kaca jendela, kaca meja, kaca pigura dan kaca-kaca lain yang ada di rumah, sejak lama sudah bebas debu.
Kondisi ‘bersih lingkungan’ di rumah saya itu tentunya tak akan terjadi jika saja Wiwin, istri saya, tak punya hobi ngepel. Menurut pengakuannya, sejak kecil ia memang suka mengelap benda-benda yang bisa mengkilap. Misalnya, lantai dan kaca. Dan kebiasaan di waktu kecil itu rupanya terbawa sampai menjadi istri saya.
“Memang sudah semestinya kebiasaan baik terbawa sampai tua, menjadi bagian dari kepribadian kita,” begitu saya pernah memuji sifat baik istri saya itu. Dan seperti biasa, setiap menerima pujian dari saya, istri saya hanya tersenyum, sehingga wajahnya tampak menjadi dua kali lebih cantik dari biasanya.
“Bersih itu sehat, kan?” katanya ringan, sambil jemarinya iseng memungut secuil kecil kertas yang tercecer di pojok kaki meja.
Ya, mata istri saya rupanya juga sudah sangat terlatih untuk menyimak benda-benda sekecil butiran pasir yang tercecer di pojok kaki meja sekalipun. Padahal, bagi mata orang biasa, tentu cukup sulit untuk bisa melihat secuil kecil kertas yang sore itu berhasil ditemukan istri saya. Apalagi cuilan kertas itu sudah gepeng tergencet kaki meja.
DALAM soal kebersihan, istri saya memang tak kenal kompromi. Saya dan kedua anak saya mau tak mau harus dan wajib mematuhi pelbagai peraturan yang dengan tegas didiktekan istri saya.
“Jangan buka pintu depan, nanti debu halaman masuk ke rumah. Kalau makan nasinya jangan tercecer sebutir pun. Nasi, kalau terinjak kaki, menimbulkan lengket dimana-mana. Masuk rumah, sendal harus dilepas. Jangan buang abu rokok selain di asbak. “Itulah antara lain disiplin tentang ‘bersih lingkungan’ yang ditegakkan dengan tegas oleh istri saya. Jika ada di antara kami, suami dan anaknya, berani melanggar aturannya secara sengaja maupun tidak sengaja, kemarahan istri saya akan meledak.
Disiplin dan peraturan serupa juga berlaku terhadap para tamu yang datang ke rumah saya. Baik tamunya, tamu saya, maupun tamu anak-anak saya.
Setiap kali ada tamu, istri saya jadi ekstra waspada. Kalau yang datang tamunya, ia akan serta-merta mengawali perbincangan dengan topik kebersihan. Kalau yang datang tamu saya, ia akan lekas-lekas menyediakan paling sedikit empat buah asbak agar abu rokok tidak dibuang sembarangan. Kalau anak-anak yang kedatangan tamu, tak jarang istri saya secara demonstratif langsung mengepel lantai yang secara tak sengaja terpecik sirup atau sambal rujak. “Saya jadi malu sama temen-temen, deh,” begitu pernah dikeluhkan Pras, anak sulung saya.
Punya istri yang punya komitmen khusus dan spesial terhadap kebersihan, ada baik sekaligus ada buruknya. Baiknya, karena rumah bersih, anak-anak menjadi tambah sehat. Lantai selalu mengkilap cemerlang—bahkan sesungguhnya saya tak perlu beli cermin lantaran lantai rumah bisa digunakan berkaca.
Buruknya…, mungkin lebih sedikit dibanding baiknya. “Mama itu bagaimana, sih? Percuma dong bayar pembantu mahal-mahal kalau Mama masih juga ngepel sendiri, ngelap kaca sendiri, menyapu sendiri. Capek, kan?” celetuk Sinta, anak kedua saya.
“Sudahlah. Nggak usah meributkan soal itu. Ngepel , bersih-bersih rumah, bagi Mama kan sudah jadi hobi,” kata saya mencegah keluh kesah Sinta.
“Hobi kok ngepel. Golf dong! Biar kayak pejabat,” sahut Bob, anak ketiga saya.
“Iya. Mama sih nggak nge-trend deh! Hobi kok ngepel. Bikin kita jadi nggak enak hati kalau terpaksa harus mondar-mandir di rumah. Takut lantai jadi buram,” kata Pom, anak keempat saya.
“Ho-oh tuh. Mama kok gitu, sih? Bersih-bersiiih melulu. Rini jadi capek sendiri deh gara-gara melihat Mama selalu sibuk bersih-bersih,” kata Rini, anak kelima saya.
“Kalau mau cepet beres, ya bantuin Mama dong,” kata saya.
“Huh, mana mau Mama dibantuin? Mama kan orangnya nggak percayaan. Lantai sudah saya pel, eh dibilang belum. Lalu dipel lagi,” jawab Rini ketus.
APA yang dibilang kelima anak saya, memang ada benarnya. Setidaknya, rumah yang bersih karena terlalu sering dibersihkan itu membuat saya dan anak-anak merasa tidak bebas. Dan ikhwal keluhan anak-anak saya itu (sebetulnya juga termasuk keluhan saya), pernah saya utarakan pada istri saya. Untuk itu saya pilih waktu yang tepat. Yakni pada suatu malam yang romantis, saat berdua di dalam kamar yang lampunya sengaja dipasang remang-remang.
“Baik. Saya hargai keinginan anak-anak. Mulai sekarang, saya tak akan ngepel dan bersih-bersih melulu,” jawab istri saya. Tapi, belum semenit usai bicara begitu, jemarinya sudah iseng menjumput sebutir nasi gepeng dan kering, yang entah bagaimana kok bisa nyempil di pojok tempat tidur, diujung lipatan seprai.
Saya pikir, hanya mata yang sudah sangat terlatih sajalah yang bisa menemukan sebutir nasi gepeng di pojok tempat tidur, di lipatan ujung seprai, saat cahaya lampu remang-remang…. *Harry Tjahjono