Oleh HARRY TJAHJONO
BERTAMU di rumah Mbak Lusi, ternyata tak hanya membuat Doni dapat mengagumi senyumnya yang indah, atau membiarkan diri terpesona tatapan matanya yang selalu tampak memuja. Tak cuma itu. Tapi juga dapat mendengarkan obrolan tamu-tamu Mbak Lusi, para ibu rumah tangga, yang hampir setiap sore berkumpul di rumah itu.
Doni baru menyadari betapa asyik mendengarkan obrolan para ibu rumah tangga, setelah beberapa kali bertamu di rumah Mbak Lusi. Mulanya secara tak sengaja. Maklum, jika bertamu, biasanya Doni selalu memilih duduk di teras. Kadang ditemani Mas Pri—suami Mbak Lusi yang polisi, kadang berdua Neni—putri mereka yang baru kelas IV SD. Tapi sering juga sendiri. Maklum, wong niat Doni bertamu di rumah sebelah kantor itu cuma untuk buang waktu supaya tidak terjebak kemacetan. Tak lebih dan tak kurang.
Awalnya Doni merasa terganggu oleh obrolan para ibu rumah tangga itu. Karena seperti biasa terjadi dimana pun, obrolan para ibu rumah tangga itu seringkali tak berjuntrung. Artinya, tak ada ujung pangkalnya, sekadar saling sahut-menyahut, tapi tak pernah berhubungan, sehingga kedengarannya seperti suasana sebuah pasar.
Tapi, lama-lama Doni mulai terbiasa, bahkan mampu menangkap “makna” yang tersembunyi dalam bisingnya lalu-lintas percakapan yang berlangsung dalam tempo tinggi itu. Itu membuat Doni terlena dan asyik nguping.
“Suami saya semakin tua semakin sayang sama saya lho, Mbak Lusi,” kata ibu rumah tangga yang biasa dipanggil Jeng Lian.
“Oya?”
“Iya. Saya sendiri awalnya juga nggak begitu yakin, deh. Maklum, biasanya laki-laki itu ‘kan seperti daun keladi, tua-tua makin jadi. Iya, ‘kan? Contohnya banyak loh, Mbak Lusi. Begitu pernikahan sudah lewat 15 tahun, suami mulai melirik daun muda deh! Biasanya begitu, ‘kan?”
“Ehem!”
“Tapi syukurlah suami saya nggak begitu. Bener! Malah sekarang ini dia makin berterus terang dalam menunjukkan rasa sayangnya kepada saya. Bener!”
“Terus terang bagaimana?” tanya Mbak Lusi.
“Ya terus terang…, misalnya pulang-pulang membawakan gelang emas seberat seratus gram. Waktu saya tanya, kenapa tiba-tiba membelikan gelang? Kan saya belum ulang tahun? Dia bilang ini hadiah khusus, sebagai tanda rasa sayang…, wah! Begitu loh caranya menunjukkan rasa sayangnya. Lha ini lho gelangnya…, bagus ‘kan? Ini beratnya 100 gram lho,” kata Jeng Lian sambil menunjukkan gelang emas yang melingkar di lengan kanannya.
“Kalau suami saya, cara menunjukkan rasa sayangnya lain, deh,” tukas wanita yang biasa disebut Zus Rita.
“Lalu bagaimana?” tanya Mbak Lusi.
“Romantis….”
”Romantis bagaimana?” desak Jeng Lian.
“Romantis…, maunya dua-duaan terus, nggak mau diganggu anak-anak,” Zus Rita tersenyum malu.
“Kalau suami pulang, anak-anak harus diusir dong?” olok Mbak Lusi.
“Ya enggak segitu-gitu amat, deh. Paling tidak seminggu sekali, saya selalu diajak dua-duaan sama suami. Tidak di rumah, tapi di hotel…”
“Di hotel?”
“Iya. Di hotel bintang lima, lagi. Kalau saya bilang sayang duitnya, suami saya malah ngambek. Katanya, dulu kita masih hidup susah, nggak bisa berbulan madu di hotel mewah. Nah, sekarang kehidupan ekonomi kita sudah mapan, anak-anak sudah besar, apa salahnya kita menikmati bulan madu di hotel berbintang? Memang mahal, sih. Tapi, harga kebahagiaan kan memang mahal…, begitu kata suami saya…”
“Jadi…”
“Yaah…, sejak tiga bulan yang lalu, setiap akhir pekan, kami berdua selalu menginap di hotel. Kalau tidak di Hilton, ya di HIT…”
“Pantesan kalau hari Sabtu nggak pernah ke sini,” kata Mbak Lusi.
Zus Rita tertawa kecil.
“Cara suami saya menunjukkan kasih sayangnya hampir mirip sama suaminya Zus Nia, deh,” sela ibu rumah tnagga lain yang sering dipanggil Bu Tammy.
“Oya?”
“Ho’oh. Tapi ngajaknya agak jauh…, ke luar negeri.”
“Wah, enak dong…”
“Sebetulnya saya lebih suka uangnya, sih. Maklum, ongkos ke luar negeri kan cukup besar. Tapi, suami saya memaksa. Soalnya kalau di luar negeri, saya bisa makan es tanpa harus jadi batuk…”
“Lho…, memangnya kalau makan es di sini jadi batuk?” tanya Mbak Lusi, nadanya heran.
“Wooo…., Mbak Lusi bagaimana to…, masak nggak tahu kalau selama ini saya nggak pernah berani makan es, sih? Saya ini sudah lama nggak pernah makan es lagi lho. Nggak bisa. Tiap kali makan es, pasti jadi batuk. Padahal saya ini ‘kan boleh dibilang penggemar es…”
“Oo…”
“Anehnya, kalau makan esnya di luar negeri, saya kok nggak batuk ya? Biar makan esnya di tengah hujan salju, nggak apa-apa tuh? Nggak batuk, nggak pilek. Aneh, kan?”
“Iya…, kok aneh ya…”
“Makanya itu, suami saya jadi sering mengajak pergi ke luar negeri, supaya saya bisa sering-sering makan es kegemaran saya sejak kecil…”
“Itu tandanya suami sayang istriii….”
Terdengar tawa ceria. Tawa yang terdengar bahagiaaa….
*
MENDENGAR obrolan para ibu rumah tangga yang bertamu di rumah Mbak Lusi, Doni jadi merasa berdosa pada istri. Ya. Merasa berdosa, karena tak bisa membelikan gelang, tak pernah mengajak istri ke hotel berbintang, apalagi ke luar negeri…
Doni juga merasa bersalah, karena seringkali menegur istri agar jangan terlalu sering ngobrol dengan tetangga. Menurut Doni, obrolan antar istri, biasanya hanya akan terjerumus menjelek-jelekkan suami sendiri. Setelah mendengar obrolan para istri di rumah Mbak Lusi, Doni jadi menyesal telah berprasangka pada istri sendiri. Nyatanya, pembicaraan di antara para istri, cenderung membaik-baikkan, atau bahkan memuji suami.
Justru jika para suami berkumpul, biasanya selalu membicarakan keburukan istri. Apalagi jika teman bicaranya perempuan, laki-laki cenderung mengeluhkan kekurangan istrinya. Biasanya begitu—setidaknya seperti yang Doni lihat di lingkungan kantornya. Dan, jika laki-laki mengeluhkan kekurangan istrinya pada wanita lain, biasanya ada maksud-maksud tersembunyi. Supaya bisa bikin affair, misalnya.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan obrolan para istri yang bertamu di rumah Mbak Lusi. Mereka tampak dengan tulus memuji suami. Terdengar indah—meski terkesan bahwa pujian itu dilontarkan dengan maksud sekaligus pamer bahwa ia baru saja dibelikan gelang, tiap akhir pekan menginap di hotel berbintang, sering pergi ke luar negeri dan seterusnya. *