Oleh HARRY TJAHJONO
Sudah sepekan ini Doni tidak berani bertamu ke rumah Mbak Lusi. Tidak berani, lantaran dengan nada lembut tapi tegas, Mbak Lusi melarang Doni datang ke rumahnya, “Kecuali di rumah ada Mas Pri,” katanya.
Padahal Mas Pri, suami Mbak Lusi, hampir setiap hari pulang malam. Paling sore pukul sembilan. Alasan pelarangan yang disampaikan Mbak Lusi, bagi Doni, terdengar sepele. Tapi, Mbak Lusi mengatakannya sebagai hal yang prinsip dan penting.
“Mertua saya baru datang dari kampung. Sejak dulu, beliau tidak senang jika saya menerima tamu pria selagi suami tidak ada di rumah. Jadi, saya mohon pengertian Adik agar selama mertua saya ada di rumah, Adik tidak bertamu,” kata Mbak Lusi.
Tentu saja Doni harus menerima pelarangan bertamu itu dengan patuh. Apalagi Mbak Lusi menegaskan, “Saya bukannya takut pada mertua, Dik. Tapi, sebagai menantu, saya ‘kan wajib memuliakan mertua, antara lain dengan cara menjauhkan hal-hal yang sekiranya dapat membuat beliau jengkel, marah, gusar atau was-was.”
Doni mengangguk, meskipun sebetulnya tak terlalu paham dengan apa yang dimak-sudkan Mbak Lusi perihal kewajibannya untuk memuliakan mertua. Yang jelas, selama sepekan itu Doni tak berani menginjakkan kaki di rumah Mbak Lusi. Untunglah Doni mendapat tempat lain, di warung depan rumah Mbak Lusi, di mana Doni bisa duduk-duduk minum kopi sambil menunggu saat pulang sehingga tiba di rumah selalu tepat pukul setengah sembilan.
SELAMA sepekan, dari warung itu, Doni dapat menyaksikan betapa mertua Mbak Lusi setiap hari selalu tampak ceria. Wajahnya berseri-seri girang gembira, memancarkan rasa bahagia. Bagi Doni, itu merupakan pemanda-ngan sekaligus kejadian yang menakjubkan. Maklumlah, selama ini Doni terbiasa menyak-sikan wajah para mertua yang jika berkunjung di rumah menantunya selalu tampak cemberut menyembunyikan rasa kesal dan sesal.
Dalam deretan mertua cemberut itu, termasuk pula orang tua Doni, yang jika datang ke rumah gemar sekali mencereweti istri Doni. Buntutnya, istri Doni mengeluh, merasa tertekan dan seterusnya. Hal itu sungguh bertolak belakang dengan yang Doni saksikan di rumah Mbak Lusi. Setiap hari, Mbak Lusi terlihat riang, sementara kedua mertuanya berseri-seri bahagia. Sungguh kenyataan yang sangat indah, dan menakjubkan!
Maka, ketika mertua Mbak Lusi pulang kampung, Doni tak tahan untuk menanyakan kiat membuat mertua menjadi girang dan bahagia.
“Ah, membuat mertua merasa senang dan bahagia saja ‘kan gampang. Kita hanya tinggal bilang ya, maka semuanya pasti akan beres,” kata Mbak Lusi santai.
“Bilang ya bagaimana?” tanya Doni heran.
“Begini. Di mana pun mertua itu selalu sama. Suka mengatur, suka memberi nasihat, suka memberi saran ini dan itu. Karena, pada dasarnya semua mertua merasa lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam soal membangun rumah tangga bahagia…”
“Terus?” desak Doni.
“Ya selanjutnya cuma bagaimana cara kita menanggapinya saja, ‘kan? Kalau saya sih memilih bilang ya saja, kok. Jadi, kalau misalnya mertua bilang begini, Doni jawab iya. Pendeknya, jika mertua menyuruh begini dan begitu, saya iyakan saja. Dengan begitu, mertua jadi lega, puas, senang, bahagia…”
“Diiyakan terus?” tanya Doni.
“Iya. Lagian apa susahnya bilang iya, sih? Apa ruginya? Wong jawaban iya itu nggak harus beli lho. Iya, ‘kan? Wong bilang iya itu gratis lho…., iya ‘kan?” kata Mbak Lusi.
“Iya…,” sahut Doni ketularan iya.
“Makanya itu…, kalau mertua bilang begini atau begitu, iyakan sajalah. Misalnya kemarin ini mertua sayai bilang…, Lus…, kursi goyang itu sebaiknya jangan diletakkan di pojok begitu, dipindah saja dekat teve. Meskipun dalam hati saya nggak setuju, jawaban saya adalah iya, lalu kursi goyangnya saya pindah. Mertua senang. Tadi, begitu mertua sudah pulang , kursi goyang saya pindah ke pojok lagi. Gampang saja, kan?” kata Mbak Lusi.
“Iya…,” sahut Doni otomatis iya.
“Nah, biasanya, menantu cenderung menyanggah mertua. Kadang malah mengajak berdebat, hanya untuk menegaskan bahwa si menantu berhak mengatur rumah tangganya sendiri dan lain sebagainya. Tapi buat apa sih berdebat dengan mertua? Apa gunanya? Iya ‘kan?” katanMbak Lusi.
“Iya…”
“Jawaban iya…, sepanjang pengalaman saya , berhasil membuat mertua saya senang, puas, bahagia…, dan juga berhasil membuat mertua bertambah sayang pada saya,” lanjut Mbak Lusi dalam senyum damai.
“Tapi…, bukankah itu berarti kita menjadi tidak jujur kepada mertua? Karena ketika kita bilang iya, sebetulnya yang ingin kita katakan adalah tidak?” sanggah Doni.
Mbak Lusi tersenyum lagi. Lebih damai, lebih menawan.
“Tidak jujur bagaimana, sih? Memang ketika kita bilang iya, bisa jadi yang ada di dalam hati kita sebetulnya tidak. Namun, jika kita bilang iya, pada dasarnya kita ‘kan hanya menunda untuk menyampaikan pendapat tidak yang menurut kita lebih benar. Karena, siapa tahu apa yang dikatakan mertua itu benar, kok tidak harus kita iyakan? Lagi pula, siapa yang dapat menjamin bahwa pendapat kitalah yang benar, sehingga kita harus menidakkan pendapat mertua?” katanya runtut dan sejuk.
Doni termangu. Kalau mendengar kalimat-kalimat yang berbau filsafat begitu itu, Doni memang cenderung termangu. Maklum, Doni ini terbilang gampang bingung.
“Dengan menjawab iya, kita akan punya waktu untuk merenungkan saran atau nasihat mertua dengan kepala dingin. Kalau misalnya kita menjawab tidak, yang terjadi kemudian tentulah debat. Dan sepanjang pengalaman saya, berdebat dengan mertua itu lebih banyak rugi daripada untungnya,” lanjut Mbak Lusi.
“Kok begitu?” tanya Doni.
“Iya. Karena mertua ‘kan bisa mengadu pada suami. Jika itu terjadi, persoalannya tentu jadi melebar. Mungkin suami akan kecewa, karena istrinya berani melawan atau sedikitnya tidak hormat pada orangtuanya. Saya sendiri dulu pernah begitu lho,” kata Mbak Lusi.
“Oya?” Doni kaget.
“Iya. Waktu itu saya merasa jengkel karena menganggap mertua terlalu banyak ikut campur urusan rumah tangga kami. Suatu ketika, ketika mertua bilang sayai harus begini, saya jawab tidak!” kata Mbak Lusi.
“Terus….”
“Mertua mengadu pada suami…”
“Terus….”
“Saya bilang, hidup saya seperti dimadu…”
“Terus…”
“Suami saya bilang, mungkin saja benar saya seperti dimadu. Tapi, menurut suami saya, lebih baik dimadu dengan mertua daripada dimadu dengan istri kedua yang usianya jauh lebih muda.”
“Kok begitu?” Doni kembali kaget.
“Iya. Kalau dimadu dengan mertua, paling-paling ‘kan cuma selama 10 tahun. Maklum, usia mertua ‘kan sudah tua, sudah di atas lima puluh lima. Sedangkan jika dimadu dengan istri muda ‘kan bisa berlangsung jauh lebih lama. Mungkin seumur hidup,” kata Mbak Lusi.
Doni kembali termangu. Bingung.
“Jangan lupa lho, Dik…, menurut saya, semua pria di dunia ini, termasuk suami saya, pada dasarnya cenderung ingin punya istri banyak. Untunglah suami saya tak mungkin berani beristri lebih dari satu. Kalau dia nekat, saya ‘kan tinggal lapor pimpinannya. Selanjutnya lapor mertua. Jangan lupa lho, Dik…, saya ini menantu yang paling disayang mertua lho. Iya ‘kan?” lanjut Mbak Lusi.
“Iya…,” sahut Doni sembari manggut-manggut.*