Oleh HARRY TJAHJONO
Sebetulnya Doni belum terlalu kenal lama Mbak Lusi. Doni bahkan tidak tahu persis berapa umurnya, karena belum pernah menghadiri pesta ulang tahunnya. Artinya, perkenalan Doni dengan Mbak Lusi belum genap setahun. Tapi, dalam tempo sesingkat itu, entah kenapa Doni merasa sangat dekat dengannya.
Secara fisik, Mbak Lusi memang cantik, simpatik, dan menarik. Namun bukan penampilan lahiriahnya benar yang membuat Doni kagum dan senantiasa merasa senang jika berada dekat dengannya. Apalagi Doni tahu Mbak Lusi sudah punya suami, seorang polisi, berputri seorang gadis cilik yang lucu dan cantik seperti ibunya. Lebih dari itu, Mbak Lusi sehari-hari adalah seorang istri yang selalu tampak bahagia.
Perkenalan Doni dengan Mbak Lusi terjadi secara kebetulan. Suatu sore, pulang dari kerja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Doni numpang berteduh di emper rumahnya yang berada di samping kantor. Mas Pri, suami Mbak Lusi, ternyata polisi baik hati yang dengan ramah menyilakan Doni masuk ke ruang tamu. Lantas Mbak Lusi menyuguhkan minuman. Kami berkenalan dan segera akrab karena ternyata Doni dan Mas Pri berasal dari kota yang sama, Ponorogo.
Sejak itu, saya sering bertandang ke rumahnya. Baik ketika Mas Pri ada di rumah maupun ketika sedang bertugas. Kadang-kadang pada jam istirahat kantor, saya mencuri kesempatan bertamu ke rumah Mbak Lusi. Kehadiran saya selalu disambut sebagai keluarga oleh Mbak Lusi, Mas Pri maupun putrinya yang baru kelas 4 SD.
“Mbak Lusi ini kelihatannya kok ceria terus, sih? Nggak pernah cemberut, selalu terlihat bahagia, selalu tampak gembira,” puji Doni setulus hati.
Mbak Lusi tersenyum, menjawab enteng, “Jadi istri itu memang harus gembira, Dik. Kan ada pepatah, istri itu adalah ratu rumah tangga. Kalau istri cemberut, suasanan rumah tentu akan ikut semrawut. kalau istri gembira, seisi rumah tentu juga akan gembira, akan bahagia…..”
Doni manggut-manggut. Mendadak Doni terbayang Dona, istrinya, yang sehari-hari nyaris tak pernah senyum.
“Memangnya kenapa, Dik?” tanya Mbak Lusi.
Doni tak segera menyahut. Usia Mbak Lusi, pikir Doni, tentu jauh lebih muda dari umurnya. Maka sepenuhnya Doni menyadari bahwa panggilan Dik terhadap dirinya itu sesungguhnya hanya untuk menegaskan jarak dan batas yang tak bisa dan tak boleh dilanggar.
“Lha kok malah diam to, Dik? Kalau ada masalah, mbok ya cerita saja sama Mbak Lusi. Siapa tahu Mbak bisa membantu,” kata Mbak Lusi, bijak sekaligus berjarak.
“Anu…., saya cuma ingin tahu, bagaimana sih caranya membuat istri selalu tersenyum, selalu ceria, selalu gembira, seperti Mbak,” kata Doni.
Mbak Lusi tertawa kecil. “Memangnya kenapa to? Apa istri Adik jarang senyum, cemberut terus, begitu?” tanya Mbak Lusi, enteng dan menyejukkan hati.
Doni mengangguk, sambil diam-diam minta maaf pada istri, karena telah membocorkan rahasia rumah tangga kepada orang luar.
“Menjadi istri itu memang berat, Dik,” kata Mbak Lusi.
Doni membenarkannya dengan anggukan.
“Sudah seharian dikurung di rumah, masih dituntut selalu tampil gembira, nggak boleh cemberut, mesti murah senyum, mesti kelihatan senang, bahagia, padahal sebetulnya jadi istri itu berat lho, Dik…,” lanjut Mbak Lusi.
“Tapi Mbak Lusi sepertinya kok tidak pernah cemberut, sih?” tanya Doni menukas.
“Bukan tidak pernah, melainkan cuma jarang,” jawab Mbak Lusi.
“Jarang? Jadi…, Mbak Lusi pernah cemberut?” tanya Doni tak yakin.
Mbak Lusi mengangguk. “Terutama dulu, ketika Mas Pri kalau pulang dari kantor tidak pernah tepat waktu,” katanya.
“Tidak pernah tepat waktu?” tanya Doni.
“Ya. Waktunya ngacak, nggak teratur.Kadang pulang siang, kadang pulang sore, kadang pulang malam,” kata Mbak Lusi.
“Oo…”
“Lha adik sendiri kalau pulang kantor waktunya teratur apa nggak?” tanya Mbak Lusi.
Doni menelan ludah. “Ya…, memang nggak teratur, Mbak. Kalau harus lembur, atau kebetulan ada obyekan, ya terpaksa pulang malam. Tapi kalau kerjaan lagi sepi, siang-siang sudah pulang. Memang nggak tentu, sih. Maklum, saya kan pegawai rendahan,” kata Doni apa adanya.
Mbak Lusi tersenyum. Indah.
“Sebaiknya Adik mengatur pulang secara teratur. Artinya, jangan kadang pulang siang, kadang pulang malam. Kalau pulang siang ya siang terus. Kalau pulang malam ya malam terus, begitu…,” kata Mbak Lusi.
“Lha kalau saya pulang malam terus, apa nggak akan membuat istri marah-marah?” tanya Doni.
Mbak Lusi tersenyum. Semakin indah.
“Pertama mungkin akan menimbulkan kecurigaan, tapi lama-lama tentu akan jadi biasa. Nah, jika waktu pulang suami itu sudah teratur, tentu akan membuat istri bisa mengatur waktu untuk dirinya sendiri. Misalnya, adik selalu pulang pukul delapan malam, maka sampai sekitar pukul setengah delapan, istri Adik tentu bisa relaks nonton teve, bisa menerima tamu, atau sekadar ngobrol dengan tetangga,” kata Mbak Lusi.
“Oo…”
“Menjadi istri itu berat lho! Dan akan bertambah semakin berat jika, misalnya sedang santai nonton teve, tiba-tiba suami pulang kantor secara mendadak. Nah, kalau suami datang, mau nggak mau istri kan harus menyediakan ini itu, kan? Jadinya kan repot. Padahal acara teve yang sedang ditonton lagi seru-serunya. Tapi terpaksa ditinggal gara-gara harus melayani suami. Jengkel, kan? Lain halnya jika waktu pulang suami itu teratur, dapat dipastikan jamnya…,” lanjut Mbak Lusi.
“Oo…”
“Para suami memang sering salah duga. Dipikirnya istri akan merasa senang jika suaminya ada di rumah. Padahal, kalau suami ada di rumah, tugas istri itu biasanya jadi tambah berat. Semakin lama waktu suami ada di rumah, semakin lama juga energi istri yang tersedot hanya untuk melayani suaminya. Padahal yang harus diurus istri kan bukan cuma suami? Ada anak, pembantu, dapur, kamar mandi, tukang sayur, tetangga dan lain sebagainya,” lanjut Mbak Lusi runtut.
“Oo…’
“Makanya…., usahakan pulang kantor secara teratur, supaya aktivitas istri di rumah tidak terganggu,” kata Mbak Lusi sambil tersenyum.
Doni mengangguk-angguk sambil diam-diam membiarkan pesona senyum Mbak Lusi mengusap dinding hati.
SEJAK itu, Doni memang selalu pulang kantor secara teratur. Ada lembur atau tak ada lembur, Doni selalu berusaha tiba di rumah pukul setengah sembilan malam. Mulanya Donya, istrinya, memang curiga, tapi kemudian menjadi biasa dan mulai sering tersenyum serta tampak bahagia.
Untuk bisa pulang secara teratur, ternyata bukan hal yang sulit. Kalau ada lembur, otomatis Doni memang harus pulang malam. Kalau tak ada lembur, Doni selalu mampir ke rumah Mbak Lusi. Cuma sekadar duduk-duduk, ngobrol, memandangi senyumnya yang indah dan menyejukkan hati.
Kadang memang terlintas angan-angan, seandainya Mbak Lusi belum bersuami….
Tapi, angan-angan itu akan segera hancur digempur bayangan Mas Pri yang tampak gagah dalam seragam polisi. *