Oleh HARRY TJAHJONO
Di kantor Doni, kalau sedang istirahat makan siang, topik yang asyik diperbincangkan teman-teman pria di kantor adalah soal anak, istri dan masalah rumah tangga. Masing-masing berusaha menonjolkan kebahagian perkawinannya. Caranya macam-macam. Ada yang mengungkapkan hal-hal luar biasa, atau langsung menyimpulkan. “Kesetiaan suami, bisa dideteksi lewat foto siapa yang ada di dalam dompetnya,” kata Mas Widodo, teman sekantor paling senior.
“Kalau begitu saya termasuk suami yang setia, dong!” kata Doni sambil membuka dompet selekasnya.
Mas Wid mengamati potret istri dan kedua anak Doni, yang terselip dibalik plastik dompet.
“Saya juga suami yang setia,” kata Anto seraya membuka dompetnya.
“Ini istrimu?” tanya Reza.
“Ya. Cantik ya?” sahut Anto balik bertanya.
“Boleh juga,” kata Reza singkat.
“Mas Wid sendiri bagaimana?” tanya Doni mengusut.
“Saya ini sudah tua. Suami yang sudah tua itu seringkali tidak punya pilihan lain kecuali setia,” sahut Mas Wid kalem.
“Tapi Mas Wid masih menyimpan foto istri dalam dompet, kan?” desak Doni.
Mas Wid menggeleng.
“Berarti Mas Wid bukan tipe suami setia dong,” kata Anto.
Mas Wid tersenyum. Reza yang rupanya belum tertarik untuk ikut membeberkan isi dompetnya, juga tersenyum.
“Lihat dompetnya dong, Mas,” kata Anto seperti membujuk.
Dengan santai Mas Wid merogoh saku celana. Entah kenapa Doni merasa was-was—tepatnya berharap foto yang ada di dompet Mas Wid bukanlah foto istrinya, melainkan…..
“Foto siapa itu, Mas Wid?” tanya Anto.
Doni ikut melongok dompet Mas Wid. Tampak ada foto dua anak kecil sedang tertawa. Usia mereka sekitar empat dan tujuh tahun.
“Ini foto cucu saya tercinta,” kata Mas Wid, lalu mengecup foto yang ada di dalam dompetnya.
“Lho? Yang di pasang kok bukan foto istri? Kok malah foto cucu?” tanya Doni heran.
“Seperti yang tadi sudah saya bilang, suami yang sudah tua seperti saya ini, tak bisa tidak memang harus setia. Tak ada pilihan. Selain itu juga tak lagi gentar dicemburui istri, apalagi merasa takut kehilangan istri yang sama-sama sudah tua,” kata Mas Wid.
“Maksudnya?” tanya Anto
“Begini. Kita menyimpan foto istri di dalam dompet, itu karena untuk menunjukkan rasa cinta kita pada istri. Iya kan? Itu juga berarti ungkapan bahwa kita selalu ingat padanya. Iya kan?”
Semua, kecuali Reza yang sedari tadi senyum-senyum, mengangguk setuju.
“Nah, kalau sudah tua seperti saya, kecintaan kita tak lagi tercurah pada istri. Tapi, lebih kepada cucu. Mungkin timbul pertanyaan, apakah istri tidak cemburu melihat foto yang ada di dompet kok potretnya cucu? Tidak. Karena di dalam dompet istri, yang ada juga bukan foto saya, melainkan potret cucu tercinta,” lanjut Mas Wid.
Doni dan Anto manggut, sementara Reza senyum-senyum belaka.
“Potret siapa yang ada di dompetmu?” tanya Anto pada Reza.
“Iya…, lihat dong,” kata Doni menambahi.
Dengan santai Reza membuka dompetnya.
“Lho? Ini kan bukan istrimu?” tanya Doni kaget.
“Memang. Ini potret pacar saya. Potret istri saya ada di rumah. Sengaja saya besarkan, saya kasih bingkai, supaya bisa digantung di tembok,” kata Reza santai.
“Kamu ini bagaimana, sih? Potret pacar kok ditaruh di dompet. Kalau ketahuan istrimu bagaimana? Kacau, dong!” kata Anto kalang-kabut.
“Kalau ketahuan, memang kacau. Tapi, kami sudah sepakat bahwa dompet adalah wilayah pribadi yang tak boleh diintip, apalagi dibuka. Artinya, kami sudah sepakat, bahwa saya tak akan pernah mengintip isi dompet istri, sementara istri juga dilarang keras membuka dompet saya,” sahut Reza kalem.
“Tapi bagaimana kalau secara tak sengaja istrimu melihat potret itu?” tanya Doni was-was.
“Gampang. Bilang saja…, wah, ini pasti ulah iseng teman-teman di kantor yang usil menyelipkan foto wanita di dompet saya supaya istri cemburu,” kata Reza.
“Wah!”
“Memangnya kenapa?” tanya Reza.
“Itu berarti kamu mengkambing hitamkan teman kantor, dong!”
“Apa boleh buat. Menurut saya, bukan cuma politikus saja yang selalu butuh kambing hitam. Para suami pun juga butuh punya,” kata Reza.
“Tapi, apakah istrimu percaya bahwa potret itu ada di dompetmu karena ulah teman sekantor?”
“Tentu saja percaya. Karena apa? Karena jauh sebelum ini saya sudah mengarang cerita bahwa teman-teman sekantor itu suka iseng, suka berbuat usil dan aneh-aneh supaya si Anu ribut dengan istrinya dan seterusnya,” kata Reza tetap santai.
“Buat apa kamu mengarang dusta begitu?”
“Wah, kamu ini bego amat sih. Itu namanya untuk mengkondisikan istri, supaya di dalam pikirannya sudah terpateri pengertian bahwa teman-teman kantor saya itu usil-usil, suka iseng, jahil dan seterusnya. Jadi, kalau misalnya dia lihat potret pacar saya ada didompet, lalu saya bilang itu ulah iseng teman kantor, dia nggak kaget lagi. Selain nggak kaget, juga bisa menerima dan mempercayai alasan itu. Begitu lho,” kata Reza.
Doni dan Anto saling pandang, sementara Mas Widodo dengan enggan bangkit dari kursi dan berlalu meninggalkan kami. Doni mengira Mas Wid tersinggung, atau mungkin kecewa terhadap Reza yang ternyata bukan suami setia.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Doni was-was.
“Ke kamar kecil,” sahut Mas Wid, nadanya kesal, berlalu pergi tak lagi kembali.
“Gara-gara kamu Mas Wid jadi nggak mau ngobrol dengan kita lagi. Nggak mau membagi pengalaman bagaimana caranya membangun rumah tangga yang awet dan bahagia,” kata Anto menyesalkan.
Reza tersenyum. “Asal tahu saja…, kiat saya ini saya petik dari pengalaman Mas Wid ketika masih muda,” katanya santai.
Doni dan Anto melongo. ***