Oleh HARRY TJAHJONO
Naik pangkat, apalagi melejit jadi pejabat, resikonya sungguh sering berat. Gaji memang jadi lebih besar, fasilitas makin banyak, martabat meningkat. Semuanya itu tak hanya mengakibatkan perubahan status sosial ekonomi, tapi juga terhadap perilaku dan gaya hidup si pejabat baru plus istrinya.
Demikian dikatakan Mas Dar dalam kalimat tertib, serius dan hati-hati, seperti lazimnya bila pejabat pidato. Itulah suatu gaya bicara yang mesti dibiasakan siapapun sejak jadi cape (calon pejabat) dan apalagi setelah jadi peres (pejabat resmi), dalam rangka mencari wibawa. Dan Mas Dar tampaknya cukup berhasil. Bahkan perubahan pada Mas Dar itu terjadi dalam tempo singkat, karena pengangkatannya sebagai pejabat juga secara tiba-tiba. Dari kepala bagian, mendadak saja bos mengangkatnya sebagai direktur.
Ketika itu terjadi, banyak yang tercengang atau iri. Maklum, di kantor, prestasi Mas Dar terbilang biasa-biasa saja. Tapi, mungkin justru karena biasa-biasa saja itulah yang membuat Mas Dar diangkat jadi direktur. Atau mungkin karena ia sedang beruntung. Apa pun penyebab pengangkatannya, pada akhirnya tak ada yang berani menggugat.
Doni saja, yang mantan teman akrabnya, bila di depan umum tak lagi berani memanggil dengan sebutan Mas Dar. Tanpa diminta, Doni menyebutnya Bapak, atau Pak Dar.
Segalanya, termasuk istri Pak Dar, mendadak ikut berubah. Memang, tak semua perubahan berlangsung secara wajar. Ada juga yang alot, lantaran kebiasaan lama terlanjur mendarah daging. Istri Pak Dar, misalnya, termasuk sulit mengubah kebiasaan lama yang sudah menjadi bagian dari kepribadiaannya.
“Doni sering merasa malu akibat perilaku lama istri saya, yang tidak cocok lagi dengan frekuensi pergaulan sosial saya,” kata Pak Dar.
Doni dengan khidmat mendengarkan. Sebagai teman SLTA, Doni tahu persis Pak Dar punya hobi mengutak-atik radio. Tak mengherankan apabila idiom semacam frekuensi, stereo, FM, AM, volume dan istilah keradioan lain sering dijadikan padanan untuk mengungkapkan sesuatu.
“Sudah berkali-kali saya menyarankan agar kalau bicara, volumenya jangan terlalu keras. Tapi, hasilnya nihil! Bahkan saat dinner bersama pasangan pejabat lain, volume istri saya mengalahkan suara penyanyi yang menghibur kami. Mending kalau suaranya stereo…”
Dugaan Doni ternyata benar. Sebetulnya Doni ingin mengingatkan bahwa ia juga belum mengubah kebiasaan lamanya, yakni gemar mengutip istilah keradioan. Tapi, apakah tak kurangajar mengingatkan kesalahan atasan?
“Yang paling memalukan adalah kebiasaan lama istri saya, yang memanfaatkan pertemuan-pertemuan untuk berdagang secara cash maupun kredit. Dulu, sebelum Doni jadi direktur, hal itu memang sangat membantu perekonomian rumah tangga kami. Jika ada arisan atau pertemuan keluarga karyawan, saya bahkan ikut membawakan contoh barang dagangan. Tapi, sekarang ini situasinya kan jauh berbeda,” lanjut Pak Dar, dengan wajah dan suara muram.
Doni hanya diam, mendengarkan.
Syukurlah, tiada sesuatu yang abadi. Begitu juga yang terjadi pada istri Pak Dar, sebulan setelah ia berkeluh-kesah.
“Istri saya sudah berubah,” kata Pak Dar dengan nada ceria dan wajah berseri cerah.
Doni mengangguk, ikut merasa lega.
Lalu, Pak Dar bercerita bahwa perubahan itu terjadi setelah istrinya ikut kursus di sebuah lembaga pendidikan kepribadian yang dipimpin artis sekaligus pengusaha ternama. Di lembaga itu, lanjut Pak Dar, istrinya diberi pelajaran bagiamana caranya berjalan, berbicara, berbusana, berdandan dan lain sebagainya agar terkesan berwibawa, santun dan anggun.
“Seperti disulap, dalam tempo sebulan istri saya sudah mampu melompat dari gelombang AM yang mono ke frekuensi FM yang stereo,” kata Pak Dar mengutip istilah keradioan—suatu hobi yang melekat sejak SLTA.
Kenyataannya memang begitu. Istri Pak Dar memang berubah. Kini, ia tak lagi canggung tampil di depan umum. Busana dan dandanannya sungguh serasi, banyak senyum lagi pandai berpidato.
Menyaksikan penampilan istri Pak Dar di berbagai kesempatan, Doni jadi iri. Bahkan Doni sering bermimpi dan berandai-andai. Seumpama Doni tiba-tiba beruntung diangkat jadi salah satu direktur, kehidupan Doni tentu akan berubah seperti Pak Dar. Jika itu terjadi, istri Doni tentu juga Doni suruh kursus kepribadian seperti istrinya Pak Dar.
Maka, Doni merasa heran tatkala Pak Dar datang dengan wajah lesu dan berkeluh-kesah lagi.
“Kebahagiaan rumah tangga saya terancam bahaya,” katanya.
Selanjutnya, Pak Dar menceritakan bahwa perubahan perilaku serta kepribadian istri dan dirinya agar sesuai dengan gaya hidup kaum elite, membuat rumah tangganya tak lagi harmonis. Kini, istrinya mesti sering menghadiri kegiatan sosial, dinner party, pembukaan pameran lukisan dan sebagainya dan seterusnya.
“Busana, dandanan, penampilan, senyuman, ucapan yang ramah tamah…, semua yang ia miliki, kini diperuntukkan bagi publik. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada kepribadian istri saya itu membuatnya tidak lagi menjadi istri saya pribadi,” kata Pak Dar, terdengar kesal dan sedih.
Doni diam mendengarkan, tahu hak dan kewajiban untuk tidak berkomentar. Padahal, Doni tidak begitu paham makna ucapannya—terutama yang menyangkut hubungan antara kepribadian istri dan istri pribadi.
“Ibarat punya kendaraan umum, sekarang ini saya hanya memegang BPKB-nya saja, sementara mobilnya mondar-mandir melayani penumpang,” lanjut Pak Dar menjelaskan, karena paham melihat Doni tak begitu maklum dengan kata-katanya.
Terus terang saja, Doni merasa aneh mendengar istilah permobilan yang diucapkan Pak dar sebagai pengganti idiom keradioan. Diam-diam Doni menduga, perubahan istilah itu tentu berhubungan dengan mobil dinas baru Pak Dar, plus beberapa mobil pribadi yang dibelinya sejak menjabat direktur.
“Sekarang saya memang punya hobi baru,” kata Pak Dar bagaikan tahu apa yang ada di benak Doni.
“Ngebrik?” tebak Doni, mengingat ngebrik itu masih ada hubungannya dengan keradioan.
“Bukan. Hobi baru saya sekarang beli mobil. Sore nanti saya akan beli mobil lagi” katanya sambil senyum.
“Beli mobil lagi? Bukankah mobil Bapak sudah banyak?” tanya Doni.
“Iya. Saya, istri, dan ketiga anak saya masing-masing memang sudah punya mobil sendiri. Tapi, Wina kan belum…”
“Wina?” Doni kaget.
“Ya…, mobil pribadi. Bukan mobil dinas atau kendaraan umum,” kata Pak Dar dalam senyum. *