Oleh HARRY TJAHJONO
Membangun perkawinan bahagia itu gampang. “Segampang membalikkan telapak tangan,” kata Tomi, teman Doni, menegaskan pendapatnya.
Teman Doni ini memang cenderung menggampangkan segala macam hal, termasuk soal perkawinan yang bagi Doni merupakan masalah rumit dan kompleks. Apalagi perkawinan bahagia.
Tapi memang demikianlah Tomi, dimatanya, semua jadi serba gampang, serba menyenangkan.
“Lho, apa sulitnya membangun perkawinan bahagia, sih? Kan leluhur kita sudah mewariskan banyak falsafah dan kiat tentang hal itu? Kita tinggal mempraktekkannya, dan tahu bereslah yaa…,” lanjut Tomi, rileks.
“Contoh falsafah dan kiat warisan leluhur itu misalnya apa?” tanya Doni, sambil berharap bisa mempraktekkannya di rumah.
“Banyak. Misalnya, orang jawa zaman dulu selalu bilang kepada setiap wanita yang akan menikah: kalau kamu ingin dicintai dan tak ingin kehilangan suami, maka puaskanlah perut suamimu,” jawab Tomi.
“Perut? Yang harus dipuaskan justru perut?” tanya Doni menegaskan.
“Ya. Artinya, istri harus pintar masak, agar suaminya enak makan di rumah, tak punya keinginan jajan di warung.kalau istri tak pandai masak, suami kan jadi malas makan di rumah. Karena ingin makan enak, suami lantas mengudap di kedai. Mula-mula memang jajan penganan, tapi lama-lama kan bisa jajan yang lain. Dan itu bermula dari soal perut. Iyakan?” jelas Tomi.
Doni manggut-manggut. Ada benarnya, ada benarnya…
”Contoh lain, perkawinan itu sebenarnya sebuah lembaga sakral yang secara mutlak menuntut suami atau istri untuk bersedia dan ikhlas menerima kekurangan pasangan hidupnya. Sebab dari tahun ke tahun, suami atau istri semakin bertambah tua. Jadi TOP: tua, ompong, peyot…, keriput dan jelek. Iyakan?” lanjut Tomi.
Doni manggut-manggut lagi. Betul juga, betul juga…
”Itulah sebabnya orang zaman dulu punya pepatah: bukalah mata lebar-lebar sebelum menikah, dan tutuplah mata setelah menikah. Artinya, sebelum menukah, lihatlah pria atau wanita sepuas hati. Nah, setelah menikah, jangan melihat pria atau wanita lain kecuali suami atau istri sendiri. Falsafah itu berguna untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewengan. Paham?” lanjut Tomi.
“Ya, ya, ya…,” Doni mengiya-iya.
“Hanya dengan tiga contoh yang sudah saya sebutkan tadi, kamu pasti bisa deh kalo cuma ingin membangun perkawinan bahagia…,” kata Tomi.
“Tapi, kalau benar perkawinanmu bahagia, kenapa kamu ada affair dengan sekretarismu?” tanya Doni, agak was-was.
Sejenak Tomi terdiam, lalu tersenyum rileks. “Maksudmu Susi?” kata Tomi balik tanya.
Doni mengangguk. Berdebar.
“Kamu sudah pernah jadi suami bahagia apa belum?” tanya Tomi balik mengusut.
Doni tak bisa menjawab.
“Hmm…., kamu pasti belum pernah jadi suami yang bahagia. Lha kalau saya ini…., wah…, saya ini termasuk suami yang terlalu bahagia,” lanjut Tomi, rileks.
Doni tercengang.
“Begini, sobat…, perkawinan bahagia itu ibarat sebuah hutan. Dengan begitu, anak dan istri ibarat pohon yang menjadi bagian dari keseluruhan hutan. Begitu juga kecantikan istri, hidung istri yang pesek dan lain sebagainya, tak lebih dari bagian dari keseluruhan hutan. Sedangkan wanita seperti Susi yang berada diluar perkawinan, ibarat sebuah pohon. Bukan bagian dari keseluruhan hutan, melainkan bagian dari sebuah pohon. Maka kecantikannya, hidungnya, bibirnya…., adalah bagian dari sebuah pohon. Dengan demikian eksistensinya menjadi lebih jelas, sehingga lebih mempesona. Paham?” ujar Tomi dalam nada santai.
Doni menggeleng. Bingung.
“Begini sajalah…., kamu sudah pernah kesundut rokok apa belum?” tanya Tomi.
Doni mengangguk.
“Rasanya bagaimana?” desak Tomi
“Panas, dan kaget,” jawab Doni sejujurnya.
“Tepat! Begitulah. Sebagai suami yang terlalu bahagia, perkawinan saya otomatis berjalan dengan tenang dan tentram. Tak ada lagi hal-hal yang mengejutkan. Jauh berbeda dengan affair saya dengan Susi. Membuat saya seperti selalu kesundut api rokok. Panas dan membuat saya terkaget-kaget,” dan Tomi tertawa renyah.
“Apakah itu juga salah satu falsafah warisan leluhur?” tanya Doni, masih dalam kebingungan.
“Bukan. Ini falsafah yang saya temukan lewat pengalaman affair saya dengan Susi,” sahut Tomi, rileks
“Oo…,” Doni meng-oo sambil melongo. *