HUMOR PASUTRI: Sihir Mantan Pacar Pertama

Sihir

Oleh HARRY TJAHJONO

Cinta pertama tak pernah mati. Kalimat itu sering kali diucapkan Jalil kepada saya. “Itu katanya Shakespeare, dan saya kira sembilan puluh sembilan persen benar. Seniman kan ahli merumuskan suatu kesimpulan hanya dalam sebuah kalimat indah. Tidak bertele-tele, tepat guna, puitis, sugestif, impresif dan dapat dipertanggungjawabkan,” ulang Jalil pagi ini.

“Saya sudah hapal,” kata Doni acuh tak acuh.

“Hapal saja tidak cukup. Percuma. Karena kalimat itu tidak untuk dihapalkan, tapi untuk dipraktekkan, supaya kebenarannya terbukti dan menjadi pengalaman hidup,” kata Jalil.

“Dipraktekkan?” tanya Doni tak paham.

“Tepat! Caranya gampang. Kamu pernah bertemu lagi dengan mantan pacarmu apa tidak?” ucapnya balik bertanya.

Doni coba mengingat-ingat. “Sejak menikah, kayanya sih saya ndak pernah ketemu dia lagi,” kata saya setelah gagal mengingat.

“Dia itu siapa?” desak Jalil.

“Dia…, Nuning…, nama yang bagus. Nama yang gampang diingat…”

“Ya…, wajahnya bahkan masih bisa saya ingat,” sahut Doni tercekat di kerongkongan. Entah kenapa tiba-tiba saja hati Doni berdesir, berdebar-debar.

“Tentu tak hanya wajahnya saja yang masih bisa kamu ingat dengan baik,” kata Jalil.

“Ya…, saya bahkan masih bisa mengingat caranya tersenyum, caranya berjalan…, ah…., dia itu kalau bicara tak pernah keras. Seperti berbisik….”

“Tidakkah kamu ingat saat pertama kali kamu mengecup bibirnya? Ataukah justru dia yang mengambil inisiatif, karena menganggapmu terlalu lamban?” tanya Jalil.

Ya ampun! Tiba-tiba saja masa lalu itu hadir secara utuh. Begitu indah. Begitu memukau! Tiba-tiba saja Doni seperti terlempar di sebuah benua masa silam yang sudah lama terlupakan. Doni saksikan keindahan di sana, di batas angan-angan, Nuning berlari sambil mengembangkan kedua tangannya dalam gerakan slow-motion.

“Kok jadi bengong?” tanya Jalil ngagetin. Pertanyaan Jalil yang disertai tepukan cukup keras di pundak itu menyadarkan Doni dari lamunan.

“Bagaimana? Cinta pertama tak pernah mati, ‘kan?” tanya Jalil menegaskan.

Doni mengangguk, kemudian menggeleng dan menggeleng lagi secara tak beraturan.

“Kamu kok jadi kaya orang linglung  begitu?”  olok Jalil.

“Saya nggak tahu. Sudah cukup lama saya tak bertemu Nuning. Sekitar 10 tahun…,” kata Doni terbata.

“Sepuluh tahun! Sudah 10 tahun kamu tidak berjumpa Nuning. Tapi toh kamu masih dapat mengingatnya dengan baik, kan?” kata Jalil.

Doni mengangguk.

“Nah…, apa yang kamu rasakan saat mengingat dia dan semua yang pernah kamu alami bersamanya?” tanya Jalil.

Doni tak menyahut. Menelan ludah cukup banyak.

“Hatimu dhag-dhig-dhug, kan?” desak Jalil.

Doni merasa tak punya pilihan lain kecuali mengangguk.

“Nah…, baru teringat saja kamu sudah kelabakan. Bagaimana kalau, misalnya kamu bertemu lagi dengan dia?” tanya Jalil.

“Bertemu lagi? Bertemu Nuning?” tanya Doni dengan gugup.

“Dia belum mati, kan? Masih hidup, kan?” desak Jalil.

Doni mengangguk selekasnya.

“Tinggal di kota ini juga?” Jalil tersenyum.

Doni mengangguk.

“Kamu tahu alamatnya?” tanya Jalil.

“Dia sudah menikah…, sudah punya anak…,” jawab Doni.

“Tapi kamu tahu alamatnya? Nomor teleponnya?”

Doni mengangguk.

“Teleponlah dia. Ajaklah bertemu di suatu tempat kenangan yang kalian anggap paling berkesan,” kata Jalil.

Doni terdiam. Gugup. Gelisah.

“Ayo…, telepon saja dia, dan buktikan bahwa Shakespeare benar,” desak Jalil.

“Saya takut ketahuan istri saya…,” kata Doni sejujurnya.

“Takut ketahuan? Bagaimana istri kamu bisa tahu?” tanya Jalil.

Saya terdiam.

“Kenapa mengkhawatirkan hal buruk yang belum terjadi, sih?” kata Jalil.

“Saya sudah pernah mengalaminya,” sahut Doni sejujurnya.

 “Mengalami apa?” tanya Jalil.

“Yaa…, mengalami ketahuan istri…, waktu saya ada affair dengan seorang wanita…,” kata Doni malu-malu.

“Kok istrimu sampai tahu?” tanya Jalil tertawa.

“Yaaa…., wanita itu namanya Nuarida. Saya memanggilnya Ida. Lalu, suatu malam, waktu berduaan dengan istri, saya ketelepasan menyebut Ida pada istri saya…,” kata Doni tersipu.

“Ha ha ha. Lha kamu biasanya memanggil istrimu dengan sebutan apa?” Jalil terbahak.

“Mama…,” jawab Doni.

“Hahaha . Kamu ini memang suami tak berpengalaman. Lain kali, kalau ada affair, sebutlah dia dengan panggilan Mama. Itu untuk menjaga agar di rumah kamu tidak keseleo lidah,” kata Jalil.

“Keseleo lidah?” tanya Doni.

“Ya. Saya sendiri kalau ada affair, selalu menyebutnya Mama atau Dik.”

“Dik?”

“Ya…, itu karena anak bungsu saya panggilannya adik. Jadi misalnya saya keseleo lidah memanggil istri dengan sebutan Dik…, padahal biasanya Ma…, saya masih bisa berkelit bahwa yang saya panggil Adik. Gampang saja, ‘kan?”

Doni terdiam. Gelisah.

“Saatnya menelepon, Nuning,” kata Jalil menyodorkan telepon

 Benak Doni membeku, sementara sosok Doni-Dini dan Dona saya tiba-tiba menari lincah di pelupuk mata. Sihir Shakespeare masih menggoda. Kacau!*

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara