Oleh HARRY TJAHJONO
BELAKANGAN ini, Eko semakin sering memuji-muji istrinya. Selama enam hari dalam satu minggu Eko tak henti membanggakan istrinya. Setelah hari Sabtu dinyatakan sebagai hari libur resmi, setidaknya kepada saya, dalam seminggu Eko memang ‘cuma’ memuji-muji istrinya sebanyak lima hari. Namun intensitas pujiannya semakin tinggi.
Saya mencoba memahami perilaku Eko itu sebagai “sindrom pengantin baru”. Maklum, belum genap setahun Eko menjadi suami Lili. Wajar saja jika pandangan suami terhadap istri atau sebaliknya, semuanya serba indah, serba baik, serba beres dan serba patut dipujikan serta dibanggakan.
Pada usia perkawinan yang masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, pasangan suami-istri biasanya memang belum sampai pada tahap mampu melihat dan menerima kekurangan-kekurangan yang ada pada diri pasangannya. Yang terlihat hanyalah kelebihannya, keistimewaaannnya dan hal baik-baik lainnya.
Kesimpulan itu saya peroleh dari pengalaman berumahtangga sepanjang 15 tahun. Barangkali memang tidak ilmiah, tapi rasa-rasanya kok ada benarnya. Artinya, pada tahun-tahun pertama perkawinan, saya juga seperti Eko. Merasa bahagia, karena setiap hari bisa berdekatan dan mengagumi kecantikan istri.
Tapi, lewat dari 5 tahun kemudian, ada suatu perubahan. Saya mulai melihat kekurangan yang ada pada diri istri saya, yang dulu tak pernah saya ketahui atau mungkin terlewatkan. Misalnya, ternyata hidung istri saya jauh lebih pesek dari yang dulupernah saya lihat ketika masih pacaran. Bahwa kalau lagi ngambek, istri saya bisa melontarkan teriakan mirip Tarzan. Bahwa….., banyak lagi kekurangan, atau keanehan, yang tiba-tiba saja terlihat setelah masa pengantin baru lewat. Dan bukan tidak mungkin pula istri saya, pada saat yang sama, juga melihat kekurangan dan “kelainan” yang selama ini tersembunyi di balik sikap lemah lembut saya.
Kenyataan “baru” itu sempat membuat saya dan istri shock. Kami jadi sering terlibat konflik, sebelum kemudian kami menyadari bahwa, “Perkawinan hanya bisa membuahkan kebahagian apabila suami-istri ikhlas menerima kekurangan pasangan hidupnya,” begitu dulu istri saya pernah berkata.
Saya kira, istri saya ada benarnya.
“Tadi malam saya dibangunkan istri saya hanya untuk disuruh mengelus-elus perutnya. Padahal saya ngantuk banget. Tapi, mau tak mau saya lakukan juga. Maklum, istri saya kan sedang ngidam. Permintaannya sering aneh-aneh , “ kata Eko, membuyarkan lamunan saya tentang rumah tangga bahagia.
Ya…, istri kalau ngidam memang begitu,” kata saya membenarkan.
“Jadi, istri Mas waktu ngidam juga minta yang aneh-aneh?” tanya Eko.
Saya mengangguk.
“Apa pernah minta dibelikan duren, padahal sedang tidak musimnya?”
Saya mengangguk.
“Wah, kalau begitu sama, dong! Hampir setiap hari Lili minta dibelikan belimbing, kelengkeng, mangga…, banyak lagi, deh! Kalau sedang musim sih gampang ditemukan di pasar. Tapi, kalau nggak musim, wuuuh…., saya terpaksa keliling ke mana-mana sampai dapat. Capek juga, sih. Tapi, demi istri tercinta yang sedang ngidam, capek berat juga nggak apalah. Toh kalau kita bisa memenuhi permintaan istri, rasanya bahagia,” kata Eko lagi
“Ya, memang begitu.…”
“Jadi, Mas dulu juga begitu ya? Apa Mas dulu juga merasa bahagia jika bisa memenuhi permintaan istri yang sedang ngidam?”
Saya mengangguk membenarkan. Ya, dulu saya memang seperti Eko, merasa bahagia jika bisa memnuhi permintaan istri saat sedang ngidam. Betapapun permintaannya aneh, dan hampir mustahil dapat saya wujudkan, toh saya akan berusaha keras memenuhinya.
“Wah, kalau begitu Mas pernah bahagia sebanyak enam kali, dong? Sesuai dengan jumlah anak yang dilahirkan istri, Mas,” kata Eko lagi.
Saya terdiam. Tak mengangguk, juga tak menggeleng. Saya memang juga bukan peserta KB yang sukses. Anak saya enam. Betul juga kata Eko jika saya pernah mengalami “kerja keras” memenuhi istri yang ngidam sebanyak enam kali. Tapi apa betul itu juga berarti saya mengalami rasa bahagiaaa—dengan beberapa—sebanyak enam kali?
Dulu, ketika akhirnya saya merasa sangat capek akibat terlalu sering disuruh memenuhi permintaan istri dengan alasan ngidam, saya pernah bertanya pada istri. “Mengapa, sih …., kalau kamu ngidam kok permintaanmu selalu aneh-aneh, bikin saya kalang kabut dan capek untuk bisa memenuhi keinginanmu?”
Cukup lama istri saya tak menyahut. Diam. Lalu tersenyum, dan nyeletuk santai. “Saya sengaja minta yang aneh-aneh supaya kamu ikut capek. Kamu pikir orang hamil itu enak? Capek, lho. Badan jadi berat. Mau tidur tengkurap nggak bisa. Otot jadi pegal semua. Enak kamu dong kalau nggak ikut ngerasain capeknya,” begitu dulu istri saya pernah mengaku.
Sejak mendengar pengakuan itu, rasa bahagia saya memang menjadi berkurang. Bahkan saya sempat keki, karena merasa telah “diperbudak” istri.
“Sebetunya apa sih Mas membuat istri ngidam itu minta yang aneh-aneh?” tanya Eko kembali membuyarkan lamunan saya.
“Anu…, mungkin karena ada perubahan biologis pada dirinya. Orang bisul saja bisa meriang kok…, apalagi jika didalam tubuh kita tumbuh janin, maka perubahan biologis dan psikologis tentu lebih hebat,” sahut saya agak gagap.
“Oo…, begitu ya,” kata Eko menggut-manggut.
Sebetulnya saya ingin mengatakan pengakuan istri saya pada Eko. Tapi saya tak tega membuat Eko kehilangan rasa bahagia seperti juga dulu saya pernah mengalami. Jadi, saya pilih jawaban yang tadi itu, yang kedengaran agak ilmiah karena ada kata-kata biologis dan psikologisnya.
Saya tak tahu persis apakah jawaban yang saya berikan pada Eko itu seratus persen benar. Tapi, paling tidak Eko sudah manggut-manggut saat mendengarnya. Saya cuma merasa bersalah, karena menyadari diri saya yang bukan sarjana ini kok beraninya mengucapkan sesuatu pernyataan yang berbau ilmiah. Tapi, kalau saya membeberkan pengakuan istri saya, apakah Eko tetap dapat memetik bahagia dari rasa capek memenuhi permintaan istri yang sedang ngidam. *