Oleh HARRY TJAHJONO
Keindahan perempuan, antara lain, tercermin pada bentuk payudaranya. Tentu saja bukan berarti bentuk hidung, bibir, mata, betis, perut dan seterusnya menjadi kurang penting. Namun, apalah artinya keindahan jika si perempuan terbujur tanpa nyawa?
“Yang kehilangan dan berduka bukan hanya saya, melainkan juga anak-anak, mertua dan sanak-saudara,” kata Yon, terdengar pedih dan sentimentil.
Doni dan Pri mengangguk sepenuh empati.
“Jika kedua payudaranya tidak diangkat, kanker ganas itu akan menyerang kandungan dan paru-parunya. Bila itu terjadi, maut pun menjemput. Syukurlah istri saya bisa mengerti. Meski dengan berat hati, ia merelakan kedua payudaranya diangkat. Saya tahu ia sangat terpukul. Tapi, saya bersumpah dan berjanji tak akan pernah meninggalkannya hanya karena ia tak lagi punya payudara. Saya akan tetap mencintainya, bahkan akan semakin menyayanginya,” lanjut Yon, tulus mengalir dari relung hati.
Doni dan Pri kembali mengangguk sepenuh empati
Lalu, dengan nada menyesal Yon berguman, “Sebenarnya ia tak harus kehilangan payudara jika saja rajin melakukan pemeriksaan. Padahal, untuk melakukan pemeriksaan itu tak harus ke dokter, bisa dilakukan sendiri. Waktu mandi, misalnya, sambil menyabun diurut dan dirasakan apakah ada benjolan atau tidak. Jika ada benjolan, dan terasa sakit, lalu pergi ke dokter,” kata Yon.
Doni dan Pri mendengarkan dengan seksama.
“Seandainya ia rajin memeriksa, kanker ganas itu tentu sudah terdeteksi sejak dini. Jika sebelum akut sudah dioperasi, istri saya tentu tak perlu kehilangan payudaranya. Tapi, saya sendiri juga bersalah karena tak pernah ikut membantu melakukan pemeriksaan,” lanjut Yon. Sesal kemudian tak berguna.
Doni dan Pri meninggalkan halaman rumah sakit dengan perasaan gamang. Kami juga punya istri. Tak terbayangkan apa yang terjadi jika istri mereka harus mengalami nasib seperti istri Yon.
“Saya akan bangkrut total. Biaya operasi dan pengobatannya saja lebih dari 5 juta. Duit dari mana?” guman Pri.
“Terpaksa utang…”
“Iya. Utang pada rentenir. Mungkin seumur hidup Doni akan tertimbun bunga utang. Karena anak saya sekarang baru berumur 4 bulan. Kalau payudara ibunya diangkat. ASI-nya tentu terputus. Doni harus beli susu kaleng dan vitamin tambahan. Itu pun gizinya belum tentu setara dengan ASI. Bisa-bisa anak saya jadi rentan penyakit gara-gara kurang ASI. Lha kalau sering sakit-sakitan kan mesti berurusan dengan dokter, obat, rumah sakit. Anggaran rumah tangga jadi berlipat ganda. Yang dapat di hemat mungkin cuma di sektor under-wear, karena istri saya tak perlu sering beli BH,” cerocos Pri.
Doni tak begitu memedulikan ucapan Pri. Pikiran dan perasaan masih tertinggal di rumah sakit. Diam-diam Doni berdoa agar Yon dan istrinya tetap tabah dan tawakal.
Sebulan berlalu, namun kesedihan masih membayang di wajah Yon. Memang bukan hal mudah untuk menerima kenyataan hidup seperti yang dialami olehnya.
Beban yang ditanggungkan istri Yon tentunya jauh lebih berat. Syukurlah Yon bukan terolong pria hidung belang yang mudah berpaling pada keindahan perempuan lain. Namun, bila kelak ada gejala Yon menengok perempuan lain, Doni bersumpah akan mengingatkan pada janji sucinya.
Yang agak mengherankan Doni justru perubahan sikap Pri. Kekhawatiran yang tempo hari menempel di wajahnya, belakangan ini hilang plas! Seminggu terakhir ini wajahnya bahkan selalu tampak ceria. Bola matanya berseri, sering senyam-senyum sendiri.
“Berkat studi kankerologi payudara istri, perkawinan saya menjadi lebih hangat dan bahagia,” kata Pri saat Doni tanyakan penyebab keceriaannya.
“Kamu kuliah lagi? Kedokteran?” tanya Doni kagum.
“Kuliah mbahmu! Buat nyekolahin anak saja pas-pasan kok kuliah lagi!” kata Yon.
“Lha itu tadi…, soal studi…”
Pri menepuk pundak Doni, seperti sering dilakukan orang-orang yang merasa dirinya lebih bijak dan arif.
“Begini, sepulang dari rumah sakit itu, saya langsung mencari dan mambaca tulisan tentang kanker di buku, koran dan majalah. Saya tidak ingin teledor. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, kan? Maka, dengan seksama saya pelajari seluk-beluk kanker. Supaya Doni tahu bagaimana menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kanker, bagaimana mendeteksinya…, pendeknya studi kankerologi-lah! Utamanya kanker payudara. Demi kesehatan dan keselamatan jiwa istri,” kata Pri.
Doni terharu, dan merasa bangga punya teman seperti Pri.
“Ternyata , banyak sekali penyebab timbulnya kanker. Pola makan serba instan. Rokok, ikan yang tercemar mercury, sayuran yang ternoda pestisida, udara yang digebuk radiasi, air yang terkontaminasi, faktor keturunan dan banyak lagi hal lain yang dapat menimbulkan kanker! Itulah realitas yang sungguh mengerikan. Hidup kita ternyata sudah dikepung jutaan penyebab kanker! Benar-benar mengerikan!” kata Pri berapi-api.
Doni mengiyakan dengan anggukan.
“Dan tahukah kamu, Kawan…, menurut artikel di sebuah majalah…, salah satu penyebab kanker payudara adalah kebiasaan tidur dengan memakai BH,” lanjut Pri berbisik.
“Oya?” tanya Doni.
“Begitulah menurut artikel itu. Dan saya percaya. Istri saya juga percaya. Masa tidak mempercayai artikel yang sudah diterbitkan majalah? Lagipula, apa susahnya membiasakan diri tidur tanpa BH? Selain tidak keluar ongkos, juga menghemat sektor under-wear. Iya, ‘kan?” bisik Pri lagi.
Doni mengangguk mengiyakan.
“Dan saya juga mematuhi nasihat Yon tempo hari, yakni rajin membantu istri melakukan pemeriksaan. Toh caranya gampang. Cuma mengurut…, meraba…, dan merasakan apakah ada benjolan atau tidak. Dan pemeriksaan itu saya lakukan setiap malam. Hasilnya…, perkawinan saya sekarang ini jauh lebih hangat dan bahagia,” kata Yon bahagia.
“Oya?” tanya Doni.
“Ya! Tapi, jangan mudah percaya apa kata teman. Mulai nanti malam, cobalah sendiri. Praktekkan!” kata Pri, mantap. *