Oleh HARRY TJAHJONO
Kalau saja rumah tetangga Mas Suwondo tidak terbakar—dan kalau saja kebakaran itu tidak nyaris merenggut nyawa seorang bayi yang berhasil diselamatkan Mas Suwondo dengan gagah berani, belum tentu Mas Suwondo nongol di televisi. Tapi, agaknya memang demikianlah kehendak “sejarah” kehidupan Mas Suwondo, yang biasa saya sebut Mas Won saja.
Maka, setelah api kebakaran berhasil dipadamkan, setelah si bayi mungil tiba di tangan dokter sehingga luput dari maut, reporter televisi yang meliput peristiwa itu mewawancarai Mas Won.
“Apa yang mendorong Anda menerjang kobaran api untuk menyelamatkan bayi tetangga Anda?” tanya reporter.
Mas Won tampak kikuk. Maklum dia tidak biasa berhadapan dengan kamera. Bibirnnya gemetaran.
“Terdorong rasa perikemanusiaan anda, mungkin?” pancing si reporter.
“Ya…., ya….., terdorong itu….,” sahut Mas Won gagap.
“Apakah tidak berpikir bahwa tindakan Anda itu bisa mencelakakan, bahkan mungkin merenggut nyawa Anda sendiri?”
Mas Won kembali tampak kikuk. Bibirnya makin gemetaran.
“Tidak terpikirkan, mungkin? Atau tidak sempat memikirkan hal itu karena dorongan kemanusiaan terasa lebih kuat?” pancing si reporter lagi.
“Ya, ya…, tidak sempat memikirkan itu,” sahut Mas Won gagap.
Si reporter lantas menghadap kamera. Kepada penonton televisi, si reporter memuji-muji tindakan Mas Won yang gagah berani. “Yang tanpa memikirkan resiko kehilangan nyawa bersedia menerobos kobaran api demi menyelamatkan nyawa seorang bayi. Tindakan Pak Suwondo, pegawai swasta dan ayah dua anak ini sungguh patut diteladani. Demikianlah, saya Andri dan juru kamera Simon melaporkan dari tempat kejadian…..”
Di latar belakang, tepatnya di belakang reporter teve, tampak wajah Mas Won ukuran close-up. Kemudian iklan.
SEJAK kejadian itu, Mas Won jadi terkenal. Setidaknya, di kampung kami, daerah Petukangan Jakarta Selatan, Mas Won sangat dikenal baik wajah dan kepahlawanannya. Bahkan menurut Mas Won, banyak orang diluar Jakarta yang mengenal wajahnya. Pernah, misalnya, Mas Won pergi ke Bandung.
“Di sebuah toko, tiba-tiba ada beberapa ibu-ibu mendatangi dan menyalami saya. Mereka mengucapkan terima kasih dan sangat menghargai tindakan saya menyelamatkan bayi itu,” kata Mas Won mengenang.
“Terus ?” tanya Doni penasaran.
“Terus apanya?” kata Mas Won balik bertanya.
“Habis mengucapkan terima kasih itu lalu…”
“Ya sudah,” kata Mas Won.
“Ndak minta tanda tangan, misalnya?” desak Doni.
“Oo iya! Ada beberapa yang minta tanda tangan saya. Begitu juga saat saya pergi dinas ke Yogya. Wah, waktu jalan-jalan di Malioboro, tiba-tiba pundak saya ditepuk laki-laki berewokan yang tampangnya seram,” kata Mas Won.
“ Ditodong?” tanya Doni.
“Nggak! Malah ditanya….., situ Pak Suwondo ya? Saya jawab, iya. Wah, dia lalu memuji tindakan saya. Dia bilang, meski berewokan dan bertampang seram, sebetulnya nyalinya jauh lebih kecil dibanding saya,” kata Mas Won.
Doni manggut-manggut. Sebetulnya Doni sendiri juga kagum pada Mas Won. Kagum pada keberaniannya. Juga kagum atas keberhasilannya menjadi kepala keluarga yang baik, suami yang hebat, ayah yang sukses, sehingga tak heran jika ia berhasil mendirikan rumah tangga bahagia.
]“Di kota-kota lain, saya juga sering mengalami hal semacam itu. Rasanya gimanaaa…, ‘gitu. Antara bangga dan risih…, ‘gitu,” lanjut Mas Won.
“Tapi, jadi orang terkenal itu menyenangkan, bukan?” tanya Doni.
Mas Won tak segera menyahut. Seperti berpikir. Lalu tiba-tiba tertawa lepas. Tentu saja Doni jadi heran.
“Yang lucu waktu saya menginap di sebuah hotel, di Surabaya. Saya sendirian. Maklum, tugas kantor. Malam hari, iseng-iseng saya turun ke lobi…,” kenang Mas Won.
“Bertemu penggemar lagi?” kata Doni menukas.
“Ya. Ada seorang laki-laki datang menghampiri, langsung menjabat tangan saya. Saya sambut dengan ramah. Saya tidak kenal dia. Tapi, saya mengira dia salah satu penonton televisi yang melihat tayangan peristiwa kebakaran itu. Setelah hampir 5 menit berbasa-basi, laki-laki itu mengajak saya minum kopi di cafe yang ada di lobi itu,’ Mas Won menarik napas.
“Terus?” Doni penasaran.
“Terus…, dia bertanya apakah saya butuh teman tidur. Kalau butuh, dia punya yang muda dan cantik-cantik…,” Mas Won kembali tertawa, kali ini lebih keras.
Doni tercengang. Tak begitu paham apa yang membuat Mas Won tertawa.
“Rupanya, laki-laki itu seorang mucikari. Caranya mencari calon pelanggan memang begitu. Pura-pura kenal, langsung menyapa akrab laki-laki siapa saja yang datang menginap sendiri di hotel itu, kemudian menawarkan anu. Jadi, ternyata dia bukan penggemar atau penonton teve yang kenal wajah saya dari televisi,” kata Mas Won.
Sebetulnya Doni ingin bertanya apa yang selanjutnya terjadi dengan tawaran laki-laki itu. Tapi, sebagaimana Doni, Mas Won adalah suami yang selain hebat juga setia. Setidaknya, selalu berusaha setia kepada istri. Entahlah kalau sedang berada jauh di sana….*