JIKA Shah Jahan, Maharaja Agra di India, rela mengeluarkan uang miliaran rupee agar dapat mempersembahkan istana Taj Mahal kepada Arjumand Banu, istri kekasihnya, kenapa saya tidak? Bukankah semua suami selalu berusaha membuat bahagia sang istri? Bukankah tak sedikit suami nekat korupsi demi membahagiakan para istrinya—mungkin istri muda, istri simpanan dan seterusnya?
Hasrat mempersembahkan sesuatu yang mahal kepada istri tercinta, sudah saya pendam sejak 20 tahun silam, sesaat setelah kami menikah. Memang, dibanding Shah Jahan yang telah melakukannya pada tahun 1648, keinginan saya itu sungguhlah terlambat. Toh, sampai hari ini keinginan itu belum terkabul. Padahal yang ingin saya persembahkan pada istri hanyalah sebuah tas. Tapi, bukan sembarang tas. Bukan tas sembarangan. Yang ingin saya persembahkan adalah sebuah tas mahal. Harus tas mahal, mereknya terkenal, bikinan luar negeri.
Kenapa tas?
Itu berkaitan dengan riwayat perkawinan saya yang penuh penderitaan. Maklumlah, kami menikah pada usia muda. Saya 22 tahun, sedangkan Yuni, istri saya, baru 19 tahun. Saya belum punya pekerjaan, Yuni juga tidak. Meski begitu, kami berdua nekat hidup mandiri. Dengan uang hasil penjualan kado perkawinan, kami mengontrak sebuah rumah petak.
Namun, hidup mandiri ternyata tak cuma butuh rumah petak kontrakan. Juga perlu beras, minyak tanah, iuran hansip dan banyak lagi lainnya. Ongkos untuk hidup mandiri itu ternyata amat berat. Ibarat lirik lagu dangdut, nasi sepiring dimakan berdua, baju satu kering dibadan. Untunglah kami tak sampai tidur di tikar, karena mertua saya menghadiahkan sebuah dipan berikut kasurnya.
Sesungguhnyalah, hidup kami lebih banyak bergantung pada kebaikan mertua. Baik mertua saya, yaitu orangtua Yuni—maupun mertua Yuni, orangtua saya. Demikianlah, 7 tahun berlalu dan kehidupan kami tetap saja kembang kempis. Malahan boleh dibilang bertambah sengsara, karena beban bertambah dengan dua anak. Tentu saja beban mertua juga kian berat, karena mereka bertambah tua lagi sudah pensiun.
“Kadang saya menyesal kawin terlalu muda. Tanpa persiapan apa-apa, akhirnya menjadi beban mertua,” begitu saya pernah mengadu pada Yus, sobat SLTA, yang kini hidupnya mapan.
“Lebih baik menjadi beban mertua, daripada mertua yang jadi beban kita,” ucap Yus tanpa beban.”
Saya memamndang Yus dan mencoba memahami ucapannya.
“Kamu mungkin mengira hidup saya enak, tanpa beban. Karena saya kawin pada usia yang matang, setelah punya pekerjaan, mampu beli rumah, mobil…”
Saya mengangguk.
“Dari luar, kelihatannya memang enak. Tapi, seperti Hadi…, hidup saya sebetulnya menderita…”
“Hadi?”
“Ya. Hadi kan juga menikah setelah jadi direktur,” kata Yus.
Saya kembali mengangguk, menelan ludah.
“Nah, karena kondisi ekonomi lebih dari cukup…, mertua Hadi tak henti-hentinya minta ini itu. Sama dengan mertua saya. Setiap bulan minta dikirimi uang. Alasannya macam-macam. Sampai-sampai Hadi bilang pada saya, bahwa mertua itu sebetulnya akronim dari merongrong sampai tua…”
Saya menelan ludah lagi. Kali ini karena leher saya bagai tercekik. Tidak. Mertua saya tidak termasuk dalam akronim itu. Mertua saya, dan mertua Yuni, justru penyelamat kami. Dan terbayang betapa setiap bulan Yuni menyandang sebuah tas ukuran besar, berjalan memasuki rumah mertua saya. Tak lama kemudian Yuni keluar sambil menyandang tas besarnya yang menggembung terisi beras, gula, kecap dan keperluan dapur. Demikianlah, selama bertahun-tahun saya selalu melihat istri saya berangkat dari rumah menyandang tas besar dan kosong. Ketika pulang dari rumah mertua, tas itu penuh berisi bahan makanan.
“Tas! Tas murah dan besar yang menggantung di pundak istri saya itu selama bertahun-tahun telah melukai harga diri saya. Sejak itulah saya bercita-cita suatu ketika dapat membelikan tas mahal yang mungil untuk Yuni.
Namun, meski sudah bekerja ekstra keras, ternyata saya tak mampu membelikan tas mahal untuk Yuni. Selalu ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Dan ketika saya nyaris putus asa, terjadilah keajaiban! Saya diajak ke luar negeri oleh Hadi dan Yus!
“Demi persahabatan,” kata Hadi dan Yus kompak.
Bagaikan mimpi, saya terbang ke Swiss. Semua ongkos, urusan paspor, ditanggung Hadi dan Yus. Bahkan Hadi memberikan uang saku sebesar 2 juta rupiah!
“Tapi, bukan dalam bentuk uang cash. Kamu boleh beli barang apa saja senilai 2 juta, saya yang bayar,” kata Hadi.
Dalam keadaan bingung, saya tiba di Swiss. Tepatnya di sebuah toko besar dan megah. Pada saat itulah saya melihat sebuah tas mungil dipajang di etalase.
“Ayo…, kamu mau beli apa? Tunjuk saja,” kata Hadi.
Dengan mantap saya menunjuk tas mungil berwarna hitam itu.
“Tas?” tanya Hadi tak yakin.
Saya mengangguk pasti.
“Kamu yakin mau beli tas Etienne Aigner itu?” tanya Yus.
Saya kembali mengangguk. Hadi konsekuen. Ia suruh bungkus tas itu, dan membayarnya dengan kartu kredit.
“Tas itu harganya 2 juta, lho,” kata Yus.
Saya melongo. Kalau tidak ingat Shah Janan yang dengan rela membangun Taj Mahal demi istrinya, mungkin saya pingsan.
Tatkala tas mahal itu saya berikan pada Yuni, ia menangis. Saya tak tahu persis apakah ia menangis bahagia, ataukah menangisi uang 2 juta yang bisa dipakai makan lebih dari dua bulan. Yang jelas, sebagai suami yang berhasil mewujudkan cita-cita, saya merasa bahagia.
Seminggu, sebulan, dua bulan berlalu. Tapi, entah kenapa Yuni tak pernah memakai tas mahal dari Swiss itu.
“Kenapa tas itu tidak pernah kamu pakai?”
Setelah menarik napas, Yuni menjawab lirih, “Itu kan tas mahal. Untuk memakainya, tentunya juga dibutuhkan baju yang mahal, sepatu yang mahal, gelang, kalung, giwang mahal…, supaya pantes…”
Saya tercenung. Ternyata, bukan manusia saja yang butuh sahabat. Bukan cuma pria saja yang butuh wanita. Tas mahal pun ternyata juga butuh kawan-kawannya. ***