Hutan adalah kekayaan. Hutan kerap disamakan atau dianalogikan laksana seorang gadis. Maka lahirlah istilah: “Hutan perawan”.
Adakah di negeri ini hutan yang masih perawan?
Negri ini terdiri dari 8 ribuan pulau. Dulu di sekolah kita dengan mudah akan menyebut: “Dari Sabang sampai Meraoke”. Itu adalah dari barat ke timur. Tapi, dari utara ke selatan (hampir) tak ada yang tahu. Baru beberapa tahun ini saja kita ketahui atau diingatkan, bahwa wilayah paling utara negeri kita adalah pulau Miangas dan paling selatan adalah:…(nha, ini saja aku mengintip di mbah google dulu) yaitu: pulau Rote.
Jadi, semboyan negri kita terdengar lengkap, gagah tapi tetap puitis: “Dari Sabang sampai Meraoke, dari Miangas sampai pulau Rote”
Dulu, waktu SD, aku terkabum-kagum kepada guru pelajaran Ilmu bumi (sekarang namanya, Geografi?). Karena sepertinya letak pulau-pulau itu sudah dia hafal di luar kepala. Dengan mudah, cepat dan tetap indah, dia bisa menggambar, dengan kapur tulis berwarna-warni di papan tulis berwarna hitam,…pulau-pulau yang ada di negri ini.
Tentu, setelah lebih dewasa, sejalan dengan pegentahuan tentang peta wilayah dan kegemaranku menggambar, kekaguman itu ‘luntur’ menjadi ‘sesuatu yang biasa saja’. Karena aku bisa menggambar dengan lebih detail dan -tentu saja- lebih indah, hahaha. Tentu, meski sudah dewasa dan pengetahuan tentang wilayah negri sendiri cukup, tapi tak semua orang dewasa bisa menggambarkannya dengan letak yang benar, detail, apalagi indah, bukan?
Yang dengan mudah tergambar, terjangkau dan terpeta di dalam benak dari barat sampai ke timur dari utara sampai ke selatan adalah: pulau Sumatra, di wilayah paling barat. Di timur sejajar dengan wilayah Sumatra Selatan, ada 2 pulau. Yaitu pulau Bangka dan pulau Belitung. Lalu di tenggara Sumatra ada pulau Jawa. Di sebelah timur pulau jawa, ada pulau Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor, Flores, Rote, Solor, Alor, Tanimbar dan terus ke pulau-pulau kecil seperti bersambung ke bagian tengah Papua.
Persis di sebelah utara pulau Jawa adalah kalimantan. Yang sekitar 1/3 bagiannya adalah wilayah Malaysia. Persis di perbatasan itu, di sebelah timur, ada pulau Sipadan dan Ligitan. Ke-2 pulau itu pernah menjadi polemik antara negri kita dan Malaysia. Ada gurauan: Saking banyaknya pulau kita, maka…gak ngeh jika salah-satu pulaunya diakui negara lain. Itu pun setelah Malaysia mengiklankan menjadi tujuan wisata nan elok.
Di sebelah timur Kalimantan ada Sulawesi. Di sebelah utara mengarah ke timur Sulawesi ada kepulauan Maluku. Maluku terdiri dari: Halmahera, Sangirtalaud, Ambon, Ternate, Tidore, Wakatobi,…dan pulau-pulau kecil yang teruuss bersambung ke Pilipina di utara. Maluku sebelah timur, terus seperti bersambung ke wilayah utara atau ‘kepala burung’ Papua.
Nah, dari wilayah kita nan kerap dijuluki ‘mutiara katulistiwa’ itu,…berapa persenyakah wilayah ‘masih’ hutan?
Yang disebut hutan, tentu area lebat dengan jenis pepohonan yang beragam, bukan seragam. Jika seragam, seluas apa pun, bukan hutan namanya, tapi: perkebunan.
Aku jadi ingat, nonton tayangan disaluran Natgeo, beberapa waktu lalu.
Beberapa orang ilmuwan mengunjungi Kalimantan. Para ilmuwan itu ingin mengetahui apakah wilayah hutan di Kalimantan, wilayah luas, relatif datar yang kerap disebut mirip ‘Amazon kecil’ di Asia Tenggara itu, masih seperti itu atau berubah karena perkebunan.
Hutan yang ‘dipaksa’ menjadi kebun tentu mengalami perubahan. Pertanyaan paling mendasar adalah: ke mana perginya keragaman habitat para penghuni hutan, jika hutan berubah menjadi kebun?
Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan betapa menyesakkan melihat orangutan dibantai karena dianggap mengganggu perkebunan. Ini sungguh menyedihkan. Karena orangutan yang adalah ‘pemilik hutan’. Tapi ‘pemiliknya’ dianggap mengganggu dan merusak?!
Ada adegan yang menyesakkan ketika seorang ilmuwan wanita, termangu-mangu di tengah-tengah hutan kelapa sawit di Kalimantan wilayah Malaysia. Dia berkata:
“Suasana hening di tengah tumbuhan seragam yang amat luas ini begitu mencekam. Karena ini bukan hutan. Jika anda berada di tengah-tengah hutan seluas ini,…anda akan mendengar orkestra dari suara-suara penghuninya. Terutama di tengah hutan tropis Kalimantan ini. Anda ‘seharusnya’ mendengar suara berbagai jenis primata yang bersahutan. Suara kepak sayap dari burung-burung besar. Sesekali geraman macan dahan di kejauhan, dan tentu saja suara serangga. Itu semua tak terdengar. Keheningan ini sungguh,…sungguh mencekam”
Tentang habitat hutan, aku pernah menonton, juga di saluran Natgeo. Seorang pembawa acara “Mengembara di negri-negri Katulistiwa” pernah sampai di Jakarta. Dia tercengang ketika blusukan di ‘pasar burung’, di sekitar Salemba-Rawamangun. Namanya memang pasar burung, tapi yang dijual di pasar itu, bermacam-macam hewan hutan. Itu yang terlihat. Bayangkanlah yang dijual secara bisik-bisik. Sang pembawa acara berkata terheran-heran.
“Saya berada tak jauh dari istana negara di mana pemimpin negara pasti bekerja atau berada di sana. Tapi, di pasar ini hewan-hewan hutan yang menurut pemerhati dan penjaga habitat hutan dunia hampir punah…diperjual-belikan. Ini resmi, karena ini pasar yang terang benderang. Bayangkalah hewan-hewan apa yang diperjual-belikan di pasar-pasar gelap!”
Ya, hutan yang berubah menjadi perkebunan, membuat habitatnya, para penghuninya menghilang, pergi entah ke mana.
Hutan-hutan di Indonesia (terutama di Sumatra dan Kalimantan) yang sebagian berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, menjadikan Indonesia adalah salah-satu penghasil sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit adalah salah-satu bahan dasar pembuatan minyak goreng.
Salah-satu penghasil sawit terbesar di dunia, tapi beberapa waktu lalu minyak goreng langka di pasaran. Sekarang katanya di pasaran mulai ada, tapi -mudah diduga- harganya melambung tinggi.
Luar biasa…
(Aries Tanjung)