Aku tahu dalam wajah letihmu ada kisah buram yang kau simpan puluhan tahun tanpa keluh. Di sana, di kenangan yang membias lamat-lamat, kau pernah bercerita bahwa hidupmu tak bahagia. Kau ingin ada sebuah rumah mungil untuk melepas lelah usai kakimu berkeliling mencari sesuap nasi untuk kami, kau ingin ada anak-anak yang memijit tubuhmu tatkala keletihan itu kian merajam seluruh persendianmu. Kau juga ingin ada kedamaian dalam rumah kontrakkan yang kau tempati. Dan yang terpenting dari itu semua, kau ingin ada cinta.
Tapi itulah, tatkala segala keluh siap kau keluarkan, suamimu membentak dengan suara garang dan memintamu untuk menyiapkan makanan untuknya, memintamu mengurusi pakaiannya, memintamu menyiapkan air hangat saat ia akan mandi, dan banyak lagi permintaan yang seolah-olah semakin dicari-cari. Tak ada kesetaraan di situ, kau yang berjuang bersama, lelah yang menyusup ke segenap tulang sum-sum tak lagi kau rasa, kau harus patuh agar sosok yang kau panggil suami, tidak menamparmu, tidak mengucapkan kata-kata kasar untukmu. Dan aku, melihat semua itu dengan bibir kelu. Aku memandang semuanya dengan air yang mengumpul di sudut mata. “Ibu…” hanya itu yang bisa kusebut. Aku tak berdaya.
Itulah kenangan yang terus membekas di benak. Ibu tetap patuh dan menjalani semuanya tanpa mencari siapa yang patut disalahkan. Saran untuk meninggalkan semua yang telah merenggut kebahagiaannya pun menguap bersama waktu. “Anakku, hidup bagai roda yang bergulir, sebentar kita berada di bawah, sebentar lagi di atas. Sakit memang ada, namun jika semuanya diterima dengan lapang dada, rasa sakit itu akan berubah menjadi kebahagiaan yang tak berujung. Ingat itu.” Ucapnya.
Dan aku mendengarnya dengan gamang, benarkah demikian? Aku meragukan apa yang ia ucapkan. Menurutku ia hanya terpenjara dalam rasa kagumnya pada ayah, dalam cinta yang ia harapkan suatu saat akan menjadi nyata. Maka tatkala penyakit beruntun datang dan ia mulai melupakan semua angannya, di situ aku sadar bahwa perempuan yang kupanggil ‘Ibu’ sesungguhnya telah lama rapuh, rapuh dalam derita yang dalam dan tak berujung. Ia menutupinya dengan begitu rapi. Ia berusaha menghilangkannya dengan kisah-kisah bijak yang kerap ia lontarkan dari bibirnya. Ibu berjalan bersama luka batinnya sendirian. Ayah menjajahnya dari musim ke musim, tak ada kasih sayang yang harus ia berikan untuk Ibu. Perempuan itu menerima takdirnya dengan pasrah, pasrah berada di bawah penjajahan seorang lelaki yang selamanya ia cintai dan hormati.
Aku sesungguhnya ingin mendobrak semua kesabaran itu, aku ingin Ibu melawan ketidakadilan yang tercipta dari sosok yang ia panggil suami, Ayahku! Aku geram akan sikap Ibu yang diam dan diam. Aku bahkan bertanya, terbuat dari apakah hati perempuan yang kupanggil Ibu ini? Andai saja saat penjajahan itu berlangsung aku telah dewasa, ingin rasanya kuhajar lelaki yang menjadi ayah biologisku itu. Tapi setiap kali kegundahan kunyatakan pada Ibu, dengan lembut ia berkata, “Dia Ayah kandungmu. Jangan kau lawan Ayahmu, sebab jika dia tak ada maka kau pun tidak ada. Hormatilah dia!”
Kalimat itulah yang membuat dadaku sesak. Ibu selalu dan selalu membela Ayah meski laki-laki itu kerap mendaratkan tangannya ke tubuh perempuan yang semakin hari, semakin kurus itu. Kini, di saat aku ingin membahagiakannya, menariknya dari rumah kontrakkan keparat itu dan mengajaknya tinggal bersamaku, perempuan itu menolak. Tubuhnya yang tergolek lemah di pembaringan, tak sebanding dengan kegigihan hatinya untuk tetap mendampingi suaminya.
“Jean, Ibu tidak mau menjadi bebanmu. Hidup dan mati Ibu ada di rumah ini. Meski ini rumah kontrakkan, Ibu merasa di sinilah akhir dari seluruh perjalanan hidup Ibu bersama Ayahmu. Biarlah, apa yang akan terjadi, terjadilah…”
Dan lelaki yang kupanggil Ayah hanya termangu kala perempuan yang menjadi isterinya tergolek lemah di pembaringan. Tubuh kurus Ibuku, kian menunjukkan tanda-tanda yang tak lagi menyenangkan. Ia mulai tak suka makan, seluruh makanan yang masuk ke perutnya terlontar ke luar tanpa dipaksa. Ibu tetap diam tatkala semua mata memandang ke arahnya, ia menarik tangan Ayah dan berkata, “Masaku hampir berakhir. Satu yang kuinginkan darimu, rubahlah perangaimu. Sebab amarah tak baik untuk siapa saja yang ada di dekatmu. Mereka akan meninggalkan engkau jika kau tetap dengan sikap seperti itu. Sekali lagi kukatakan padamu, aku tak pernah berhenti mencintaimu.”
Aku termangu. Air mata membasahi pipi. Ucapan Ibu memang untuk terakhir kalinya. Ibu tiada dalam tidurnya yang tenang. Kami menangisi kepergiannya bersama, kata maaf terucap dari bibir Ayah, tapi sia-sia, Ibu tak pernah lagi mendengarnya. Ayah, untuk pertama kali kulihat ia menangis dan memegang jemari Ibu.
“Bila waktu bisa berjalan mundur, aku ingin menebus semua kesalahan ini.” Ujarnya.
Tapi penyesalan memang selalu terlambat datangnya. Ucapan Ayah yang menginginkan waktu berjalan mundur agar seluruh kenangan menguak kembali dan menjalin kebersamaan yang harmonis bersama Ibu, tak lagi memiliki makna yang dalam, Ibu tetap tak kembali. Tekanan berpuluh tahun yang ia ciptakan telah menggiring Ibu ke batas akhir derita, yang terhenti tatkala mata Ibu terpejam untuk selamanya. Entah kenapa, mengapa Ibu selalu menjadi sasaran dari seluruh rangkaian emosi yang bersemayam di sosok lelaki yang kupanggil Ayah itu.
“Aku memang tak pantas dimaafkan. Telah banyak hal-hal negatif yang kulakukan padanya. Seharusnya aku ke psikiater mengobati jiwa yang penuh luka ini. Seharusnya sejak dulu aku menyadari bahwa aku selalu tak bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku menyesal,” itu ucapan yang kurasa tulus dikatakan Ayahku.
Tapi luka itu telah tertanam dalam dan dibawa hingga ke liang kubur. Ibuku tak pernah lagi merasakan indahnya cinta yang selalu ia dengungkan. Aku kecewa akan sikapnya yang lemah itu.
“Anakku, jiwa yang penuh cinta dan ketulusan, akan menjelma menjadi kepasrahan total pada apa yang telah terjadi, kesabaran adalah bentuk dari langgengnya sebuah rumah tangga. Dari situ kelak kau akan mengerti apa arti hidup sesungguhnya. Apa itu cinta.” Ucap Ibu parau.
Aku merenungi ucapannya. Kutelusuri jalinan kisah asmara yang mengawali pilihan Ibu dan Ayah untuk memasuki mahligai perkawinan. Tak ada yang istimewa di situ, Ibu mencintai Ayah dan Ayah hanya menikahi Ibu karena memang ia harus menikah. Ia harus melarikan diri dari kekasih yang tak bisa diraihnya, melarikan diri dari cinta pertamanya pada seorang gadis yang berbeda status sosial dan orangtuanya yang tak pernah menyetujui hubungan mereka. Itulah pilihannya, pilihan untuk menikahi Ibu dengan keterpaksaan. Dan perempuan yang menerima Ayah sebagai suaminya, akhirnya masuk dalam kubangan derita hingga akhir hayatnya. Ia tidak pernah dicintai. Ibu tetap berada dalam posisi yang salah, posisi di mana ia selalu mengagumi lelaki yang menjadi suaminya, posisi di mana ia rela menerima segala pelecehan dan penganiayaan fisik dari waktu ke waktu. Ah, betapa pilunya nasib Ibuku, ibu yang selalu meneduhi aku dengan cinta.
Kenangan yang terus membekas. Ibuku mungkin membaca kisah ini. Atau ia tengah merangkai sebuah cerita yang akan ia kirimkan dalam mimpi-mimpi di setiap tidurku, agar kisah tentangnya menjadi peringatan bagi setiap perempuan bahwa betapa pedihnya hidup tidak dicintai, betapa sakitnya memelihara cinta sepihak tanpa ada respek dan pengertian. Ibu, dalam wajah teduhnya pernah berujar, “Tak apa Ayahmu tidak mencintaiku, namun aku punya anak-anak yang mencintai diriku.” Aku terharu mendengarnya. Aku tahu itu hanyalah ungkapan pengalihan dari rasa pedih yang selalu mengiringi tangisnya di malam-malam yang sepi.
“Sebenarnya aku ingin seperti Romeo dan Juliet, bisa saling mencintai hingga kisah cinta itu berakhir. Tapi aku salah, ia, orang yang kucinta tak pernah membalas cintaku, aku tahu semua memang tidak bisa dipaksakan. Aku telah menjadi isterinya. Biarlah cinta sepihak kupendam hingga akhir hayatku. Nak, suatu saat jika kau menikah, carilah orang yang kau cintai dan mencintaimu.” Pesan itu menggelitik perasaanku. Aku meneteskan air mata. Ibuku yang malang, memupuk semua rasa tanpa pernah tahu akan sampai kapan rasa itu terbalaskan. Dan sosok yang kupanggil Ayah, tetap membisu, tetap dingin, tetap melampiaskan semua yang salah pada seorang perempuan yang kupanggil Ibu.
“Kini, setelah Ibu tiada, masihkan Ayah menutup rasa cinta untuk Ibu?” tanyaku.
Ayahku menghela nafas panjang. Wajahnya tampak semakin menua. “Aku tak pernah mengerti mengapa aku tidak bisa mencintainya. Rasa sakit karena cinta menjadikanku paranoid dan posesif, aku takut kehilangan Ibumu, tapi aku juga tak menyukai ia hadir dalam hidupku. Ia bagai musuh terselubung yang kuanggap bersembunyi di balik sifat lembut dan baik hatinya. Aku merasa ialah yang memisahkan aku dari kekasihku. Itu sebabnya aku selalu menyakitinya…”
Ucapan itu sungguh mencengangkan. Kurasa Ibu juga akan terkejut di alam sana. Tapi sudahlah, semua telah berakhir. Masa lalu telah terkubur dalam relung ingatan masing-masing. Ingatan Ibu dan ayah. Cinta Ibu yang dibawa sampai mati, adalah kisah klasik yang tak pernah akan berakhir. Buatku, biarlah begitu adanya. Meski itu cinta sepihak, aku yakin ibu telah memiliki apa yang ia inginkan. Memberikan segala yang baik untuk kami anak-anaknya. Biarlah Ibu tetap berkeinginan untuk memiliki cintanya yang yang hilang. Biarlah Ayah mengembara dalam imajinasi cinta yang tak pernah ia dapatkan. Biarlah…
Khusus para perempuan, cinta adalah kekuatan!
(Kisah ini ada dalam buku antologi cerpen Tahta Ibu)
Oleh: Fanny Jonathan Poyk