Cerpen: Ikhlas Itu Tanpa Beban

Foto : Julita/Pixabay

“Sekiranya Bapak meninggal saya juga ikhlas, Pakdhe…”

“Jangan ngomong seperti itu. Kita berdoa agar diberikan yang terbaik oleh Allah,” tukas saya. Kulirik MM yang tengah mengemudi. Wajahnya tampak kusut.

Kuhela nafas panjang. Sekiranya keluarga MM lelah dan berbeban berat itu wajar. SL, Bapaknya MM sakit sudah menahun. Dan biasa ke luar masuk RS.

Anehnya, sakit Bapak SL belum jelas, meski telah di rontgsen. Semua organ dalam bagian tubuhnya dinyatakan baik dan sehat.

Selain secara medis, pengobatan tradisional juga dilakukan. Tapi sakit Bapak SL juga tidak kunjung membaik, dan sembuh.

“Saya curiga, barangkali Bapak punya jimat, Pakdhe,” celetuk MM.

“Maksudmu?”

“Dulu, waktu muda Bapak itu senang nyepi di tempat wingit, Pakdhe. Bahkan Bapak pernah cerita, dulu ada kakek yang mau ngikut, tapi ditolak karena Bapak kan miskin.

Saya diam. Menerawang ke hamparan sawah yang mulai menguning itu.

“Belum lama ini juga ada orang pintar bermaksud mengobati Bapak, tapi belum sempat masuk rumah, orang itu mengaku tidak kuat.”

“Oh ya?” saya kaget. Entah kenapa saya jadi penasaran dan tertarik.

“Ya! Tapi tidak ada kelanjutannya, karena Bapak keburu opname lagi,” desah MM. “Ketika pulang dari RS, tiba-tiba Bapak ingat sama Pakdhe. Lalu Ibu menyuruh saya untuk menjemput Pakdhe.”

“Ya, kebetulan saja Pakdhe lagi mudik. Lalu, kenapa Bapakmu ingin ketemu Pakdhe?” gumam saya seperti ditujukan pada diri sendiri. MM keponakan saya, karena orangtua Ibu MM dan orangtua saya kakak adik.

Sesampai di rumah SL, seperti biasa saya mencuci kaki dulu, lalu masuk ke kamar SL yang sedang ditunggui istrinya, KW.

Kupegang bahu KW. Kami bertegur sapa dan tersenyum. Saya lalu duduk di kursi dekat ranjang SL.

Saya mencoba menularkan energi positif untuk membangun harapan agar SL tetap semangat, optimistis, dan sehat kembali.

“Tiba-tiba kok kau ingin ketemu saya, Dik…”

“Nggak tahu. Tapi begitu Mas datang, aku merasa tentram,” kata SL lirih.

“Kau punya simpanan atau jimat?” Kutatap SL. Yang dirisaukan MM, kutanyakan, tapi SL menggeleng. Kulihat sorot matanya jujur.

“Serius? Jika ya, sebaiknya dilepas ikhlas,” saran saya. “Juga tentang kakek tua yang di hutan mau ikut dik SL, sampai orang pintar ke rumah itu…”

“Jujur, saya tidak punya pegangan, Mas!” tegasnya serius.

Saya mengangguk. Sekali lagi saya meminta padanya untuk berserah ikhlas dan melupakan kakek tua itu.

Sambil memijiti kaki, tangan, hingga bahu SL, saya mengajak seluruh anggota keluarga untuk berdoa penyerahan pada Allah.

SL tertidur dengan tenang. Saya lalu diantar pulang MM ke rumah keluarga besar saya.

Pagi Subuh, saya ditelepon MM, mengabarkan, bahwa Bapaknya telah berpulang dengan damai.

Air mata saya mengembang.

Cerpen: Kisah Penulis dan Pengagum

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang