Penulis Jlitheng
Terhadap konten Salam Pagi yang saya share kemarin, ada beberapa tanggapan yang menarik, antara lain:
“Kehilangan data pasti jadi sesuatu yang membuat kita ngunjal ambegan sebagai content creator ya Opa… Tetap semangat Opa, tulisan & pesanmu menembus sukma, tersimpan baik di dalam hati & pikiran kami. ciayooo….”
Yang lain : “tetap berkarya pakde. Salam Pagi pakde telah saya simpan dalam File khusus bernama Salam Pagi.”
Yang lain lagi : “tetaplah menulis sahabatku. Dengan dibersihkannya data itu akan terbuka ruang baru dalam pikiran dan hati, yang akan melahirkan Salam Pagi-Salam Pagi baru yang lebih indah.“
Ikhlas… ya… ikhlas itu membebaskan:
dari rasa owel (tak rela)
dari rasa khawatir dilupakan
dari rasa memiliki
dari rasa berprestasi
dari rasa berharga
dari rasa decak wow.
Ada hal baru yang saya catat dari peristiwa itu yakni: hanya jika ikhlas dan rela diri dibasuh oleh Tuhan, akan layak untuk melayani.
Flashback ke Perayaan Pekan Suci.
Kamis Putih: mengenang perjamuan malam terakhir dan dasar awal Ekaristi. Dalam acara pembasuhan kaki, hampir di semua paroki menyebutkan dengan pembasuhan kaki para rasul. Mungkin lebih tepat sebagai pembasuhan kaki wakil umat. Bila pakai istilah yang terakhir: maka wakil umat yang dibasuh kakinya bisa juga seorang perempuan. Toh, dalam hidup menggereja tak sedikit kaum Kartini yang berjibaku dalam pelayanan. Mereka layak untuk jadi wakil umat yang dibasuh kakinya. Dan, ini pernah dilakukan oleh Paus Fransiskus pada awal kepemimpinannya. Toh yang mau diperagakan adalah pembasuhan kaki sebagai simbol pelayanan gereja (baik pastor dan umat, laki-laki dan perempuan).
Membersihkan diri mendahului pelayanan, agar terbebas dari segala bentuk rasa khawatir dan ingin memiliki (diingat, dicatat, berharga, berkuasa, berprestasi…).
Salam sehat dan makin ikhlas berbagi cahaya.