Tantangan terberat hidup kita itu datang bukan dari orang lain, tapi dari diri sendiri!
Percikan peristiwa yang disodorkan orang lain, baik melalui perilaku atau kata-kata itu tidak lebih hanya sebagai pematik untuk menyalakan api amarah. Semua itu bergantung pada kita untuk menyikapinya dengan bijak.
Resep utamanya adalah kita diajak berpikir jernih dan bersikap tenang.
Dibutuhkan kesadaran untuk mengontrol diri agar kita tidak mudah reaktif menanggapi dan asal merespon. Tapi kita belajar untuk mencerna dan merenungkannya.
Cobalah menarik nafas, kontrol diri, dan berpikir positif. Akankah hati ini menjadi konslet, ketika dicuwekin, dilecehkan, diremehkan, bahkan melihat perilaku yang tidak berkenan?
Sulit memang, tapi bukan berarti kita menyerah untuk bereaksi dan tersulut emosi. Jika kita tidak mau belajar untuk menggendalikan diri, kita bakal mudah konslet dan emosian.
Disadari atau tidak, sekali-dua, kita pernah mengalami. Ketika konslet dan emosi, kita melakukan kebodohan yang tidak perlu. Marah itu tidak menyelesaikan masalah dan merugikan diri sendiri. Apalagi, kita kecewa, lalu ngambek, atau lebih suloyo lagi langsung mutung alias kita putus asa dan berhenti untuk berbuat baik.
Jalan kebaikan itu yang utama adalah motivasi dan niat berbuat baik. Motivasi yang dimurnikan agar kita ikhlas.
Ketika kebaikan dianggap sebagai pencitraan, tidak ditanggapi, dihina, bahkan kebaikan itu dinodai karena diselewengkan oleh orang lain: kebaikan itu tidak kehilangan nilai.
Berbuat baik itu berarti kita berani bersaksi, berkorban, dan tanpa pamrih. Motivasi yang dimurnikan itu sebagai mesin penggerak jiwa agar terus hidup. Melindas siapapun yang ingin menghalangi. Tak ada konsekuensi. Tak ada kompromi.
Kebaikan itu bersumber dari Allah Yang Mahabaik. Teruslah berbuat baik. (MR)