Seide.id -Menurut KBBI, infrastruktur cenderung mengarah kepada hal-hal teknis harafiah. Ya boleh-boleh saja. Tapi menurutku, infrastruktur jauh lebih luas daripada itu. Bolehkah infrastruktur aku terjemahkan menjadi: sarana?
Jika orang banyak melakukan perjalanan ke-suatu tempat atau berbagai tempat bersama-sama, maka -jika lewat darat- infrastruktur utama adalah sarana jalan dan jembatan-jembatan. Jika lewat udara, infra strukturnya adalah pesawat-pesawat terbang dan bandara. Jika dengan keretapi adalah rel-rel, dan stasiun-stasiun. Jika pendidikan, infrastrukturnya adalah gedung-gedung sekolah. Jika (ber)komunikasi, infrastrukturnya adalah tiang-tiang telpon berikut kabel-kabelnya (di film-film aku lihat di era orang sekarang, di mana setiap orang punya hp, tapi telpon umum masih ada!) sebagai alat berkomunikasi dan seterusnya.
Itu semua, baru sarana secara fisik, di luar sikap. Bisa saja, sarana fisik mentereng, tapi sama sekali tak diimbangi dengan ‘sikap yang juga mentereng’
Misalnya begini (sesuatu yang aku alami sendiri). Suatu ketika, di bandara di Ho Chi Min City – Vietnam. Secara infrastruktur, kemegahan bangunan bandaranya kalah jauh dibanding bandara Soeta. Ketika itu, aku yang duduk di kursi roda, mudah saja mencari kursi roda yang terdapat di berbagai sudut. Tinggal menggunakan saja (tentu setelah berbasa-basi permisi kpd petugas) tanpa birokraksi bertele-tele dan merepotkan. Sementara di sini, ‘sungguh berbeda’. Aku dipesankan anakku jauh-jauh hari.
Di bandara pun aku pernah agak ‘meninggikan’ suara karena kursi roda itu ‘belum’ ada, atau sang petugas belum meminta kepada bagian kursi roda itu (entah apa nama bagiannya). Ketika aku bilang kepada mbak petugas boarding pass bahwa aku akan jalan saja, jika kedatangan kursi itu masih lama. Si mbak, memintaku menunggu, …dengan pilihan kata nan ‘ajaib’ si mbak berkata: “Tunggu ya, paaak. Saya sudah pesan,…kasihan kan petugas yg mendorong itu jika tak jadi”
“Kasihan kepada petugas itu? Hlaaah, …mbak gak kasihan kepada saya?!”
Ketika itu, aku ingin memberi sekadar tips, karena petugas bandara di Vietnam itu (sudah paruh baya, dengan kostum sederhana, tak glamor) sudah mendorong kursiku cukup jauh, dari boarding pass ke-gate tempat menunggu pesawat. Dia menatapku bbrp saat (seperti tersinggung!), lalu tersenyum. Dengan ramah tapi tegas, dia menolak pemberian tips dariku. Dia berkata: “Tidak-tidak,…Terimakasih,…(mendorong kursi) ini sudah menjadi bagian dari pekerjaan saya,…part of my job” katanya dalam bahasa Inggris yg lancar. Ah, justru aku yang malu.
Tiba di bandara Soeta, ceritanya lain lagi. Petugas muda, gagah, sembari mendorong kursi rodaku, …seperti curhat sepanjang jalan, seolah-olah aku atasannya, bahwa seharusnya dia sudah pulang dari tadi. Tapi kepulangannya tertunda beberapa jam karena ada kecelakaan di bandara Singapur yang mempengaruhi hampir semua penerbangan internasional. Aah syukurlah,… ternyata bukan karena mendorong kursiku, hahaha). Setelah mendorongku, aku berbisik kepada istri, perlukah kita memberi sekadar tips? Istriku sambil merogoh tas bilang (juga berbisik): “Perlulaah,…tuh sudah pamit tapi masih menuggu”.
Kemarin, mengikuti tradisi pulang kampung, aku disopiri menantu, kadang bergantian dengan anakku, jika menantu ingin makan atau sekadar meluruskan kaki. Menjajal infrastuktur tol Jakarta-Palembang. Tol yang nantinya akan menjadi ‘Tol Lintas Sumatra’. Mulai dari Jakarta-Lampung-Palembang-Jambi-Riau, …terus ke-Sumut dan berujung di Banda Aceh sejauh 2800am km. JIka melihat peta, secara sekelebat, aku memperkirakan bahwa panjang pulau Sumatra kurang-lebih adalah 3x panjang pulau Jawa. Jarak Jakarta-Surabaya 900am km. Jalan tol lintas Sumatra 2800an km. Jadi sesungguhnya dugaanku, tak jauh meleset.
“Tradisi pulang”, tak cuma dilakukan oleh bangsa kita, kayaknya tradisi itu juga dilakukan olrh bangsa-bangsa lain, bahkan mungkin seluruh dunia, dengan hari besar dan alasan masing-masing. Dulu, dengan sarana seadanya. Berjejal-jejal di keretapi. Berjejal-jejal di kapal-kapal ferry. Berjejal-jejal di bus-bus antarkota dan seterusnya. Sekarang. Tentu berbeda. Yang sudah berkantong tebal, tentu lewat udara. Naik keretaapi pun, yang mewah. Lagi pula secara infrastruktur, keretapi dan stasiunnya sudah jauh lebih nyaman. Mobil-mobil pribadi lebih banyak dan relatif baru. Tentu dengan motifasi berbeda-beda. Bersilaturahmi, bernostalgia atau sekadar ‘mengabarkan’ keberhasilan atau kesuksesan hidup di rantau.
Dulu, sekitar 25-30an tahun lalu, aku secara rutin mengikuti acara tradisi tahunan pulang kampung ini. Memamerkan kesuksesan?
Gaklaah. Mobilku dulu, sedan tua, entah mobil seken (second), thirtd atau bahkan fourth. Juga mobil berikutnya, ‘sedikit meningkat’ baik usia mau pun jumlah penumpang. Tapi tetap mobil seken, third atau fouth. Barulah mobil ke-3 aku mampu membeli mobil baru. “Buka bungkus”…istilah Sumsel.
Setelah stroke, setelah tak bisa dan terutama tak boleh nyopir sekitar 11-12 tahun lalu, ..jika melakukan tradisi pulang kampung itu lewat udara. Sebetulnya, beberapa tahun lalu masih lewat darat, disopiri adik ipar. Tapi,…umur tak dapat ditipu,.. jika lewat darat dengan jarak itu, aku menjadi cepat lelah. Jika lewat udara, alhamdulilah,… anak-anaku bergantian membelikan tiket.
Beberapa waktu lalu, si Sulung dan suaminya ingin ‘menikmati’ tradisi pulang kampung itu lewat darat. “Pulangnya ibu-ayah dan Adek, pulang bersama kami aja, sekalian menjajal tol Palembang – Jakarta”
“Siapa takuuut, kataku ‘digagah-gagahkan’.
Wus-wusss-wuuusssss…
(Aries Tanjung)