Ini Salah Siapa?

Saya pernah ditanya oleh seorang teman. Pertanyaannya, “Jika orangtua keras kepala, lalu sifat itu menurun pada anaknya. Ini salah siapa?”

Saya tersenyum, tapi tidak segera menjawab. Pertanyaan itu harus dilihat secara kontekstual dan menyeluruh. Sehingga ditemukan benang merahnya.

Benar, bahwa buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tapi, sebelum kita menilai atau menghakimi orang lain, lebih bijak kita berhati-hati agar tidak salah langkah. Karena, tidak hanya merugikan orang lain, tapi, juga mempermalukan diri sendiri.

Menurut teman tadi, sebenarnya orangtua itu memiliki disiplin tinggi, dan cenderung perfek. Tujuannya adalah agar kelak anak-anaknya sukses.

Kenyataannya, orangtua itu tanpa sadar memaksakan disiplin yang kaku. Bahkan rencana atau target jangka pendek itu harus dijadwal dengan super ketat.

Sebagai contoh, kita mau ke rumah B. Tujuan kita apa saja, pulang jam berapa, dan seterusnya. Tidak ada kompromi, meskipun jalanan macet atau ada masalah di jalan. Apalagi, jika kita pulang terlambat, sekadar untuk nongkrong. Orangtua bakal marah hebat.

Mendengar cerita teman, saya jadi penasaran. Barangkali, dulu orang itu dididik ketat secara militer oleh orangtuanya. Ia lalu menerapkan pola yang sama pada anaknya. Tanpa kompromi dan tidak mau mengikuti perubahan zaman. Yang penting, anaknya kelak jadi orang sukses, kaya, dan terhormat.

Tidak dipungkiri, di era digitalisasi ini kita masih menjumpai orangtua yang menerapkan banyak aturan pada anak. Alasannya, demi sukses dan kebahagiaan anak. Orangtua lupa, anak itu bukan robot yang mudah diaplikasikan sesuai dengan keinginan. Tanpa ada masalah, dan semua jadi oke!

Orangtua sering kali lupa, menutup mata, dan mengatasnamakan semua itu demi kesuksesan dan kebahagiaan anak. Sehingga bersikap otoriter dan mau menang sendiri.

Begitu pula anak. Kebiasaan diatur orangtua membuat jiwa ini tertekan. Apalagi anak di pihak yang lemah dan sering disalahkan. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, anak bakal berontak dan melawan. Ibarat bom waktu yang siap meledak.

Alangkah bijak, jika orangtua dan anak sering ngobrol atau berdiskusi bersama. Untuk mendekatkan diri dan saling memahami satu dengan yang lain. Sehingga, apapun yang diharapkan dan dituju mencapai kata mufakat. Demi kebahagiaan keluarga.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan di atas, “Ini salah siapa?” Saya tidak berani untuk menyalahkan orangtua atau anak. Karena untuk jadi bijak, kita dituntut berani memperbaiki diri, berubah, dan memahami sesama.

Sepakat?
(Mas Redjo)

Petani, Pekerja, dan Pengusaha

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang