“Busana tradisional kami mewakili budaya yang kaya dan sejarah 5.000 tahun yang membuat setiap orang Afghan merasa bangga atas diri mereka,” kata aktivis Hak azasi asal Afganistan Spozhmay Maseed. – foto :Twitter.
SETIAP wilayah Afghanistan punya busana tradisional masing-masing. Meski demikian, daerah-daerah itu punya kesamaan konsep: banyak warna, cermin, dan sulaman.
“Inilah busana otentik Afghan. Perempuan Afghan mengenakan busana yang berwarna warni dan bersahaja. Burqa hitam tidak pernah menjadi bagian dari budaya Afghan,” cuit Spozhmay Maseed, aktivis hak asasi yang berbasis di Virginia, AS.
“Selama berabad-abad kami merupakan sebuah negara Islam dan nenek moyang kami berpakaian bersahaja dalam busana tradisional mereka sendiri, bukan ‘cadar’ biru dan burqa hitam dari Arab yang dibuat-buat,” lanjut Maseed.
“Busana tradisional kami mewakili budaya yang kaya dan sejarah 5.000 tahun yang membuat setiap orang Afghan merasa bangga atas diri mereka.”
Penduduk Afghanistan yang bermukim di wilayah paling konservatif sekalipun mengaku belum pernah melihat perempuan memakai niqab, kain hitam yang menutupi wajah.
“Saya mengunggah foto itu karena kami adalah perempuan Afghan, kami menggunakan budaya kami dengan bangga dan kami pikir itu adalah identitas kami yang tidak bisa didefinisikan oleh beberapa kelompok teroris.
“Budaya kami bukan gelap, bukan hitam dan putih—budaya kami berwarna-warni dan di sanalah terdapat keindahan, terdapat seni, terdapat keahlian pengrajin, dan terdapat identitas,” papar Lima Halima Ahmad, peneliti Afghan berusia 37 tahun sekaligus pendiri Asosiasi Paywand Afghan yang fokus pada masalah-masalah perempuan.
Sebagai seseorang yang bermukim dan bekerja di Afghanistan selama 20 tahun terakhir, Lima mengatakan: “Perempuan dulu punya pilihan. Ibu saya mengenakan kerudung panjang dan besar dan beberapa memilih memakai yang ukuran kecil. Cara berbusana tidak dipaksakan terhadap perempuan.
“Kami perempuan Afghan, belum pernah melihat busana yang tertutup sepenuhnya seperti seragam bayangan hitam dengan sarung tangan hitam, mata tidak terlihat—seolah hal itu sengaja dipesan khusus untuk peragaan,” kata Lima merujuk pawai pro-Taliban.
Perempuan lainnya yang berunjuk rasa di Twitter adalah Malali Bashir, wartawan Afghan di Praha, Republik Ceko.
Dia melukiskan perempuan Afghan dalam busana tradisionak “untuk menunjukkan keindahan budaya kami kepada dunia”.
Menurutnya, sewaktu dibesarkan di Afghanistan, “burqa, apakah itu hitam atau biru, tidak pernah menjadi sesuatu yang umum dan para perempuan justru memakai busana tradisional mereka. Perempuan usia lanjut memakai kerudung hitam dan perempuan muda memakai busana warna-warni. Para perempuan menyapa para pria dengan berjabat tangan,” paparnya.
“Akhir-akhir ini adalah tekanan luar biasa terhadap perempuan Afghan untuk mengubah busana adat dan menutupi diri mereka atau menghilang dari pandangan umum. Saya mengunggah foto saya dan membagikan salah satu lukisan yang menampilkan perempuan Afghan memakai busana tradisional serta menarikan tarian kebangsaan Afghanistan yaitu Attan”.
Para petinggi Taliban telah mengatakan bahwa para perempuan akan dapat bekerja dan belajar sebagaimana diatur dalam hukum syariah serta hukum adat setempat, namun aturan ketat berbusana akan diterapkan.
Sejumlah perempuan Afghan mulai memakai busana lebih sederhana dan “chadari”—kain biru yang menyisakan celah pada bagian mata—mulai dipakai perempuan-perempuan di Kabul dan kota-kota lain.
Menteri Pendidikan Tinggi, Abdul Baqi Haqqani, menegaskan ruang kelas di universitas akan dibagi berdasarkan jenis kelamin dan jilbab diwajibkan bagi para mahasiswi. Namun, dia belum memberi rincian, apakah itu hijab biasa atau burqa yang menutupi wajah. (BBC/dms)