INILAH HUKUM ALAM

REFLEKSI OLEH BELINDA GUNAWAN

Aku berdiri di halaman belakang Starbucks di Sanur, Bali. Di hadapanku terbentang empang penuh dengan bunga lotus yang berkembangan. Pink di antara hijaunya daun dan legamnya air. Sebuah pemandangan indah yang memuaskan. Mestinya. Tapi mataku, mata editor, melihat sesuatu yang patut disayangkan. Ada kelopak bunga yang layu, ada daun terkulai lesu di salah satu rumpun bunga. Ah sayangnya. Coba kalau tidak ada, picture perfect!

Lalu cucuku menghampiriku. Masih membawa mug Starbucks yang isinya entah kopi apa. Anak remaja paling pinter memilih apa yang beneran enak atau sekadar happening. “Cakep ya, Enma?”

“Iya, tapi….”

“Sempurna!” pujinya.

“Tapi sayang ada yang layu.” Kutunjuk pemandangan yang tadi mengganggu mataku.

Dia menatapku. Wajahnya segar bagaikan lotus yang baru merekah.

“Jamaklah itu,” jawabnya enteng, lalu ia menjauh mencari pemandangan lain untuk difoto. Pasti tak lama lagi akan muncul di IG-nya.

Jamaklah itu. Ada yang segar ada yang layu. Ada yang muda belia ada yang lansia. Seperti kami, dia dan aku. Bukankah itu hukum alam? Siapalah aku ini, bukannya bersyukur malah mencela?

Kutatap kelopak bunga dan daun yang tadi mengganggu, kali ini dengan mata yang baru. Mata empati. Sebab mereka adalah aku….

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.