Dari ruang konseling dan inbox curhatan, aku menemukan banyak kasus yang akhirnya membuatku bisa menyimpulkan :
Penyebab musibah dalam hidup manusia itu ada 3 :
- Dirinya sendiri (bermula dari pola pikir yang keliru).
- Orang lain (juga bermula dari pola pikir yang keliru dan adanya kesempatan).
- Bencana alam.
Penyebab nomor 1 ‘mengundang’ musibah nomor 2 dan 3 datang. (khusus banjir, kekeringan, polusi, ya. Kalau gempa, tornado atau tsunami, bukan dari ulah manusia).
Nah, musibah nomor 2 ini yang sering tidak kita sadari. Kita selalu berpikir :
Orang lainlah yang salah.
Orang lainlah yang jahat.
Orang lainlah yang manipulatif.
Orang lainlah yang culas.
Orang lainlah yang politicking.
Orang lainlah yang abusive.
Orang lainlah yang menindas.
Orang lainlah yang tidak bertanggung-jawab.
Orang lainlah yang menelantarkan.
Dan daftar ini bisa panjang sekali, tak ada habisnya.
Padahal, seringkali (aku bilangnya ‘seringkali’ ya; BUKAN ‘selalu’, ‘pasti’ atau ‘senantiasa’) pola pikir kita yang tertentu itulah, yang membuat kita bersikap tertentu, lantas sikap tertentu tersebut yang memberi celah bagi orang lain untuk :
Berbuat jahat pada kita.
Memanipulasi kita.
Culas pada kita.
Menyiksa kita dll
Perlu waktu berbulan-bulan, untuk membuat mereka mau merenungkan bahwa kita BISA mengambil langkah untuk menghentikan semua itu. Entah dengan cara menjauh, putus hubungan sama sekali, atau berdiri dan melawan. Melawan sekeras-kerasnya.
Di dunia ini memang banyak orang ‘sakit’ yang terselubung. Nggak gila beneran, tapi ‘sakit’. Mulai dari narsisistik, anti sosial personality disorder (ASPD) yang mampu bersikap tega, sadis, merusak dan merugikan orang lain tanpa merasa bersalah, patological liar (pembohong patologis), sampai psikopat.
Kalau kita kebetulan berteman dengan mereka, menjadi anak mereka, bekerja di bawah mereka, atau menikahi mereka… ya jangan iya-iya saja dong. Jangan nurut-nurut saja sampai kesehatan psikologis kita ikut terganggu, bahkan yang lebih parah : sampai rasa percaya diri dan keberdayaan kita TERLANJUR hilang-lenyap sepenuhnya.
Kalau sudah begini, bisa sampai mati kita tidak akan pergi dari situasi buruk tersebut. Banyak kisah di rumah singgah yang menolong istri-istri yang dianiaya suami, menyaksikan perempuan-perempuan ini memilih kembali ke suaminya yang penyiksa; ketimbang menghadapi hidup dan mencari nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya. Padahal sudah dilatih dan diberi jalan oleh rumah singgahnya.
Separah itu?
Ya, separah itu.
Mereka memilih disiksa dan terhina, ketimbang menghadapi hidup dengan kaki dan tangannya sendiri.
Kalian pernah ketemu orang dewasa yang bisa ML (terbukti bisa punya anak), bisa gaul, bisa dandan, bisa belanja, bisa kemana-mana… tapi tidak memiliki daya juang dan ketika ditanya apa yang hendak mereka lakukan atau raih dalam hidup ini, dan mereka menjawab ‘Tidak tahu…’?
Aku sering ketemu.
Dan mereka sungguh-sungguh tidak tahu…! Ketika dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan malah jadi menangis karena mereka sungguh-sungguh bingung, tidak tahu apa yang mereka mau.
Aku bukan psikolog. Aku Life Coach.
Seorang Life Coach bisa membantu dan mendampingi kliennya meraih cita-cita dan target hidupnya… tetapi itu semua harus dimulai dari : memiliki tujuan. Nah kalau seseorang memiliki ‘blocking’ sehingga terhambat mengetahui apa yang diinginkannya, maka dia harus dibantu oleh psikolog untuk mengurai dulu masalahnya, traumanya, atau luka-luka batinnya.
Nah, tulisanku ini bertujuan memberi pesan :
kenali RED FLAG-nya alias bendera bahayanya. Jangan biarkan dirimu terlalu lama ada di bawah pengaruh ‘orang sakit’ sekalipun itu adalah ortu atau pasangan hidupmu.
Jika kalian menemukan diri ada di situasi itu, segera konsultasi ke ahlinya, untuk menyiasati.
Hidup ini ringan, indah, dan damai… bagi orang-orang mandiri, kuat, dan pemberani.
Yuk, kita ciptakan diri kita memiliki 3 kualitas diri ini. Kita didik anak-anak kita.
Tugas utama parenting (dan penciptaan diri) adalah membangun ‘jiwa’ (mental, emosional, psikologis).
Nana Padmosaputro