HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Bangsa beradab tercipta dari buah cita-cita pendidikan. Pendidikan yang menciptakan adab bangsa. Semua bangsa berperadaban tinggi, tahu rasa hormat, menghargai orang lain, berbudi, dan tahu aturan.
Sukar menemukan orang yang seenaknya dalam masyarakat beradab. Saya pernah mendengar saat menyeberang jalan di Singapura, ada yang menerobos menyeberang jalan sebelum lampu hijau, di belakang saya nyeletuk “uncivilized”. Celakanya yang melanggar aturan itu orang Indonesia.
Kejadian tidak beradab banyak kita saksikan dalam keseharian. Tengok saja bagaimana kita berlalu-lintas. Lalu lintas mencerminkan adab bangsa juga. Baku serobot, seenaknya menyalip atau mengambil jalan orang lain, alih-alih hormat dan menghargai pengendara lain, malah bikin orang lain tidak nyaman di jalan raya. Demikian pula soal antre.
Guru sekolah Australia pernah bilang lebih susah mengajarkan anak Indonesia antre ketimbang matematika. Budaya antre memikirkan orang lain. Dalam mendidik ada konsep thinks for others, tidak mementingkan diri sendiri.
Jepang negara yang tidak menonjolkan agama, tapi bangsa Jepang amat beradab. Tidak membunyikan HP di bus kota, di kereta api, kalaupun harus menerima telpon di tempat publik, suaranya berbisik. Tidak tertawa keras di tempat publik, atau malah berusaha menahan tidak tertawa, tidak mengobrol keras-keras. Intinya, tidak mau mengganggu orang lain. Tertawa di tempat umum, selain dianggap mengganggu kenyamanan orang lain, mungkin menyinggung perasaan orang lain juga.
Lebih dari itu bentuk dan wujud hormat dan menghargai orang lain orang Jepang kita lihat dari sikap dan bahasa tubuhnya. Membungkuk sebungkuk-bungkuknya. Ini dibiasakan dilakukan sejak usia dini, karena pendidikan Jepang menyisihkan waktu tak kurang 4 tahun bagi anak-anak untuk belajar menghormati orang lain, terlebih hormat kepada yang lebih tua. Anak sekolah membungkuk kepada sopir bus sekolah setiap kali turun meninggalkan bus yang mengantarkannya. Begitu mereka dididik.
Betapa elok kita melihat sikap hormat, dan menghargai orang lain dalam sikap tubuh yang merunduk, terasa merendah, dan menjunjung tinggi orang lain. Alangkah indah kalau yang melakukannya orang berstatus tinggi, orang berkuasa, orang terhormat, orang berkelas bertahta. Sikap itu justeru semakin meninggikan derajatnya. Saya ingat Presiden Jokowi melakukan itu terhadap Pak Habibie, Pak Ma’arif, dan semua yang lebih sepuh, selain juga sikap dan perilakunya menghargai rakyat kecil, mengesankan sedang memperendah kedudukannya.
Saya yang masa kecilnya dididik budi pekerti bertata krama, layaknya budaya Jawa, suka merasa terganggu kalau menyaksikan ada sikap orang-orang yang kurang tahu aturan, apalagi melihat sikap-sikap dan tingkah-laku yang meninggikan diri, tidak egaliter, dan terkesan angkuh di depan umum. Apalagi melihat yang tidak santun, dan bersikap tidak sepatutnya.
Kita tahu perlu ada cara beretika, selain beretiket, ada manners pada setiap di tempat umum, di hadapan orang banyak, bahkan terhadap orangtua, orang yang patut dihormati. Siapapun presidennya yang terpilih secara konstitusional, pilihan rakyat banyak, sepatutnya dihormati sebagai pemimpin bangsa, kendati secara pribadi mungkin bukan presiden pilihan kita.
Saya terharu melihat foto yang saya temukan di sebuah akun FB tampak seorang bapak yang menundukkan kepala tanda sikap hormatnya yang tulus saat Presiden Joko Widodo lewat di depan tempatnya berdiri, secara spontan. Itulah sikap terpuji seseorang yang berbudi pekerti, yang beradab, entah siapapun dia. Sebuah pemandangan yang betul indah.
Demikian pula kita tahu bangsa Thailand yang sangat hormat kepada Rajanya, punya adab tinggi. Saya menyaksikan berlalu lintas di Bangkok, jarang terdengar klakson dibunyikan, dan mereka lebih tertib berlalu lintas. Hormat kepada setiap orang dengan sikap menyembah, merunduk, menganggap diri tidak lebih tinggi dari orang lain, dan egaliter.
Kita prihatin menyaksikan sekian generasi kita setelah tidak menerima pendidikan budi pekerti di sekolah, dan tidak pula diperoleh dari rumah, kebanyakan menjadi sosok yang tidak tahu aturan. Tentu bukannya disengaja, melainkan karena memang tidak diberi tahu. Tidak dididik sopan santun, dan berbudi pekerti.
Yang tidak tahu aturan juga masih kita temukan bahkan pada sosok-sosok yang seharusnya angkatan sekolah yang masih ada pendidikan budi pekerti. Jadi kalau mereka tidak tahu aturan bukannya karena tidak tahu. Bisa jadi ini karena keangkuhan, kesombongan, merasa diri lebih tinggi, lebih berkuasa, lebih berharta, atau entah lainnya. Maka bisa saja mereka melumurahkan kalau tidak perlu bilang minta tolong, minta maaf, atau berterima kasih.
Saya menemukan sosok-sosok orang terdidik seperti itu dalam pergaulan sosial. Dalam hal interaksi sosial. Misal tidak merespons WA atau telpon kita, tidak berterima kasih setelah diberi yang diminta, tanpa bertata krama dalam berkomunikasi.
Susahnya orang yang sepantasnya tahu aturan, kalau tidak tahu aturan, siapa yang menegur atau mengingatkannya kalau ia sudah melakukan sikap tidak tahu aturannya itu. Oleh karena saya mengalami pendidikan berbudi pekerti, dididik bertata krama, sudah terbiasa bertata krama, dan suka merasa tidak nyaman apabila menerima perlakukan sosok yang tadinya saya hormati, sikap perilaku dan tindak tanduknya tidak tahu aturan, lama-lama membuat saya menjadi tidak respek lagi terhadapnya.
Pendidikan perdana untuk berinteraksi sosial pada anak didik, ialah tidak lupa mengucapkan berterima kasih, minta tolong, dan mohon maaf. Banyak sosok nama besar tidak melakukan itu. Dan kalau sosok itu juga bukan egaliter, bisa jadi itu memang lantaran mereka mengabaikan tata krama itu karena merasa posisinya lebih tinggi.
Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL