Islam-Kristen dan Jalan Tengah yaitu Toleransi Beragama

Oleh Gerson Poyk

Bukan maksud saya membanding-bandingkan Islam dan Kristen, karena kedua agama tersebut sejalan dan tidak berbeda. Biasanya membanding-bandingkan demikian itu hanya akan berakhir pada perdebatan dan pertentangan yang tidak menguntungkan. Akan tetapi apa yang saya perhatikan ialah bahwa sejarah hidup Isa a.s. dengan ajaran Stoaisme dan hidup menahan diri berlebihan yang dihubungkan kepada agama Kristen, terdapat perbedaan yang jelas sekali. Almasih bukan penganut ajaran Stoa. Bahkan mujizatnya yang utama ialah mengubah air tawar menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana, Dia juga tidak menolak makan bersama di pesta pora kaum Farisi. Stoa adalah filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno 336-264. Kaum Stoa percaya bahwa segala kejadian harus diterima dengan tenang dan sabar dan bebas dari perasaan benci suka sedih dan gembira.(SHM.h.664).

Sejarah sastra Indonesia tidak terlepas dari toleransi pada pihak dari sastrawan Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang tergambar dalam karya mereka. Tokoh-tokoh dalam novel mereka bergulat melawan kendala adat istiadat. Itu terjadi pada novel-novel Balai Pustaka. Pujangga Baru tampak mulai terbuka pada geliat pemikiran Barat melalui sastrawan Belanda yang rasanya belum sehebat penulis dan pemikiran yang lahir dari filsuf Jerman, Perancis dan Inggris. Baru pada era sastrawan angkatan 45 (versi HB Jassin) terdengar Sitor Situmorang dan Iwan Simatupang tuduhan bahwa keduanya terpengaruh oleh filsafat eksistensialisme. Ketika Sitor mementaskan karya dramanya yang katanya berbau eksistensialisme, Sudjatmoko mengatakan Indonesia tidak memerlukan eksistensialisme. Indonesia memerlukan rasionalisme. Maka cuaca sastra Indonesia kedatangan percampuran pemikiran filsafat. Akan tetapi itu sudah dimulai pada th 45, bahwa Pujangga Baru telah menukik ke kedalamanan filafat estetika eksistensial yang ditunjuk oleh penggalan puisi Tatengkeng:

Gerakan Sukma
Yang berpancaran dalam mata
Menjelma ke indah kata

Penggalan puisi ini menyerempeti filsafat estetika Jacques Maritain walaupun dalam esei-esei sastrawan pujangga baru tampak kurang dekat dangan filsuf estetika eksistensialis Prancis itu. Akan tetapi yang menggurat riwayat dalam hati saya adalah adanya toleransi besar pada tokoh Pujangga Baru itu. Demikian pula tokoh Angkatan 45, H.B. Jassin dalam surat-suratnya kepada J.E. Tatengkeng tampak sekali toleransinya itu.

Bagi saya H.B.Jassin besar sekali toleransinya kepada saya. Kalau tak ada H.B. Jassin yang pertama kali memuat karya-karya saya di majalah Mimbar Indonesia, saya tak jadi apa-apa. Mungkin jadi preman NTT, karena sejak masa kecil saya suka berkelahi. Hidup keseharian saya di masa kecil sampai masa anak sekolah rendah, tidak terlepas dari toleransi. Di masa kecil saya, kalau di rumah saya tak ada makanan enak, saya datang ke kerabat saya pegawai gubernemen yang bergaji besar, mewah, yang beragama Islam. Sang Kakak (isteri pegawai itu) berikan makanan enak dan ketika melihat pakaian saya ke sekolah lusuh, ia memberi pakaian baru. Kalau saya lapar saya datangi rumahnya dan kebetulan ia perlu orang untuk menyembelih ayam. Ayam diserahkan bersama pisau dan kata-kata, “Bismilah dulu baru potong ya!” Saya dimarahi kerena sebelum sembelih saya berkoar, “Bismilah bis bengkok, makan sisa tinggal besok!”

Tahun 1953 saya dan seorang teman bernama Abusalim Enga, lulus SGB di Timor Tengah Selatan. Saya nomor satu, Abusalim nomor dua. Kami dikirim ke SGA Kristen, Jl. Pirngadi, Bubutan, Surabaya. Waktu kami untuk pertamakali melihat Jembatan Merah, bukannya indah seperti dalam lagu tetapi di kiri dan kanan berjejer orang buta, buntung, kurus kering buncit keparat. Saya habiskan uang di kantong saya untuk mereka karena terpikir, besok ada asrama dan uang ikatan dinas. Besoknya bagai petir saya mendengar; tidak ada asrama! Uang ikatan dinas tiga bulan baru turun (dari langit). Dalam sehari semalam saya tak makan. Lapar dan haus harus ditahan. Kalau mau minum cari kran air di pasar. Tidur satu malam di emperan. Tiba-tiba terpikir datang ke asrama tempat si Abu nginap. Kepada Ibu asrama saya katakan “Saya murid ikatan dinas di SGA, Bu. Bisakah habis bulan baru saya bayar? Sang ibu mengatakan bisa tapi tak ada tempat tidur. Saya jawab “si Abu sudah setuju tidur satu dipan dengan saya. Maka saya pun jadi anak asrama dan makan teratur sebelum datang uang ikatan dinas (dari langit birokrasi sompret negeri ini).

Ketika itu, rasanya Surabaya adalah kota yang sangat toleran sehingga bisa melahirkan seorang sastrawan asal NTT. Semua itu telah saya tulis dalam sebuah naskah berjudul Aku dan Surbaya, sebuah novel otobiografi masa muda, tentang anak muda yang tangguh mengatasi kendala absurd dalam hidup ini, sebuah riwayat kehidupan toleransi di sebuah kota pahlawan. Saya punya banyak kenangan. Saya tak pernah lupa Pak Muhamad Ali. Ketika saya terdampar di Sanggar Aksera, badan diserang demam, Pak Muhamad Ali mengirim obat dan makanan. Muhammad Daryono, Amang Rahman, adalah teman yang lebih dari teman, mereka bagaikan saudara sejati.

Di Malang ada aktris teater Tatiek Malyati yang ikut dalam Festival Drama Surabaya 1956. Saya menang sebagai actor penopang terbaik. Ada sastrawan/penulis naskah teater dan film produktif Emil Sanossa. Semuanya teman yang tak terlupakan. Tanpa guru dan dosen, kami bergerak naik tangga kehidupan pendidikan otodidak (luar sekolah) yang menentukan kami sebagai seniman yang bersatu, toleran di tanah air tercinta. Bilamana seniman dan para ilmuan bersatu dalam cuaca toleransi maka negara ini akan cepat menjadi negara adidaya. Toleransi yang benar telah dibuktikan oleh Ali Audah, H.B, Jassin, Takdir Alisyahbana, Tatengkeng, Panji Tisna, Ayip Rosidi, Muhamad Ali dan lain-lain. Hanya dengan toleransi, mayoritas dan minoritas di negeri ini bisa menemukan kualitas dalam membangun Indonesia menjadi negara adidaya.***

(Sebuah perenungan dari tulisan almarhum ayah saya Gerson Poyk, Fanny Jonathan Poyk)

ilustrasi: Aries Tanjung

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis