Untuk Oday
Sebenarnya cita-citaku sejak remaja adalah menjadi penulis cerita pendek. Aku suka berkhayal, tentang apa saja. Banyak tokoh khayalan yang kucipta dan kujadikan sahabat dalam kehidupanku. Tapi jangan salah kira, aku bukan sosok yang memiliki beberapa kepribadian. Dari mereka tercipta kisah yang dapat menghasilkan uang. Yang kuberikan pada isteriku dan dia menerimanya dengan senyum penuh misteri, entah bahagia atau tidak, aku tak tahu.
Nama para perempuan imajinasi dalam setiap tema cerita yang kugarap selalu kuubah-ubah. Semua orang yang membaca cerpen buatanku pasti sudah hafal kalau dari semua nama itu, ada yang menjadi idolaku, perempuan sempurna yang kubentuk dalam setiap proyek imajinatif dalam rangkaian kata dan kalimat. Ketika aku menikah, sialnya tokoh itu tetap tak bisa hilang. Seperti layaknya seorang pelukis yang selalu mencintai perempuan cantik sempurna dalam setiap lukisannya, begitulah aku. Sungguh, aku tak mau menggambarkan kecacatan sekecil apa pun pada sosok perempuan yang kujadikan tokoh dalam cerita-ceritaku. Tidak! Dia tidak boleh jelek. Dia harus sempurna, harus!
Orang pasti akan menduga itu hanya pelampiasan dari ketidak berdayaanku atas penampilanku yang jauh daripada ganteng. Sesungguhnya pendapat itu sangat keliru. Dulu, ya, dulu sekali tatkala aku remaja, aku kerap memenangkan lomba-lomba model ini dan itu. Ibuku yang selalu terobsesi anaknya menjadi bintang film seperti Roy Marten atau Rano Karno, kerap mengajak aku ke tukang foto keliling untuk dipotret, lalu fotoku dikirim ke berbagai lomba model di berbagai majalah yang ada di kotaku. Kata ibu, wajahku ganteng seperti anak indo, meski kutahu bapak dan ibuku sedikit pun tak memiliki darah Kaukasia atau Western, mereka suku Sunda asli. Aku merasa mungkin saja Tuhan salah mencipta, ibuku yang berhidung pesek demikian juga bapakku, mana mungkin mereka memiliki putra seganteng aku dengan hidung yang bangir mirip hidung bintang film Hollywood Brad Pitt. Ya, mana mungkin! Atau bisa saja aku tertukar saat baru dilahirkan. Tapi yang pasti, ibuku sangat bersyukur memiliki anak seperti aku. Tatkala anak-anak sekampungku mengejek sambil berteriak, “Bule nyasar, bule nyasar!” ibu akan berteriak dan berkata dengan sengit, “Heh, asal kalian tahu ya, kakek dan neneknya si Bommy berasal dari Belanda! Makanya dia ganteng, tidak seperti kalian yang buruk rupa!”
Itulah ibu. Imajinasinya memang luar biasa. Berdasarkan kisah imajinatif ibuku, aku pun tumbuh seperti apa yang diinginkannya. Posturku tinggi, gagah, berhidung mancung, berambut sedikit pirang, berkulit kuning langsat dan secara keseluruhan kuakui aku tampan. Nah, setelah menyimak ratusan kali di depan cermin melihat seluruh posturku, aku semakin yakin bahwa di dalam darahku mengalir darah Kaukasia atau Western, paling tidak seperti apa yang diimajinasikan ibuku. Dan itu sebabnya, aku pun memimpikan calon isteri atau pacar-pacarku kelak harus sempurna seperti yang kuinginkan.
Maka ketika seorang perempuan Sunda pilihan Ibu dan ayahku disodorkan mereka, aku sempat terjatuh di jurang keputusasaan. Dia tidak seperti yang kuinginkan. Tapi aku mau bilang apa? Ibuku mengancam, jika aku tidak menikahi pilihannya, maka dia tidak mau makan pun tidak mau minum. Ibuku yang menderita penyakit jantung ketika usianya menjelang lima puluh tahun, sungguh ia memang perempuan lihai yang pandai mengancam dan bersandiwara. Dan aku akhirnya menikah dengan perempuan desa bersuku Sunda sama dengan sukuku itu. Aku tidak mencintainya, tapi lambat laun aku menyukainya, karena ia baik hati, rajin, penurut dan pintar cari uang! Yang terakhir inilah aku akhirnya mengakui kalau pilihan ibuku tidak salah. Dan aku dengan bebas melenggang meneruskan profesiku sebagai penulis cerpen tanpa halangan dan rintangan, karena segala kebutuhan rumah tangga, sudah terjamin dengan usaha isteriku yang memiliki toko sembako di pasar dekat rumah kami. Satu hal lagi yang perlu kuberitahu, isteriku sangat mencintaiku, ia takut sekali kehilanganku. Mungkin ini adalah salah satu dari efek ganteng yang melekat di seluruh tubuh dan wajahku.
Satu-satunya yang membuatku resah dalam hidup ini adalah, bila isteriku membaca cerpen-cerpenku yang dimuat di berbagai media. Biasanya, jika cerpenku ada di sebuah koran atau majalah, ia akan membawa pulang kertas-kertas yang penuh berita itu dengan wajah murung. “Dengan siapa lagi kau berselingkuh?” tanyanya sembari memperlihatkan cerpen yang ada di koran tersebut. “Lihat, hari ini dia bernama Mona. Dulu Linda, lalu Dewi. Di mana perempuan-perempuan itu berada? Biar kulabrak mereka. Aku akan menyewa pembunuh bayaran untuk menguliti wajah perempuan-perempuan itu agar tidak lagi mengganggu suamiku yang tampan!” sambungnya geram.
Mata isteriku melotot, hidungnya yang pesek kembang-kempis, dadanya bergerak turun-naik. Ia benar-benar sudah terkurung lahar emosi yang sedemikian panas. Lalu ia mulai menangis. “Aku memang jelek, tidak cantik seperti perempuan-perempuan yang ada di dalam ceritamu itu. Ya sudah, kalau kau memang sudah tak suka lagi, aku akan pergi dari sini…”
Ups jangan! Kupeluk isteriku. Kalau ia pergi bagaimana nasib aku dan dan dua anak kami? Hampir semua orang yang berprofesi sebagai penulis cerpen seperti aku, kurasa tidak akan mungkin bisa menghidupi dua anak, membayar listrik, pembantu, uang sekolah, uang belanja kebutuhan rumah tangga, dan uang lainnya dari honor menulis cerpen. Itu pun belum tentu cerpen-cerpenku dimuat setiap minggunya. Aku bukan penulis top yang sudah terkenal. Karanganku bisa sebulan, tiga bulan bahkan setahun ditayangkan di koran-koran yang kukirim, bahkan kerap dikembalikan dengan kata pengantar yang penuh basa-basi; maaf tulisan anda perlu di eksplorasi lagi, kami membutuhkan karya-karya yang penuh imajinatif dan unik! “Jangan pergi sayang, baik katakan apa yang harus kulakukan untukmu!” kataku sembari memeluk tubuh isteriku yang kian membulat setelah melahirkan dua orang anak.
“Berhenti menulis cerpen, aku tidak mau lagi membaca kau berselingkuh dengan perempuan-perempuan yang menjadi tokoh-tokoh di dalam cerpenmu, aku tidak butuh honor cerpenmu yang hanya habis buat beli mainan kedua anak kita!” katanya tegas.
Aku terhenyak. Perempuan desa yang dipilih ibuku ternyata telah berubah total. Ia tidak lagi patuh seperti saat pertama diperkenalkan padaku. Ia tidak lagi merasa takut kehilangan diriku. Ia hanya cemburu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpenku, tokoh perempuan sempurna yang selalu menjadi kekasih platonik dan imajinatif di kisah yang kucipta. Ancaman isteriku tidak main-main. Isteriku tersenyum bahagia ketika aku beralih menjadi penulis skenario film. Meski aku harus berjuang lagi dari awal, dan selalu berharap cemas skenarioku di terima di rumah-rumah produksi, ia terlihat sumringah. Isteriku yang dulunya tak suka bernyanyi, kini selalu menyandungkan lagu-lagu lawas kesukaannya. Aku yakin, ia pasti sudah menduga aku putus dengan sosok-sosok perempuan cantik yang ada di dalam imajinasiku. Katanya, “Nah jadi penulis skenario nggak apa-apa. Kalau main film itu kan bohong-bohongan. Menurut temanku, para bintang film itu berperan sesuai dengan skenario yang dibuat penulisnya. Setelah film selesai, mereka akan main di film yang lain lagi.”
Duh! isteriku yang polos dia pasti tak tahu kalau pemain film itu memiliki kecenderungan yang rentan dengan perselingkuhan dan kawin cerai., “Aku bangga kamu menjadi penulis skenario, selain itu bayarannya kan juga gede ketimbang penulis cerpen,” katanya dengan mata berbinar, rona kemerahan menghiasi pipinya yang bulat ranum.
Ketika kebosanan dengan karirku mencapai puncaknya tiba, aku berhenti total dari kegiatan tulis menulis. Aku juga berhenti menjadi penulis scenario di puncak karirku. Isteriku termenung tatkala aku menyatakan diri hendak beralih profesi sebagai penulis biografi saja. “Apakah kau akan bercinta lagi dengan perempuan-perempuan yang kau bilang ada di dalam khayalanmu?” tanyanya curiga.
“Tidak!” sahutku.
“Lalu?”
“Aku akan membuat proposal dan mencari orang untuk dijadikan buku. Mereka akan kuwawancarai, pekerjaannya hampir seperti wartawan, tapi ini tidak untuk koran, ini untuk dijadikan buku tentang kisah mereka.” Jelasku.
“Tokohnya perempuan atau laki-laki?”
“Tidak tahu. Bisa perempuan, bisa juga laki-laki.”
“Kalau perempuan, apakah kau akan bercinta dengannya?”
Aku membisu. Kemarahan mulai merambat ke ubun-ubunku. Tapi kutahan. Isteriku yang gendut pasti akan menangis berguling-guling jika aku marah. Lalu anak-anakku yang memasuki usia remaja akan memarahiku dan membela ibu mereka. Isteriku memang telah berhasil memberikan pencitraan yang positif tentang dirinya kepada anak-anak. Aku terkadang menjadi takut pada dua anakku yang tampan dan cantik itu. Mereka seperti penegak keadilan yang menyoroti setiap gerak-gerikku.
“Sudah, tidak usah kau menjadi penulis biografi. Kalau tidak mau menulis skenario lagi, bantu aku saja, kita berjualan bersama-sama di toko sembakoku!” kata isteriku.
Aku terkejut, aku lulusan Sastra Inggris dari universitas ternama, indeks prestasiku tidak mengecewakan, sejak kecil aku suka membaca, aku bercita-cita menjadi penulis terkenal. Sekarang diminta isteriku membantunya berjualan sembako di tokonya? Hebat sekali perempuan gendut yang telah menjadi isteriku ini. Ia telah berhasil mengubah dirinya dari seorang perempuan sederhana yang patuh menjadi Godmother yang mampu menyetir kehidupanku sesuai dengan keinginannya, benar-benar perempuan besi terselubung. Dan mau tidak mau, aku harus mematuhi kehendaknya, sebab aku kalah suara. Dua anakku menjadi pemihaknya yang militan. Lalu resmilah aku menjadi pembantu isteriku, berdiri menunggu perintahnya di toko sembakonya yang laris manis itu. Untuk sementara para perempuan tokoh imajinerku, kusimpan rapat-rapat di benak terdalam kepalaku. Aku masih tetap berharap suatu saat mereka bisa kumunculkan lagi, tentunya dengan kisah yang menggebu dan bombastis, karena aku terlalu rindu pada mereka.
Begitulah kehampaan dan kerinduan itu merayap diam-diam. Isteriku bahagia melihat aku begitu patuh padanya. Bertahun-tahun itu kulakukan, sampai suatu ketika, perempuan perkasa itu diserang penyakit diabetes yang parah, ia tak kuat lagi menjalankan usahanya, ia menyerahkan semua itu padaku. Katanya, “Inilah yang kumaksud, jika aku tak ada, kau bisa menjalankan usaha ini dengan baik. Kau kan sudah menggelutinya cukup lama, jadi kau tahu menghitung untung dan rugi secara sistematis. Kalau kau tetap menjadi penulis cerpen atau penulis skenario atau penulis biografi, kau tidak akan pernah tahu jika di dunia bisnis itu yang ada adalah untung atau rugi. Kalau untung berarti kau bisa menjalani hidupmu dengan nyaman, jika rugi kau akan menyesal seumur hidup. Tak ada dunia imajiner di sini. Semuanya pasti. Aku sudah meninggalkan tabungan untuk kau dan anak-anak. Kurasa dengan tabungan itu dan usaha toko kita, kau bisa melanjutkan hobimu sambil berdagang. Menulis cerpenlah lagi. Pilihlah salah satu tokoh imajinermu yang baik dan mencintaimu dengan tulus, sama seperti aku menyayangimu dan juga anak-anak kita. Jika mereka tidak ada yang baik, cukup jadikan mereka dalam tokoh khayalanmu saja. Sebab, kebanyakan perempuan cantik dengan penampilan sempurna, butuh biaya besar untuk menunjang penampilannya. Ingat kata-kataku, aku tak ingin kau menderita di hari tuamu…” Katanya sebelum ia meninggal karena komplikasi penyakit itu.
Kesedihan yang teramat pedih merambati hatiku. Aku menangisi perempuan gendut yang menjadi isteriku. Sungguh, dengan kepergiannya, tiba-tiba saja keinginanku menulis dengan tokoh-tokoh cantik sempurna khayalanku lenyap.
Oleh : Fanny Jonathan Poyk