Para elite membuat kebijakan tanpa ada konfirmasi dengan rakyat. “Sak karepe dewe (semaunya sendiri). Mereka menganggap kita gak ada. Sekarang ini, pelanggaran etika berat dan mereka tidak bergeming, dengan tujuan kekuasaan semata, ” ungkapnya.
Seide.id. – Diskusi Kebudayaan yang berbobot berlangsung di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (27/12/2023), menandai pembukaan kembali Wapres, tempat nongrkrong para seniman di Jakarta Selatan .
Diskusi menghadirkan aktifis Isti Nugroho, Budayawan Dr. Zastrouw Al Ngatawi, dengan moderator dramawan dan penyair Amin Kamil, dengan tajuk Indonesia di Persimpangan Sejarah.
Menurut Isti Nugroho (63), Indonesia sekarang bukan lagi berada di persimpangan sejarah, tetapi sudah berada dalam lika-liku sejarah. Persimpangan sejarah itu sudah terjadi saat sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, sampai tahun 1965.
“Waktu tahun 65, Indonesia berada di persimpangan. Apakah Indonesia mau ke kiri atau ke kanan. Akhirnya Indonesia berkiblat ke Barat. Yang dulu dikatakan oleh Soekarno go to hell with your aid, bantuan itu akhirnya diterima oleh Soeharto, sampai bantuan itu menjatuhkannya sendiri,” kata Isti Nugroho.
Ada perang di abad 20 itu. Lalu, Indonesia sudah menjadi bagian dunia. Orang seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Sukarno, Soedjatmoko yang dalam pikirannya terjadi pertempuran ideologis. Ada polemik kebudayaan di sana.
Tapi setelah peristiwa 1965, Sejarah perang sudah berakhir. Indonesia betul betul berkiblat kepada Barat. Tidak ada lagi perubahan yang besar pada bangsa, karena kita sudah mengganut ideologi liberal dan kapitalistis.
Para elite membuat kebijakan tanpa ada konfirmasi dengan rakyat. “Sak karepe dewe (semaunya sendiri). Mereka menganggap kita gak ada. Sekarang ini, pelanggaran etika berat dan mereka tidak bergeming, dengan tujuan kekuasaan semata, ” ungkapnya.
Dikemukakan, Indonesia tidak sedang baik baik saja. “Ketika pemimpin kita ‘yes’ pada Barat dan China apa artinya Konferensi Asia Afrika? ” tanyanya. “Semboyan mereka lebih baik kalah dari salah, lebih baik menang meskipun salah”.
Diungkapkan, aktifis yang mengalami masa muda di tahun 1980-90an, merasakan residu ideologi dan masih membawa spirit perjuangan. Mengalami masa berdarah darah dalam perjuangan ediologi. ”Saya yang hanya diskusi buku saja, dijemput, diinterograsi tentara dan disiksa berhari hari lalu dikirimke Nusa Kambangan, ” katanya.
Sampai kemudian Suharto jatuh. Dan apa yang dulu dilarang dibebaskan. Isti Nugroho bingung ketika ke toko Gramedia, setelah bebas murni, karena buku yang dulu membawanya ke penjara Nusakambangan, sudah dijual bebas.
Dari kiri: Dr. Ngatawi Al Zastrouw, Isti Nugrogo dan Amin Kamil di Bulungan, Rabu Petang, 27 Desember 2023.
Sejak Habibie sampai Jokowi, Indonesia mengalami ekonomi kapitalisme level lima (5). Kita tidak punya lawan. Tidak ada yang dipertentangkan lagi.
Anak anak kita berkata, “saya tidak akan berjuang seperti cara Ayah berjuang . Saya ingin hidup aman, nyaman, dan gampang. Tak peduli ekonomi didominasi Amerika atau China. Tidak ada yang rumit tidak ada pengendapan ideologis.
“Dari Gen Z sudah tidak ada ideologi. Yang penting bagi mereka hidup aman, nyaman, dan gampang. Semua yang dipertentangkan dan didiskusikan di era 1960 – 1990, sudah dipikirkan. Sudah selesai. Omong kosong itu Marxisme.
Hidup diserahkan kepada masing masing saja, mau rumit silakan mau remeh temeh silakan. Tak ada lagi yang berlelah lelah membaca Aristotiles sampai Derida. Pertentangan ide di antara Hegel, Adam Smith, Karl Marx tak ada lagi.
Jika generasi muda 1980-an menikah lagi, dan punya anak lagi, anak kita menjadi liberal kapitalis dan mewarisi utang negara hingga 8.000 triliun. “Tidak ada lagi alternatif Tidak ada lautan. Kita berjalan di atas parit-parit,” katanya bertamsil.
Dia meyakini, 100 tahun ke depan, tidak ada lagi sebutan surga dan neraka. “Kuburan adalah adalah kesepian terakhir bagi semua orang, ” Isti Nugroho mengutip sajak Amin Kamil, sang moderator yang juga penyair.
Pentingnya Imunisasi Kultural
Budayawan Ngatawi Al Zastrouw menyatakan, bingung apakah sejarah masih relevan dengan anak muda sekarang atau tidak. Karena pendidikan sekarang lebih ke arah kognitif (pemikiran). Orang belajar agama hanya jadi ilmu pengetahuan.
“Pendidikan sekarang lebih mengarah ke kognitif (pemikiran). Anak-anak sekarang lebih banyak disuruh menghapal, belajar sangat banyak. Jangan-jangan anak-anak ‘stunting’ bukan karena kurang gizi, tapi karena kebanyakan bawa buku,” katanya.
Al Zastrouw (57) memperkenalkan pentingnya “Imunisasi Kultural” untuk menolak dampak penyakit dari budaya modern.
“Para orangtua terlalu takut anaknya hanyut dalam budaya liberal, sehingga lalu dibuatlah tembok-tembok tebal untuk menghalangi, seperti Syariat Islam, UU pornografi, dan lain-lain. Tetapi setebal apapun tembok yang dibuat, tetap saja bisa jebol.
“Daripada capek-capek bikin tembok, kenapa anak-anak tidak kita ajarin saja berenang, supaya lebih kreatif. Kalau dia bisa berenang kan bisa menyelamatkan diri,” kata Al Zastrouw. “Lebih baik kita meningkatkan imunisasi kurtural bukan dengan melarang, ” tegasnya. (dms)