Foto : Yatheesh Gowda/Pixabay
“Mas, saya boleh membantu sedikit pada keluarga yang sakit…?!” tanya Doi ragu.
“Lho, membantu saudara itu tidak dilarang, dan hukumnya wajib,” gurau saya. “Doi ada uang? Ada nomer rekening saudara yang sakit itu? Boleh Mas transferin?”
Itulah Doi, selalu minta saran, jika hendak mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah uang. Padahal, sejak semula saya telah memberi kebebasan dan percaya padanya. Bahwa pernikahan itu sejatinya tidak sekadar menyatukan dua hati, tapi dua keluarga! Apalagi untuk membantu meringankan keluarga yang sedang sakit atau kesusahan.
Kenyataannya, Doi tidak pernah berinisiatif untuk melakukan hal itu tanpa meminta persetujuan saya lebih dulu. Alasannya, karena saya yang bekerja. Sehingga Doi menghargai dan menghormati saya.
Jujur, saya akui sejujur-jujurnya, hal itu yang membuat saya bangga pada Doi.
Doi tidak pernah komplain besaran uang bulanan yang saya berikan untuk keluarga. Doi selalu merasa cukup, kendati pun harga-harga kebutuhan pokok terus melambung. Doi juga tidak pernah sambat atau mengeluh. Baginya, harga barang naik turun itu hal biasa. Semua itu tergantung pada pribadi orang yang menyikapi untuk mengelola keuangan keluarga itu. Dan hemat, membeli sesuai kebutuhan.
Sekali lagi, yang membuat saya bangga-sebangganya dengan pribadi Doi adalah sifatnya yang ceplas ceplos, terbuka, dan terus terang. Bahkan, jika ada sikap saya yang kurang berkenan, Doi berani menyampaikan dengan bijak. Misalnya, saat saya memberi hadiah kejutan, kalung liontin pada ulang tahun pernikahan kami.
“Mas banyak uang…?” tanya Doi. Padahal tujuan Doi adalah bertanya dari mana uang yang saya gunakan untuk membeli kalung itu. Bukan berarti mencurigai, melainkan Doi mengingatkan agar saya tidak khilaf dengan uang.
“Diberi sih, Doi seneng sekali, apalagi jika untuk hal yang lebih penting dan bermanfaat dulu,” kata Doi sambil tersenyum.
“Doi jangan khawatir, sejak dulu Mas membiasakan punya pos anggaran sendiri,” kata saya meyakinkan Doi.
Senyum Doi makin mesra.
Saya mengambil kalung liontin itu, lalu kupasangkan di lehernya yang jenjang.
“Terima kasih, Mas,” kata Doi sambil mengamati liontin itu.
Saya tersenyum. Kurengkuh bahu Doi, lalu kukecup bibirnya lembut.