Sosok ini saya kenal seputar 30 tahun lalu sebagai reporter harian Jawa Pos yang sering meliput acara seni dan hiburan di kota Surabaya. Usianya kira-kira 10 tahun di bawah saya.
Ketika awal-awal bertemu di medan liputan, saya kesankan sebagai pribadi pendiam namun penuh minat untuk mengetahui yang dianggapnya asing yang berkaitan dengan event dan nara sumber.
Maka ia saya amati beberapa kali bertanya yang sekiranya tidak diketahuinya kepada rekan-rekan reporter lain yang dianggap sudah “klik” dengannya.
Pernah Siti Nasyi’ah –nama sosok ini yang kemudian sering dipanggil Ita– mencoba melihat dirinya dari perspektif orang lain agar barangkali bisa dijadikan cermin untuk menata dirinya sebagai wartawati yang ditempatkan di pos hiburan.
Ketika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, jawaban saya normatif: “Anda sosok yang selalu berada pada jalur kode etik jurnalistik,” Dan, “tidak ada yang ngrasani (bicara hal-hal buruk tentang) Anda.”
Sesungguhnya jawaban saya saat itu tidak lengkap. Ada yang tidak tega saya katakan, yaitu Anda kurang yakin terhadap diri sendiri, sesekali masih terlihat agak minder.
Nama Ita saat itu tidak se-populer wanita-wanita jurnalis yang berkarier di Jawa Pos, seperti Diah Indra Tjahyuni, Sri Rahayu, Rindang Herawati dan sekian sosok lainnya. Mungkin lantaran Ita bukan hasil rekrutmen, melainkan berasal dari mahasiswi Stikosa/AWS yang magang di Jawa Pos.
Barangkali perasaan untuk membuktikan meski hanya reporter yang berasal dari mahasiswi sekolah tinggi komunikasi praktik kerja, diam-diam ia tak mau kalah dengan para jurnalis Jawa Pos yang lolos dari seleksi ketat ratusan (bahkan mungkin ribuan) peserta — yang lantas masuk ke dalam kotak pikiran dan lubuk hati sehingga menyatu dengan alam bawah sadarnya dan menjadi obsesi: “Saya harus berprestasi!”.
Saya bayangkan, saat itu Dahlan Iskan sebagai pemimpin redaksi belum melirik Ita.
Namun karena tugas-tugas yang dibebankan kepada Ita oleh redaktur yang membawahinya selalu diselesaikan dengan baik, Dahlan mulai sering menggembleng Ita langsung.
Lama kemudian saya tak jumpa “head to head” dengan Ita. Kadang-kadang saya baca berita-berita strait news-nya di Jawa Pos yang saya kenali dari initialnya di akhir tulisan.
Dari membaca berita-berita pendek itu, lantas sekian tahun kemudian saya beberapa kali membaca reportase berserinya yang dimuat di halaman 1. Wow… Ita banyak peningkatan, begitu gambaran perasaan saya saat itu.
Tahu-tahu Ita Siti Nasyi’ah menulis buku ‘Haji “kok” Nunut’, disusul ‘MAMI ROSE Jual Diri, ke Mucikari Sampai Eksekusi Mati’, ‘UCOK AKA HARAHAP Antara Rock, Wanita & Keruntuhan’, ‘DAHLAN Juga Manusia’ dan masih banyak lagi bukunya yang bergenre biografi.
Meski pada kemudian hari Ita sudah tidak di Jawa Pos –hijrah sebagai koresponden majalah Kartini di Surabaya– ia terus rajin menelurkan buku-buku biografi yang rata-rata best seller yang diterbitkan sebagian banyak oleh kelompok Gramedia.
Saya tidak tahu kenapa Ita keluar dari Jawa Pos. Seingatan saya, saat Ita sudah tidak di Jawa Pos, belum memasuki usia pensiun. Apa mungkin karena Ita menikah dengan Jusak Sunaryo yang wartawan harian Surya di mana saya asumsikan Jawa Pos dan Surya bersaing ketat saat itu. Ini mungkin menyangkut persoalan etika. Dan Ita ‘ewuh pakewuh’.
Seminggu lalu tiba-tiba saya teringat Ita. Ini berkaitan dengan channel saya di YouTube yang setiap seminggu sekali menghadirkan konten wawancara (saya lebih suka mengistilahkan ‘wawancara’ dibanding ‘podcast’). Mungkin lantaran lebih menyangkut bahwa wawancara tidak saya lakukan di studio dengan peralatan memadai — seperti mic sebesar botol aqua, tangkai mic yang bisa ditekuk-tekuk, dan rekaman dilakukan dengan lebih dari satu kamera.
Sementara peralatan yang saya punyai cuma handphone sederhana, tripod seharga 300 ribu, dan 2 biji mic clip on. Wawancara pun sering saya lakukan di warkop, depot, atau rumah saya berlatar belakang rak buku bukan nama channel saya yang tercetak di banner.
Apalagi dengan kegaptekan saya yang belum bisa menghadirkan wajah dalam posisi close up. Saya pikir dua aktor yang bermain drama di panggung jika aktingnya bagus toh akan menarik penonton.
Namun perkara nara sumber, saya berusaha selektif mempersembahkan.
Nah, ketika kami sepakati wawancara dilakukan di Taman Bungkul, Surabaya, Ita datang tepat waktu. Kami menemukan tempat duduk di bawah shelter dalam naungan pohon-pohon angsana rindang yang sebelumnya saya pilih spot yang saya anggap baik tapi Ita mengatakan, “jangan di sini, Mas. Masih ada sedikit sinar yang masuk dari celah dedaunan, nanti ‘pyar’ “.
Ita yang 30 tahun lalu ibarat kucing anggora lugu tapi indah, kini berubah menjadi macan betina dengan jawaban-jawaban menyengat. Sesekali mengoreksi pertanyaan dan istilah-istilah keliru yang keluar dari mulut saya.
Itaaa … haummm!