Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat Covid-19. Jakarta, sebagai Ibukota negara, bahkan menjadi zona dengan status paling parah. Statistik per 1 Juli 2021 mencapai 258.826 kasus, dengan total kematian 58.995 jiwa. Situasi ini diperparah dengan ditemukannya varian Kappa di Jakarta, padahal amukan varian Delta pun sama sekali belum mereda.
Berdasarkan informasi dari Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, tercatat ada empat varian Covid-19 yang bersarang di Ibukota: varian Inggris
(B.117) Alpha, varian Afrika Selatan (B.1.351) Beta, varian India (B.1.617) Delta, dan varian (B.1.617.1) Kappa—juga dari India.
Mutan-mutan SARS-CoV-2 ini menyerang semua lapisan usia, mulai dari 0 sampai 60 tahun ke atas. Sistem penularan didasarkan pada kontak aktivitas antar manusia, jadi betul-betul bisa terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Lama penularan yang tadinya berlangsung sekitar 15 menit, kini dapat terjadi dalam hitungan detik, dengan masuknya varian Delta dan Kappa.
Upaya pencegahan yang telah dan sedang dilakukan sejak tahun 2020 lalu berupa tindakan aktif untuk selalu memakai masker saat bepergian ke luar rumah, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik setiap kalinya. Sejauh ini terbukti bahwa tindakan-tindakan preventif tersebut memang cukup efektif, JIKA dilakukan dengan disiplin ketat oleh seluruh masyarakat. Bahkan, sejatinya kondisi covid di Indonesia sudah sempat melandai setelah dilakukannya Pembatasan Kegiatan Masyarakat selama 3 (tiga) bulan di tahun 2020 lalu.
Namun gegara sejumlah covidiots ndablek parah tak mau diatur dan dilarang mudik saat libur lebaran, pecahlah kondisi terparah seperti yang kita alami saat ini. Sampai akhirnya Pemerintah terpaksa memberlakukan kembali pembatasan darurat yang lebih ketat, dalam bentuk PPKM Darurat di Jawa dan Bali, mulai tanggal 3 sampai 20 Juli 2021.
Di tengah upaya perluasan pemberian beragam vaksin yang semakin digenjot habis-habisan oleh Pemerintah sejak awal tahun ini, beberapa bulan belakangan, ada satu obat yang makin lama semakin santer digadang-gadang sebagai obat terapi Covid-19. Namanya Ivermectin. Obat antiparasit spektrum luas yang sudah digunakan lebih dari 35 tahun pada manusia dan hewan untuk menangani infeksi strongyloides, filaria, dan skabies. Obat ini tersedia dalam bentuk oral dan topikal dengan dosis standar 150–400 mcg/kg.
Sebetulnya gaung obat ini terkait Covid-19 sudah terdengar sejak awal 2020, berkat sebuah kajian di Australia yang melaporkan bahwa Ivermectin mampu menghambat replikasi SARS-CoV-2 secara in vitro. Sejak itu secara serentak dilakukan uji klinis Ivermectin di banyak wilayah di dunia, sebagai profilaksis dan terapi Covid-19. Dalam upaya tersebut, sebagian besar obat yang diuji berbarengan gagal memberi bukti kemanjuran yang definitif dan dapat direproduksi dalam hal mengurangi kematian Covid-19. Belakangan, muncul bukti bahwa obat oral Ivermectin, selain sebagai antiparasit, juga memiliki banyak mekanisme antivirus dan anti-inflamasi, dengan hasil percobaan yang signifikan. Data diambil dari studi peer-review yang telah diterbitkan, manuskrip yang diposting ke server pracetak, meta-analisis dari para ahli, dan berbagai analisis epidemiologis di daerah-daerah yang mengampanyekan pendistribusian Ivermectin.
Meta-analisis yang didasarkan dari 18 uji coba acak pengobatan Ivermectin yang terkontrol terkait Covid-19 di Amerika telah menemukan adanya pengurangan kematian, waktu pemulihan secara klinis, dan waktu pembersihan virus yang sangat signifikan. Selain itu, hasil dari berbagai uji coba profilaksis terkontrol melaporkan adanya pengurangan risiko tertular Covid-19 yang signifikan pada penggunaan ivermectin secara teratur. Di lapangan, banyak kampanye pendistribusian ivermectin yang berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas dengan cepat di seluruh populasi. Ini menunjukkan bahwa obat oral yang efektif di semua fase Covid-19 telah secara nyata berhasi diidentifikasi.
Di Indonesia, kehadiran Ivermectin disambut dengan keraguan dan ambigu. Umumnya yang meragukan beragumem bahwa obat cacing untuk binatang kok mau dicobakan ke manusia. Ini diperparah dengan lambannya pemberian izin pemakaian Ivermectin sebagai obat Covid-19, dengan alasan kehati-hatian dan harus sesuai prosedur. Namun, seiring waktu dan situasi yang makin mendesak—ditambah banyaknya data epidemiologi, termasuk publikasi global yang menunjukkan bahwa ivermectin bisa digunakan untuk terapi Covid-19, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia segera memberi persetujuan pelaksanaan uji klinis Ivermectin untuk menjadi terapi perawatan pasien Covid-19, meski resminya mereka tetap menyatakan bahwa Ivermectin untuk sementara ini masih tercatat sebagai “obat keras” antiparasit untuk mengobati cacingan dan harus digunakan dengan resep dokter.
Uji klinis Ivermectin untuk terapi Covid-19 yang diinisasi Kementerian Kesehatan ini nantinya akan dilakukan di sepuluh rumah sakit. Di antaranya, RS Persahabatan, RS Sulianti Saroso, RS Sudarso di Pontianak RS Adam Malik di Medan, RSPAD Gatot Subroto, RSAU Jakarta, RSU Suyoto, dan RSD Wisma Atlet Jakarta.
Penulis berharap, semoga BPOM dan instansi Kesehatan terkait dapat mempercepat uji klinis ini. Memperjelas status penggunaannya terhadap Covid-19, dan bila memang hasilnya bagus, agar segera mendukung Pak Erick Thohir memperbanyak dan menyegerakan perluasannya ke semua pihak yang membutuhkan.
Alangkah leganya jika kita dapat segera terbebas dari penjara Covid-19 yang seolah tak ada habisnya dengan beragam varian baru yang terus bermunculan, entah sampai kapan. Amat sangat begitu melelahkan dan merugikan sekali bagi semua pihak.
Semoga.
Bima Sudiarto, penulis tinggal di jakarta
Sumber-sumber:
• https://www.alomedika.com/efikasi-ivermectin-untuk-profilaksis-dan-terapi-covid-19
• https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8088823/
• https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57553592