Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Pemerintah sering terasa begitu mudah dan royal memberikan izin konsesi hutan kepada korporasi-korporasi. Tapi begitu sulit dan berbelit untuk mencabut atau mengembalikan. Contohnya kasus Hutan Adat Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan) Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pandumaan-Sipituhuta.
November 1984 PT Inti Indorayon Utama (IIU), nama awal PT Toba Pulp Lestari (TPL), memperoleh hak penguasaan hutan (HPH) seluas 150.000 hektar, mencakup hutan pinus Merkusii di berbagai kabupaten di Sumatera Utara. Tahun 1992, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap memperluas konsesi ini menjadi 269.060 hektar. Luar biasa.
Setelah melalui revisi delapan kali, berdasarkan SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020), konsesi TPL di Sumatera Utara menjadi 167. 912 hektar. Konsesi itu berada di 5 sektor dan mencakup delapan kabupaten. Sektor Tele (Kab. Samosir, Pakpak Barat, Humbang Hasundutan) 46.885 hektar, Sektor Aek Nauli (Simalungun) 20.360 hektar, Sektor Aek Raja (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan) 45.562 hektar, Sektor Habinsaran (Toba, Tapanuli Utara) 26.765 hektar, dan Sektor Sidempuan (Tapanuli Selatan) 28.340 hektar.
Sejak masa Orde Baru, pemerintah, dalam hal ini Departemen/Kementerian Kehutanan memberikan sangat banyak konsesi penguasaan hutan kepada korporasi-korporasi berupa hak penguasaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), ijin perkebunan, pertambangan, dan alih fungsi lain.
Kementerian Kehutanan, yang menguasai 100 juta lebih hektar hutan bak “sinterklas hutan” kepada kroni-kroni penguasa Orde Baru dan oligarki-oligarki kapitalis. Hal itu terus berlansung hingga era Reformasi. Sebagai gambaran lihatlah infografik ijin perkebunan yang dibuat berdasarkan data Greenomics Indonesia.
Persoalannya, konsesi-konsesi ini banyak yang baru bersifat penunjukan, tanpa melalui pemetaan dan klarifikasi tanda batas. Padahal Indonesia memiliki Badan Geologi dan Badan Informasi Geopasial.
Itulah yang menimbulkan terjadinya sangat banyak konflik pertanahan antara perusahaan-perusahan dengan penduduk asli, masyarakat-masyarakat adat di seluruh Nusantara. Dan itulah menjadi salah satu faktor dominan yang mendorong berbagai lembaga masyarakat sipil di bidang lingkungan, pertanahan, dan hak azasi bersatu dan mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999. AMAN itu sesungguhnya “perjuangan hak azasi” masyarakat adat.
Begitu mudah membagi-bagi ijin dan konsesi hutan. Tapi bagaimana dengan mengembalikan, kalau terjadi kesalahan? Ternyata sangat, sangat sulit dan berbelit. Membutuhkan proses panjang dan berliku. Salah satu contoh yang dialami Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, di Kab. Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Konflik Tombak Haminjon
Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta salah satu dari sekian banyak komunitas masyarakat adat di Tano Batak yang berkonflik lahan dengan Indorayon/TPL.
Konflik ini mulai memuncak tahun 2009. TPL mau melakukan penebangan tombak haminjon (hutan kemenyan) dan kemudian menanami dengan pohon ekaliptus, Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta huta menentang. Bagi mereka tombak haminjon bukan hanya sumber ekonomi (penghasilan), tapi juga harga diri dan titipan leluhur yang sudah turun-temurun selama 300 tahun. Pengelolaan, pemeliharaan dan panen getah tanaman endemic Tano Batak ini dilakukan dengan cara-cara dan ritual khusus.
Konflik itu mengakibatkan 7 orang anggota masyarakat Pandumaan-Sipituhuta diperiksa polisi. Untungnya organisasi rakyat masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sangat solid. Mereka didampingi lembaga swadaya masyarakat KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat). Tapi Indorayon berhasil masuk ke wilayah masyarakat adat tetangga mereka di Kecamatan Pollung.
Awal tahun 2013 konflik kembali memuncak. Terjadi bentrok antara massa karyawan Indorayon dengan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Satuan Brimob yang mendukung Indorayon menangkap 31 warga, 16 orang ditetapkan jadi tersangka.
Tapi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta tetap teguh dan solid. Ketika bapak-bapak masuk hutan, menghindari penangkapan, kaum ibu maju menentang. Bahkan para ibu itu sempat minta ijin kepada para bapak untuk melakukan pertahanan dengan aksi buka baju. Dalam kehidupan orang Batak, MARSAEMARA, tindak melepaskan busana seperti itu adalah upaya terakhir untuk mempertahan harga diri. Publik bisa melihat film dokumentasi konflik dan perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ini di internet, antara lain @youtube.
Keteguhan dan kesolidan organisasi rakyat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta ini mengundang simpati dan dukungan besar dari berbagai kalangan. TPL sementara mundur dari Pandumaan-Sipituhuta.
Bertahun-tahun, dengan dukungan LSM pendamping, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta terus menuntut agar tombak haminjon mereka dilepaskan dari konsesi TPL. Tak terhitung berapa banyak tenaga dan biaya yang mereka habiskan untuk mengirim utusan menemui berbagai instansi dan lembaga, baik di Sumatera Utara, maupun ke Jakarta.
Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil. Tanggal 30 Desember 2016, Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Pengakuan Hutan Adat kepada 9 (sembilan) Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air. Salah satunya adalah Hutan Adat Tombak Haminjon Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta, dengan luas 5.172 hektar.
Total luas hutan adat yang diserahkan saat itu 13.122 Ha. Hutan Adat Wana Posangke (6.212 Ha) dan Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta (5.172 Ha) termasuk yang terluas. Yang lain hanya puluhan hingga ratusan hektar (Prakarsa, Jan. 2017).
Jalan Panjang Pengembalian
Pengembalian hutan adat ini bagai siraman air di musim kemarau panjang masyarakat adat di Nusantara. Juga menjadi keputusan monumental dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena untuk pertama kali hutan adat secara legal diserahkan kembali kepada Masyarakat Adat. Wakil dari Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta datang ke Istana Negara menggunakan pakaian adat untuk menerima SK Presiden tersebut. Mereka mangulosi, menyelimutkan Ulos Ragi Idup ke bahu Presiden Joko Widodo sebagai simbol kasih dan hormat, sebagaimana layaknya nilai dalam masyarakat adat Batak.
Tapi “tetes air” itu ternyata tidak mudah mereguknya. Pelepasan hutan adat tombak haminjon milik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dari TPL harus melalui banyak tahapan langkah yang melibatkan banyak instansi dari berbagai kementerian.
Menteri LHK melalui SK.923/Menlhk/Setjen/HPL.O/12/2016 mengalokasikan areal seluas 5.172 hektar untuk Hutan Adat Tombak Haminjon Pandumaan Sipituhuta. SK itu membutuhkan sinkronisasi ulang, karena ketika melakukan pengecekan lapangan, peta yang ditetapkan KLHK justru menyangkut wilayah masyarakat adat lain.
Begitu pula pembuatan Perda Masyarakat Adat sebagai dasar penyerahan dari KLHK. Pembuatan perda itu memakan waktu lama, karena harus melalui proses kodifikasi di Pemprov Sumut. Selanjutnya diperiksa dan disahkan Kemendagri, Baru kemudian bisa disahkan DPRD.
“Proses itu saja memakan waktu dua tahun lebih,” kata Lambok Poedan Lumbangaol (28 tahun), putra masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, sarjana hukum yang bekerja sebagai staf di KSPPM.
DPRD Humbang Hasundutan akhirnya mensahkan Perda No.3 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pandumaan Sipituhuta. Jadi, Perda ini khusus MHA Pandumaan Sipituhuta. Atas dasar Perda ini, Bupati Humbang Hasundutan mengeluarkan SK Bupati Nomor 201 Tahun 2019 tentang Wilayah Adat MHA Pandumaan Sipituhuta.
September 2020 berbagai pihak dan instansi yang berkaitan melakukan verifikasi Hutan Adat Tombak Haminjon Pandumaan Sipituhuta. Ini verifikasi hutan adat pertama di Sumatera Utara. Yang diverifikasi adalah subjek atau komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA)-nya dan objek atau wilayah calon hutan adatnya.
Desember 2020, Menteri KLHK mengeluarkan SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon Masyrakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta. Persis empat tahun setelah SK Presiden. Tetapi dari luas awal 5.172 Ha, SK itu hanya mengakui 2.393,83 hektar. Sisanya, disebut akan dialokasikan untuk mendukung ketahanan pangan.
Kenapa bisa begitu? “Ya, nggak ngerti juga, Bang. Katanya untuk food estate,” kata Lambok Poedan. “Sekarang prosesnya dalam tahap penetapan batas,” lanjutnya.
Contoh kasus hutan kemenyan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ini menunjukkan betapa sulit dan berbelit untuk mengembalikan hutan adat milik masyarakat adat. Bahkan, luasnya bisa disunat. Sementara di Nusantara ini ada beratus-ratus kasus konflik tanah/hutan dengan masyarakat adat, dengan luasan berjuta hektar. Tanyalah AMAN, Walhi, dan berbagai organisasi sipil yang bergerak di bidang pertanahan, kehutanan, dan hak azasi. Nafas perjuangan mereka sama: bukan menolak pengusaha/bisnis, tapi bisnis jangan merugikan dan menyengsarakan rakyat. Itu intinya.