Jadilah

Seide.id – Aku pernah membaca atau mendengar seorang sisiolog, berkata kurang lebih, begini: “Kelak, ilmu jurnalistik dan ilmu ekonomi tak diperlukan lagi” Aku menggerundel dalam hati (sudah menggerundel, dalam hati pula): “Hlaah, kelaknya itu kapaaan? Pasti bukan kelak pisang atau kelak ubi ‘kaaan? Kalok cuma kelak,…aku juga bisa. “Kelak, semua orang akan mati”,…haha).

Soal jurnalisme itu, kurang-lebih begini penjabarannya. Dunia sudah semakin tak berjarak. Bukannya bumi semakin kecil, tapi informasi yang diperoleh manusia sudah semakin mudah. Siapa saja bisa menjadi wartawan, dari kantor, jalanan, pasar, rumah bahkan dari kamar tidurnya. Bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja (terpaksa aku mengutip qoute iklan jadul itu). Berita hari ini, bahkan detik ini disampaikan detik ini juga. Live!. Anak sulungku yang sekolah jurnalistik dan sekarang bekerja sebagai jurnalis televisi, seakan memberi pembenaran, tentang ungkapan itu.

Di tempat kerjanya dulu, yang menentukan seseorang diterima atau tidak sebagai jurnalis televisi, adalah juga seorang jurnalis. Bahkan ‘si penentu’ ini dulu bersekolah, bukan cuma jurusan wartawan, tapi bahkan sekolahnya disebut Sekolah Publisistik. Yang fokusnya sekitar pemberitaan, kehumasan dan tentang teknis dan tata-cara berinteraksi dengan fihak lain. Tapi, dia lebih tertarik kepada seseorang dengan bekal dan latar belakang bidang ilmu lain. Dengan bekal itu, nanti sang pelamar akan ‘dicetak’ menjadi jurnalis. Kebijakan yang masuk akal. “Untung, waktu aku melamar, dia tak lagi jadi penentu kebijakan itu” kata anak sulungku.

Akan halnya ilmu ekonomi, ada yang berkata begini (kalau tak salah, Antony Giddens): “Aah, ilmu ekonomi sebetulnya ‘kan sederhana saja. Tentang bagaimana, dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapat keuntungan sebesar-besarnya! Rasa-rasanya semua orang bisa melakukannya tanpa diajari”.

Aku, bukan jurnalis, pun bukan ekonom. Ilmu jurnalistik yang aku dapat (kalau boleh disebut ilmu), karena aku bekerja di media. Bekerja bersama para jurnalis. Bekerja sebagai penata grafis dan pembuat ilustrasi yang ‘hanya’ sekadar pelengkap atau pemanis saja dlm dunia media. Yang memang setiap hari berinteraksi dgn para jurnalis.

…di Prabu/ para ibu seakan tak peduli terhadap pandemi/ terhadap kebisingan sekitar bertalu-talu/ seperti tak peduli/ dengan para koruptor yang masih bisa cengar-cengir di televisi/ meski sedang digiring masuk ke dalam jeruji bui/ seperti tak peduli terhadap politisi yang sedang menari-bari/…
…di Prabu/ seorang ibu masih bisa menjual nasi uduk seharga tiga-empat ribu/ ketupat sayur padang, gulai nangka/ dengan kuah kental enak dan mewah/ seharga 4-5 ribu.

Ilmu jurnalistik, mungkin bisa melaporkan semua ‘peristiwa’ ini. Tapi bagaimana ilmu ekonomi bisa menjelaskannya?

Aku yakin, si ibu penjual nasi uduk lengkap dengan bihun, irisan telur dadar, teri, kerupuk dan -tentu saja- sambal itu, tak pernah punya kesempatan untuk belajar atau bahkan sekolah ilmu ekonomi. Tapi bagaimana dia bisa mendapat sedikit keuntungan atas dagangannya? (orang Sumsel berkata: “ah sedikit-sedikit jadilaaah”).

Orang Jawa, punya istilah: “Ora obah, ora mamah. Orang Minang punya ungkapan yang dikupas dengan gamblang, bahkan menjadi sebuah buku, oleh sastrawan Minang Ali Akbar Navis: “Alam takambang jadi guru”. Orang Inggris, jika dunsanak suka menonton tv saluran Natgeo, mungkin akrab dengan unkapan David Attenborough: “Nature will always find it’s way to survive”.

Mau memakai ilmu jurnalis kek, ilmu ekonomi, kek, learning by doing kek,…yang pasti, nasi uduk dengan bihun, irisan telur dadar, teri dan sambal seharga tiga ribu dan jika ingin ‘nendang’ aku tambah seribu itu, susah sekali aku hitung keuntungannya.
Juga ketupat sayur padang dgn gulai nangka, buncis dan kentang nan lezat seharga 4-5 ribu itu, tak mungkin bisa aku dapatkan di Jakarta, eh Tangsel.

Mungkin, analogiku tentang nasi uduk, ketupat sayur, alam takambang jadi guru, ilmu ekonomi, Antony Giddens dan David Attenborough, agak sedikit terasa maksa. Tapi itu semua tentang survive, tentang bagaimana menyiasati hidup, bukan?

Selamat pagi, matahari. Selamat sarapan, dunsanak. Selamat menyiasati hidup. Mari berjemur dan selalu jaga kesehatan…

(Aries Tanjung)

Pop Bertanggung Jawab