Seide.id – Tiga tahun lalu, persis jam 2.45 siang tadi, HP-ku bergetar.
Ada pesan WA masuk, dari istri yang lagi di Yogya.
Pesannya pendek.
Hanya selarik.
“Jakob Oetama meninggal”
Ibu negara tahu, bahwa meski aku bukan wartawan, tapi tertarik dengan dunia jurnalisme.
Aku yang belum pernah berjumpa dengan Pak Jakob Oetama (JO), Pendiri Kompas-Gramedia yang hari ini berpulang dalam usia 88 tahun, mendadak teringat dengan penuturan seorang petugas yang berjaga di “Tembi, Rumah Budaya”, Bantul (milik salah satu mantan petinggi Kompas) kepadaku.
Perjumpaan sekitar lima tahun lalu itu, pas aku weekend di sana, berbincang tentang kehebatan seorang Pak JO.
Termasuk kehidupan spiritualnya.
Termasuk kehidupan keluarganya.
Teringat juga perbincanganku dengan sopir taxi online di suatu hari Minggu, tahun lalu. Dari Central Park ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Sopir yang mengaku bekerja di bagian umum di Kompas itu (dan itu sempat kuchecking dengan menyebut beberapa nama orang Kompas), yang narik taxi di hari Minggu untuk nambah pendapatannya, menceritakan bagaimana perubahan policy kesejahteraan karyawan setelah Pak JO mengundurkan diri dari pengelolaan Kelompok Kompas Gramedia (KKG).
Dia pun menceritakan kondisi lemah tubuh Pak JO di masa tuanya.
Tapi ternyata kedua hal di atas tak begitu menarik minatku untuk mengingat seorang Pak JO. Aku lebih suka mengenang Pak JO sebagai tokoh penting pers Indonesia. Sebagai empu jurnalistik, yang disegani oleh setiap orang yang bersentuhan dengan jurnalisme. Bahkan Ninok Leksono (Wartawan Senior Kompas) empat tahun lalu menuliskan di bukunya “Yuk, Simak Pak Jakob Berujar” di halaman xxv demikian, ” Bagi wartawan Kompas dan seluruh karyawan Kompas-Gramedia, Pak JO adalah mahaguru dan orangtua.”
Dengan kerendahan hati, sang mahaguru di atas pernah berujar, “We are no angel!”.
Yang bermakna, bahwa manusia itu selalu membawa dua sisi keping kehidupan,
keunggulan dan kelemahan.
Kelebihan dan kekurangan.
Dengan gaya low profile, kecerdasan yang berbalut kerendahan hati dalam mengelola bisnis KKG dia bisa tetap bertahan dan berkembang dalam berbagai badai krisis.
Kerendahan hatinya sempat terwakili dengan kisah yang pernah disampaikannya. Bahwa Pak JO pernah berkunjung ke salah satu Hotel Santika dan sejak mulai turun dari mobil sampai masuk ke loby hotel, tak ada seorang pun pegawai hotel yang mengenalinya, bahwa dia adalah sang pemilik hotel tersebut.
Aku justru tertarik mengenang Pak JO dalam meresponi dua badai besar atas media yang dipimpinnya.
Pertama, ketika Kompas dilarang terbit pada 21 Januari 1978. Yang kemudian pemerintah Orba menawarkan penerbitan kembali dengan sejumlah syarat. Yakni dengan meminta maaf dan menandatangani kesepakatan 4 butir utama (Tidak mengkritik keluarga presiden, Tidak mengungkit Dwi Fungsi ABRI, tidak menulis tentang SARA dan tidak menulis hal yang memperuncing konflik).
Ketika hendak mengambil keputusan menerima, Pak JO sempat berbeda pendapat dengan seniornya, Pak PK Ojong. Tapi akhirnya setelah berargumen panjang dan juga dengan ucapan yang sampai saat ini banyak dikenang, “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak bisa diajak berjuang”, akhirnya Kompas terbit kembali. 2500 karyawan bisa bekerja lagi.
Kedua, ketika tabloid Monitor terhantam badai besar di tahun 1990. Aku percaya Pak JO harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya dia sendiri tidak suka. Tabloid Monitor dicabut SIUPP-nya oleh Deppen saat itu, Arswendo diputuskan keanggotaannya dari PWI. Pak JO harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan anak yang sangat dikasihinya, seorang Arswendo Atmowiloto(AA).
Menurut informasi yang aku dapat, AA dengan prestasinya yang luar biasa ketika itu, dia digadang oleh Pak JO sebagai pemegang kendali KKG di hari depan.
Tapi manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan.
Kehendak massa saat itu sulit dibendung.
Demi kepentingan yang lebih besar, Pak JO harus menekan nuraninya dalam-dalam.
Menghentikan langkah putra mahkotanya, untuk kelanjutan kapal besar yang bernama KKG.
*
Pelajaran apa yang kudapat dari langkah bijak JO dalam menghadapi 2 badai besar atas media (Kompas dan Monitor) yang dipimpinnya?
Hati boleh panas, tetapi kepala tetap dingin.
Sebagaimana seorang Jakob (anak Ishak di PL) yang cerdas, seorang Pak JO lihai meniti buih dalam berbagai ombak besar. Dia mampu menekan panasnya hati dengan berpikir panjang, untuk kepentingan yang lebih panjang dan mendesak.
*
Mengenangmu Pak JO.
Bapak telah meninggalkan banyak warisan berharga bagi Indonesia.
( Setio Boedi )