Cerita Teman
Namaku Sherley, anak tunggal dalam sebuah keluarga Katolik. Papi dan Mami menikah pada tahun 1968. Usia Papi waktu itu sudah 49 tahun, sedangkan Mami 30 tahun. Bertahun-tahun mereka berusaha memiliki anak, tanpa hasil.
Akhirnya, mengingat usia, juga kekhawatiran tentang siapa yang akan mengurus mereka di usia senja, pada tahun 1979 Papi-Mami mengadopsi anak tetangga, Sylvia. Namun, usia Sylvia hanya beberapa bulan, dia meninggal karena muntaber.
Dua tahun kemudian mereka mengadopsi seorang anak lagi, dan anak tersebut adalah aku. Aku sungguh beruntung ditempatkan Tuhan dalam keluarga ini. Masa kecilku bergelimang pemanjaan dari Papi, Mami, dan…O-ok.
Semua orang mungkin berpikir, wah keinginan Bapak Petrus dan Ibu Maria Magdalena akhirnya kesampaian. Bila sudah tua kelak, ada Sherley. Hmmm… kenyataannya tidak seperti itu. April 1991 Mami berpulang dalam usia 52 tahun karena kanker payudara ganas yang baru ketahuan 10 bulan sebelumnya. Empat tahun kemudian Papi meninggal karena serangan jantung. Aku sendiri berusia 10 tahun ketika Mami wafat dan 14 tahun ketika Papi meninggal.
Yatim piatu… menurut ukuran manusia. Tapi dalam ukuran Yang Maha Kuasa, rupanya tidak begitu. Karena ada O-ok.
Elisabeth Mariam yang kupanggil O-ok adalah adik bungsu Papi. Mereka berbeda usia 18 tahun. Sejak muda ia tidak berniat untuk menikah, walau sering dijodohkan dan banyak pula pria yang datang ke rumah dengan maksud melamar. Dia bertahan walau dikatai perawan tua, suatu hal yang tabu di masa itu. Papa pun tidak memaksa adiknya menikah, malah konon dia bersikap judes pada pria-pria yang datang. Keadaan tidak menikah sering membuat O-ok jadi bahan omongan keluarga, soal siapa yang akan mengurusi dia nantinya.
Papi-Mami, beberapa saudara dan keponakan, juga O-ok, tinggal bersama di rumah Engkong (kakek) yang besar. Mungkin kondisi tinggal serumah itulah yang membuatku lengket dengan O-ok, dan ia pun sangat menyayangiku.
Setiap malam sehabis makan, aku bermain di kamar O-ok, dan baru dijemput Mami kalau sudah waktunya tidur. Setiap kali O-ok mau pergi ke mana pun, aku minta ikut sampai-sampai Mami kesal. Mami sering melarang aku makan ayam goreng fast food, tapi O-ok diam-diam memberinya padaku. O-ok betah menemaniku bermain di arena bermain semacam Timezone, sedangkan Mami tidak sabaran. Setiap kali Mami marah padaku, Papi dan O-ok membelaku. Geli juga kalau kuingat, dua wanita itu seolah memperebutkan kasih sayangku.
Ketika Papi meninggal, sungguh disayangkan seluruh keluarga hanya mengingat harta Papi… tanpa ingat adanya aku yang masih kelas 2 SMP. Statusku sebagai anak pungut pun diungkit. O-ok-lah yang membelaku mati-matian. Dia yang menyekolahkan dan membesarkanku.
Karena O-ok itulah, aku tidak pernah merasa diriku yatim piatu. Aku selalu merasa masih mempunyai seorang Ibu.
Tentang diriku sebagai anak angkat, ada satu peristiwa yang membuktikan lagi kasih sayang O-ok. Ketika itu Papi masih ada. Suatu pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, seorang kakak sepupuku membuka rahasia, bahwa aku bukan anak kandung. Katanya aku diambil dari rumah perantara di daerah Mangga Besar sejak bayi, tapi entah usia berapa bulan. Oleh sebab itu tanggal ulang tahunku pun tidak jelas. Mami bilang 17 Juni 1981, di Akta Kelahiran tertera 17 Juli 1981.
Mendengar ihwal ini aku menangis parah… tapi merahasiakannya dari Papi karena tidak tega. Papi sakit-sakitan setelah Mami meninggal. Hanya pembantu yang tahu aku menangis. Sepulang dari mengantarkanku ke sekolah, ia bercerita kepada orang rumah. Hebohlah keadaan di rumah, sepupuku habis dimaki-maki.
Aku sendiri, sepanjang hari bingung: Nanti aku pulang ke mana? Nanti aku panggil Papi apa? Nanti aku tinggal bersama siapa? Biasanya aku dijemput pembantu. Tapi khusus hari itu O-ok minta izin sehari pada bosnya dan menjemput aku. Ia mengajakku ke restoran kwetiauw. Saat itu hujan turun dan aku dipayungi, tapi aku tidak berani menggandengnya, tidak berani bicara apa-apa. Aku juga tidak berselera makan. Lalu O-ok bilang, “Iya, Seli memang diambil, tapi Papi sayang sekali padamu… Seli jangan marah, kasian Papi….”
Sesampai di rumah aku tidak segera masuk. Aku merasa asing. Ada rasa malu juga. Pikirku, “Wah sekarang semua orang (waktu itu pamanku buka kantor di rumah) tahu aku anak pungut.” O-ok masuk duluan dan memanggil Papi, “Ko, tuh Seli pulang….” Papi menghampiri aku, matanya merah, dia bicara terbata-bata, “Seli anak papi, jangan dengarkan kata orang itu, Papi sayang pada Seli.” Aku dipeluk dan diciumnya.
Setelah Papi meninggal, rumah Engkong dijual dan hasilnya dibagi antara saudara-saudara yang masih hidup. Aku dan O-ok pindah ke rumah sendiri.
Selain ada peninggalan Papi, O-ok tetap bekerja untuk kami berdua, juga untuk menyekolahkanku setinggi mungkin. Suatu hari kulihat O-ok termenung melihat buku tabungannya yang saldonya semakin menipis. O-ok bilang, “Sudah waktunya kamu membayar uang semesteran lagi ya?” Aku menjawab, “Oh tidak, kan Seli sudah lulus, tinggal menunggu wisuda.” Wah, wajahnya lega sekali.
Aku lulus Agustus, September dapat pekerjaan. Aku bilang pada O-ok, “Sekarang O-ok tidak perlu kerja lagi, giliran Seli.” Gaji pertamaku kupakai untuk membeli kacamata baru buat O-ok, menggantikan kacamatanya sudah ditambal selotip.
O-ok sekarang sudah 84 tahun. Puji Tuhan, kesehatannya cukup baik untuk umurnya. Ada penyakit jantung, jadi setiap bulan kontrol. Ke mana-mana duduk di kursi roda karena sudah tidak kuat berjalan jauh, tapi masih bersemangat, masih mau jalan-jalan bersamaku.
Sekarang ini kalau melihat ke belakang, semakin aku menyadari bahwa Tuhan itu “Maha Bercanda”. Buktinya, Papi-Mami yang mengambilku untuk menemani mereka di masa tua, ternyata cepat dipanggil Tuhan. Terbukti peranku adalah untuk mendampingi O-ok. Di sisi lain kalau tidak ada O-ok, mungkin aku sudah diserahkan ke panti asuhan.
Setiap aku merasa down dalam hidup, aku selalu ingat akan jalan hidupku. Aku dikuatkan dan merasa bersyukur, bahwa sejak masih janin pun Tuhan telah menaruh perhatian lebih kepadaku. Jalan hidupku sudah diatur Tuhan. (Sherley Pitrus)
“Tuhan bekerja dengan cara-cara yang misterius.” – Anonim