Jalan Kaki

Entah kenapa, jika hendak mengatakan tak menggunakan apa pun (sepeda misalnya, yang jarak tempuhnya bisa dijangkau dengan berjalan), bahasa kita menyebutnya: jalan-kaki. Tentulah berjalan (secara fisik) itu, kita lakukan dengan kaki. Mosok dengan tangan atau jidat?). Atau kita menerjemahkan secara harafiah dari bahasa Inggris: on-foot?,…entahlah.

Ngomong-ngomong soal jalan kaki, kemarin ada berita di tv, enteng-enteng saja, agak lucu dan sedikiiit…bikin malu (eh,…atau nggak?).

Menurut survey, warga kita adalah salah-satu dari warga dunia yang paling malas berjalan-kaki. Benarkah,…eeiits jangan marah dulu kepada surveynya. Mari, kita periksa.

Tempo hari, pernah ada berita, lucu dan sedikit menjengkelkan, begini. Di bandara kita yang megah itu, jarak antara loket tempat kita mendaftar barang-barang kita (daftar boarding?) ke tempat penumpang menunggu menjelang masuk yang disebut ‘gate’ memang jauh.

Itulah konsekuensi dari bandara besar bertaraf internasional dan megah. Tetapi untuk menyiasati itu, untuk orang-orang yang bermasalah dengan jalan kaki -orang disabilitas, manula, ibu hamil dan penyandang kendala atau disabilitas lain- disediakan kendaraan roda 4, mirip dengan kendaraan yang ada di lapangan golf. Untuk itu, bagi yang ingin menumpang kendaraan itu harap mengantre.

Seorang politisi, yang katanya sedang terburu-buru (maklumlah politisi getoloooh, pasti banyak rapat dan urusanlaaah), menyerobot antrean. Lelaki yang secara fisik tak bermasalah dan gagah perkasa saja, seharusnya malu menggunakan fasilitas itu,…eh ini…malah nyerobot antrean pula. Aku lupa-lupa ingat, adakah antrean yang diserobotnya manula atau ibu-ibu berkursi roda? Luarbiasa!

Sejak stroke, olahragaku memang yang ringan-ringan saja, termasuk jalan-kaki di sekitar rumah. Yang penting bergerak dan berkeringat. Tapi jika hujan atau malas,…yaah paling-paling nggowes sepeda statis saja di rumah.

Sepeda statis itu mahal (haah mahal,…pamer nih?). Oh, bukan, bukan pamer. Maksudku,…sepeda biasa atau sepeda pada umumnya yang kita kenal yang lebih murah saja, bisa mengajak kita sedikit jauh melihat pemandangan. Hla ini, sudah nggowes, keringetan, ngos-ngosan.., tapi sepedanya tetap di tempat. Di situ saja tak bergerak!

Tapi sekarang ini sejak sepeda statisku rusak, musim hujan pula, aku agak jarang jalan-kaki. Paling-paling berjemur matahari pagi dan menggerak-gerakkan badan seadanya sebelum beraktifitas.

Aku pernah punya kisah yang lucu juga tentang jalan-kaki dan bandara, begini.

Jika jarak antara pendaftaran barang di loket boarding dan gate cukup jauh, biasanya anakku, memesankan kursi roda, fasilitas di bandara. Waktu itu anakku, entah lupa atau aku yang ‘agak sok-sokan’, ingin sekalian latihan berjalan-kaki (padahal jika berjalan agak jauh, aku cepat lelah) atau lupa meminta dan mendaftar. Ternyata, gate-nya bukan agak jauh, tapi…jauh banget. Pesawatku ada di gate 26, 2 gate lagi di gate paling ujung.

Jreng-jreng-jreeeng. Ya sudah apa boleh buat. Sebagai ilustrasi: Di bandara Vietnam, kursi roda dengan mudah rersedia di banyak tempat, dan prosedurnya tak ribet. Tinggal bilang saja kepada petugas yang terlihat. Lagipula memang tak perlu ribet ‘kan? Siapa juga yang mau,…mencuri, misalnya.

Yaah, apa boleh buat, akhirnya aku jalan (kaki, haha). Di tengah perjalanan (mungkin karena melihat jalanku yang terseok-seok) seorang petugas bandara, menegur ramah:

“Wah, bapak tidak menggunakan fasilitas kursi roda”
“Iyaa,…tak apalah. Kami memang lupa mendaftar. Kami akan jalan pelan-pelan saja. Lagi pula, penerbangan kami pun masih lama.”

Si petugas agak termenung dan tersenyum agak tersipu, ekspresinya seolah-olah ingin berkata (ini dugaanku saja):…jika melihat bapak ini,…harusnya petugas tergopoh-gopoh menyorongkan kursi roda,…toh administrasi bisa diurus belakangan, bisa munyusul kemudian.

“Ee,…mau saya daftarkan ‘bu, pak,…ee memang agak lama sih, dan..”
“Tak usah mas, terimakasih, kami baik-baik saja”…kata istriku.
“Boleh tau pesawat ibu-bapak di gate berapa?”
“26”
“Wadduuhh,…gate itu jauh sekali bu,..pak..Eee.., sebentar.., sebentar.. Saya sarankan ibu, bapak.., sambil berjalan perlahan, sesekali lihat-lihat juga ke belakang semoga dapat menumpang kendaraan yang memang disediakan untuk orang-orang.. maaf.. seperti bapak. Nanti kendaraan itu lewat kok,…setiap beberapa menit”

Benar saja. Baru sekitar 2-3 menit berjalan, lewatlah kendaraan mirip odong-odong tapi lebih mewah dan tak beratap itu. Kendaraan itu berhenti, mungkin karena sopirnya (juga) melihat aku yang sedang berjalan perlahan, terseok-seok dan berpegangan pada lengan istriku.

Sang sopir turun. Di dalam kendaraan yang kebetulan masih bisa mengangkut 2 orang itu sudah ada beberapa orang. Ibu hamil, ibu manula dan juga bapak-bapak manula yang sekelebat nampak lebih tua daripada usiaku dan menggunakan tongkat.

Sopir kendaraan itu turun. Menghampiri, menuntun dan menyilahkan aku dan istri naik. Tiba-tiba, di saat bersamaan, seorang lelaki lebih muda daripada aku, gagah perkasa, membawa tas,…hampir menyerobot, menduduki bangku yang akan aku dan istri duduki.

Sang sopir, kaget, lalu berkata agak tajam:

“Pak,…saya menghentikan kendaraan ini,…karena melihat bapak ini, bukan karena melihat bapak”.

Sang, bapak gagah perkasa yang hampir menyerobot tadi, tak jadi naik, tak bekata apa-apa, dia geloyor begitu saja, diikuti senyum kecut sang sopir, tatapan mata dan sedikit gelengan kepala.

Tadi, seandainya sang bapak gagah perkasa itu berebut bangku denganku, aku akan bertanya:
“Apakah anda tak malu,…berebut bangku dengan saya..?”


Ilustrasi: “high heel”…(ilustrasiku untuk rupbrik psikologi di tabloid tempatku bekerja, sekitar 25-30tahun lalu, etsa, kertas foto hitam ditoreh dengan cutter, 20x15cm)

Aries Tanjung

Ikuti : Mural