JALAN KAKI TOBA-ISTANA : Percaya Penyertaan Tuhan

Oleh ANITA MARTHA HUTAGALUNG

HARI KE-35.

Pagi ini Oni hanya mengisi perut dengan segelas air hangat. Teman-teman yang lain sarapan dengan nasi hangat dan telur dadar. Oni berharap di perjalanan nanti akan menemukan orang yang jualan bubur kacang hijau atau makanan apalah.

Aku bukan orang yang manja atau pemilih dalam hal makanan. Makanku sedikit, cuma segenggam nasi ditambah sayur dan ikan/daging. Masalahnya lidahku nggak terbiasa dengan penyedap rasa. Kalau masih sedikit mungkin masih bisa ditolerir lidahku. Tapi kalau udah berlebihan, langsung mau muntah.

Empat hari terakhir, aku makan hanya biar hidup saja. Tak kunikmati, pokoknya asal masuk ke perut aja. Puncaknya, kemarin siang aku tak makan, Malamnya juga aku tak pesan makanan, hanya pesan telur dadar tanpa garam dan aku minta nasi Bang Rait segenggam. Setelah makan aku tidur.

Pagi tadi Oni berjalan kaki bersama Yman Munthe dan Jevri Manik. Setelah hampir dua jam berjalan kaki, kami melewati pasar yang ramai penjual makanan. Sampai pasarnya habis terlewati, tak satu pun makanan yang menggugah selera. Akhirnya kami mampir di warung tukang lontong.

Upacara wajib selama jalan kaki Toba-Istana : oles kaki

Oni hanya pesan teh manis. Tak berani aku memesan lontongnya. Dari tampilannya saja sudah bisalah awak bayangkan rasanya. “Dang marvitamin”, istilah kami kalau sesuatu itu tak cocok. Oni memang kek gitu orangnya.

Perjalanan TIM 11 ini memang luar biasa, menambah wawasan dan pemikiran terbarukan. Saat di situasi, di tempat yang makanannya tak cocok di lidah, barulah aku sadar betapa nikmatnya makanan di kotaku Binjai, Medan, dan Siantar. Segalanya ada. Mau apa saja ada. Dari harga kaki lima sampai harga bintang lima, semua ada.

Saking lengkapnya dan tak pernah kekurangan, membuat aku merasa makanan yang ada itu biasa aja. Tapi sekarang, sumpah, Oni jadi sangat menghargai semua kuliner yang enak-enak di kotaku.

Si Munthe yang bapaknya Munthe itu saja sampai bilang begini, “Pulang dari Jakarta nanti, satu minggu aku nginap di Medan dulu, tiap hari aku makan makanan yang aku suka sepuasnya, barulah aku balik ke Tongging.”

Hahaha… mau balas dendam dia. “Kalau Oni, nanti makan apapun itu, akan kunikmati betul-betul disetiap kunyahan, barulah kutelan,” kataku. Ya, ternyada makanan enak itu kayak “si dia” ya. Kalau sudah tak ada, baru kita sadari keistimewaannya.

Eda Boru Pasaribu dan amangbao Sitinjak menyediakan makan malam, namun sayang ajakan menginap tak bisa mengingat sudah pesan penginapan

Setelah teh manis kuminum setengah, kami lanjut lagi berjalan. Di tempat bernama Paris kami diminta untuk mampir ke rumah marga Munthe/Boru Sinaga. Boru Sinaga ini masih ada pertalian saudara dengan marga Sinaga yang sebelumnya ketemu TIM 11. Kami disediakan kopi dan godok-godok. Baik-baik kalilah orang-orang yang kami temui. Macam saudara dekat saja rasanya. Padahal cuma tahu Oni dari facebook saja.

Lebih istimewa, karena di Paris ini si Munthe bertemu semarganya. Katanya, di Paris itu cuma mereka satu-satunya marga Munthe. Jadi kalau Munthe TIM 11 mau tinggal di Paris, akan dikasih setapak tanah buat bangun rumah.

Tak lama kemudian Lista Sitorus pun datang. Dia langsung kasih kacamata merek Fosil buat
Oni. Katanya itu ori, karena kakaknya ada di Amrik dan mengirim kacamata itu dari sana. Pertemuan yang sebentar tapi berkesan.

Sebelum kami pergi, eda Boru Sinaga menyalamkan uang ke genggaman Oni. “Eda, ini buat makan siang di jalan nanti, ya,” katanya. Tak habis-habis orang baik memberi pada kami.

Target kami closing di Kotabumi. Tapi karena Oni merasa kelelahan, Oni meng-closing-kan diri sendiri, di tugu yang banyak patungnya. Apalagi yang jalan cuma tinggal Oni dan Munthe. Ketua Jevri sudah nyerah, sakit kepala katanya. Ito Togu juga belum sehat. Maka, mereka jalan duluan, cari penginapan ke Kotabumi.

Dari tempat Oni closing, kami naik mobil ke Kotabumi. Saat memasuki Kotabumi ada tugu Payan Mas. Oni pengen foto. Saat asyik cari-cari posisi, tiba-tiba ada yang datang lari-lari sambil teriak, “Oni… Oni…!” Astaga, ada yang kenal Oni di sini. Dia mengaku Boru Purba. Kami sempatkan foto bersama.

Lalu Oni lanjut lagi sampai ke Hotel Duta, tempat teman-teman yang kurang sehat istirahat.
Baru saja Oni akan merebahkan badan, sudah ada lagi yang panggil-panggil Oni. Sepasang suami istri marga Sitinjak/Martha Lasmaria Pasaribu.

Boru Pasaribu ini mengaku tahu Oni dari Bibelvrow-nya. Jadi dari dua tahun yang lalu sudah jadi followers Oni. Mereka sebenarnya mau menawarkan TIM 11 menginap di rumahnya. Tapi karena kami sudah booking hotel, mereka menawarkan membelikan kami makan malam.

Closing di tempat dengan banyak patung

Semua kebaikan yang kami terima sepanjang hari, adalah bukti penyertaan Tuhan dalam perjalanan TIM 11. Itulah sebabnya aku tak pernah khawatir terhadap hidupku.

Kemudian Oni juga terima telepon dari seorang pendeta di Metro Lampung. Katanya, beliau tahu banyak tentang Oni dari Pdt. Darwita Purba. Beliau telepon Oni itu menanyakan barangkali ada yang kami perlukan.

“Terimakasih banyak Pendeta, atas apresiasinya. Tapi sampai saat ini TIM 11 masih tercukupi, Doakan saja kami dalam keadaan sehat dan bisa tiba di Jakarta. Dan bersuaralah dari mimbar tentang tanggung jawab manusia menjaga lingkungan,” kata Oni.

Tapi, sampai perbincangan kami berakhir, dan menulis laporan ini, baru tersadar Oni tadi lupa tanya nama Pak Pendeta itu. Ya, Oni emang kek gitu orangnya. Tapi Oni tak pernah lupa untuk bilang TUTUP TPL!

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba