JALAN YANG TIDAK KUTEMPUH

Cerpen oleh Belinda Gunawan

Beth  dan kedua adiknya merunduk membaca sesuatu. Merasa aku mendekat, ia mengajukan sesuatu itu dan bertanya, “Ini apa, Ma? Bisa Mama jelaskan?” 

Ups… ternyata surat penerimaanku dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, untuk kuliah S2 di bidang kesehatan. Gratis, beasiswa penuh. 

“Surat lama,” kataku. “Hmmm, sekitar 10 tahun lalu.” Rupanya ketika bebenah lemari aku menjatuhkan surat yang dulu kusesapkan jauh-jauh di bawah tumpukan baju-bajuku. 

“Mama tidak memenuhi undangan ini,” kata Ket. 

“Kenapa, Ma?” tanya desak Beth.

“Iya, kenapa, Ma?” Net ikut-ikutan. 

**

Melanjutkan kuliah ke jenjang S2 sesuai bidang kesukaanku, syukur-syukur di luar negeri, memang gairahku. Maka waktu itu kususun CV dan segala bukti  pencapaianku di media massa tempatku bekerja sebagai redaktur kesehatan, dan kukirim ke berbagai universitas di Amerika Serikat.  

Puji syukur kepada Allah, hari itu  di kantorku aku menerima acceptance letter dari School of Hygiene, Johns Hopkins University untuk program studi Master of Health Management. Ketika memegang lembar surat itu, sungguh aku terlambung. Tidak sia-sia upaya dan tekadku. 

Surat itu kuselipkan di tas, dan dalam perjalanan pulang kantor rasanya ingin kuintip dan kuintip lagi. Sesampai di rumah,  tiga daraku menyambut dengan gembira. “Ma,” sapa mereka sambil bergantian memelukku. Lalu mereka berceloteh riang, bertanya, menjawab, bercerita. Waktu itu si sulung Elizabeth (Beth) berusia 11 tahun, Katherine (Ket) 8,  dan Natania (Net) 6 tahun.

Dan…  aku akan meninggalkan mereka, demikian terpikir olehku. Selama berangan-angan itu keberadaan mereka adalah suatu kenyataan hidup yang kutepiskan dan kukesampingkan. Selalu aku berpikir, ada support system yang pasti bisa menggantikan diriku: suamiku, ibuku. Apalagi hanya dua tahun. 

Sore menjelang malam itu, melihat wajah-wajah mereka, ketika kesempatan sudah ada di tangan, segala kekhawatiran muncul silih berganti.  Apa jadinya ketiga anak ini kalau aku, sang ibu, meninggalkan mereka? Siapa yang menyediakan segala sesuatu bagi mereka, dari makanan sehat, bekal sekolah,  hingga pernik-pernik seperti kertas krep warna-warni dan satu set gagang es loli untuk prakarya? Siapa yang mereka ajak curhat tentang sahabat yang tiba-tiba cuek, atau anak lelaki yang mencuri hati? 

Siapa yang mengantar mereka ke bimbel matematika, les piano dan latihan renang, juga ke ulang tahun teman? Siapa yang menunggui mereka membuat tugas sekolah hingga larut malam,  mengajari mereka memakai pembalut untuk pertama kalinya, dan menjaga kebersihan selaku wanita? 

Dan… bagaimana kalau salah seorang sakit dan membutuhkan perawatan telaten seorang ibu, seperti Ket yang baru-baru ini kena DB? Bagaimana kalau Beth salah gaul dalam kehidupan pra remaja yang kompleks ini? Bagaimana kalau….

Malam itu aku mengalami konflik batin. Perasaan yang sebelumnya melambung hingga ke langit lapis ke tujuh kuredam dalam-dalam. Bahkan kepada suamiku pun berita itu kurahasiakan dulu. Pergi, tidak, pergi, tidak. Aku… mereka… aku…. 

Aku menyimpan surat penerimaan itu jauh-jauh di dalam lemariku. Jangan sampai ada anakku yang melihatnya. Mereka pasti mengira aku bakal meninggalkan mereka, padahal… apakah aku tega? Ah, “bayarannya” terlalu mahal. 

**

“Mengapa Mama  tidak pergi? Padahal Mama selalu menyemangatiku untuk kuliah S2, bila mungkin di luar negeri?” desak Beth, yang tengah mencari beasiswa ke beberapa Universitas di Inggris.

“Mama juga mengatakan begitu kepadaku, sekalipun lulus SMA pun aku belum,” tambah Ket. 

Demi kalian, kataku dalam hati, demi kalian. Tapi yang terucap adalah, “Mama punya prioritas lain, Nak.”

“Prioritas itu… kami, ya Ma?” tanya Net. 

“Kenapa, Ma?” sulungku masih penasaran.

Aku menghela napas dalam, dan kuhembuskan perlahan. Aku tahu, di depan ketiga daraku ini aku harus pandai-pandai menyusun jawaban. Jangan sampai mereka merasa bersalah, bahwa keberadaan mereka telah “menghambat” kemajuanku. Mereka tahu, dengan ijasah Sarjana saja, seberapa banyak pun pengalaman kerja dan penghargaan yang kuperoleh, aku tidak bisa mencapai salah satu keinginanku: menjadi dosen di alma materku atau universitas lainnya.

“Beth, Ket, Net,” jawabku akhirnya. “Kalian perlu tahu bahwa dalam hidup ini, semua orang  dihadapkan pada pilihan. Di antara dua jalan yang terhampar di depan langkah kita, ada satu yang harus kita pilih untuk ditempuh. Menempuh yang satu berarti tidak memilih yang lain. Boleh dikatakan, kuliah Master di Amerika adalah jalan yang tidak kutempuh.”

“Apakah karena kodrat wanita, Ma?” tanya Ket. 

“Kodrat? Siapa yang mengajari anak Mama tentang kodrat?” aku balas bertanya sambil membelai rambutnya. “Tidak ada kodrat wanita. Laki-laki dan perempuan, sama kedudukannya di dalam masyarakat.”

“Lantas apa, Ma?” Ket masih mendesak.

“K yang bukan kodrat. K yang lain,” jawabku tersenyum.  Aku merasa diriku cerdik menemukan ide ini. “Siapa yang bisa menebak, K itu apa?” 

“Apa, apa?” tiga dara itu saling menatap. Kelihatannya mereka terpancing kuis dadakanku. 

Si bungsu mendekat, bergayut manja di leherku. “Beritahu aku, Ma.” 

Kubisikkan di telinganya, “Kasih.” 

Tapi rupanya bisikanku cukup keras untuk didengar oleh dua yang lain.  “Kasih!” kata mereka. 

Ya, ada jalan yang tidak kutempuh, namun itu kusengaja karena kasih. Kasih yang luar biasa, yang merupakan rahmat tersendiri bagiku selaku seorang wanita dan ibu. 

Menyadari hal itu tiba-tiba aku dijalari rasa nyaman dan tenang yang menentramkan. Aku merasa telah menjawab pertanyaan mereka, sekaligus menjawab pertanyaanku sendiri.

Sekarang kulihat mereka menatapku dengan mata berseri. Kuraih ketiganya dalam satu pelukan.

14 April 2022

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.