“Janda Bolong” Sekadar Nama

Inilah tanaman hias yang lagi heboh itu : karena namanya yang asosiatif, Janda Bolong. Foto Herus Saputro

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Di pinggir gerbang keluar tol Sawangan Depok, ada boutique tanaman yang dikelola Boim. Lumayan luas dan lengkap. Ke halaman parkirnya suatu siang menjelang sore, singgah sebuah sedan premium yang langsung menurunkan penumpangnya, sebuah keluarga batih terdiri dari pasangan Mama & Papa, yang relatif masih muda-muda, plus seorang anak perempuan mereka, cantik, milenial, berusia sekitar 20 tahunan.

Boim sedang banyak tamu saat itu, yang tanya ini dan itu berkait tanaman hias, pot atau perlengkapan dan alat untuk tanam-menanam. Tapi namanya pedagang, calon pembeli adalah raja. Apalagi Boim ingat, itu mobil keren yang sudah beberapa kali singgah ke butik tanamannya, dan kepala rumah tangga sekaligus driver sedan itu sudah dikenalnya dengan baik. Dalam hati dia menduga-duga, si cantik yang dia damba dan ingin dia koleksi di ruang kerja atau kamar tidurnya…?

Bisa jadi karena kedekatan itu, begitu turun dari mobil dan jaraknya dengan Boim masih kitaran 6 meter, Si Papa langsung saja mengunkap minatnya datang ke butik tanaman itu hingga suaranya pun terdengar seperti suara orang yang setengah berteriak. “Im, elu ada masih ada simpan Janda Bolong? Gue perlu buat malam ini. Lima kek, sepuluh kek, OK aja. Yang penting bagus dan mulus…”

“Boleh, Bos, boleh…! Ada banyak saya(h) simpen. Seratus juga ada Janda Bolong, sih…! Tentu ajah bagus semua Bos, mulus. Karena perawatannya juga spesial, Bos” jawab Boim, tak kalah keras suaranya. Spontan beberapa orang yang mendengar dialog itu tertawa, dan beberapa lainnya bengong, dan dan lantas menunduk, rikuh. Termasuk Si Mama, istri Si Papa, dan anak perempuan mereka.

“Si Papa ini, kok bicaranya polos betul, sih? Mbok ya lihat-lihat situasi dulu, baru bicara. Gitu, lho, pantesnya…,” tegur si Mama dengan suara halus, dan bahkan nyaris tak terdengar orang lain.

“Iya, nih, Si Papa…! Bahasanya kok gitu, sih? Saru, Pah, ora ilok kata orang Jawa. Rada sarkasme dan melecehkan kaum…,” timpal si Cantik, putri mereka.

Ganti si Papa yang bengong. Lalu katanya: “Lho, apa Papa salah omong? Apan kita kemari kan emang buat cari Janda Bolong? Buat bahan Gendis bikin skripsi, Lha, salah Papa dimana, coba?” ucap si Papa yang dari logat bicaranya, sepertinya orang Betawi, atau paling tidak besar di di lingkungan masyarakat Betawi.

Si Cantik bernama Gendis (dari kata dalam bahasa Jawa, yang berarti ‘manisnya gula’ atau ‘gula-gula’) itu tertunduk. Sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi yang berkampus di pinggir Jakarta. Ia memang berencana menulis skripsi. tugas akhir kuliah, dengan materi pokok tanaman eksotik yang lagi ngetrend dan populer sebagai… (Gendis tak tega menyebutnya).

Foto foto HERYUS SAPUTRO

Gendis faham bahwa penamaan ‘Janda Bolong’ pada tanaman hias eksotik ini memang mengundang banyak salah sangka. Bahkan seorang aktivis pro-lingkungan sempat mengeritik seorang akademisi sebuah universitas terkenal sebagai orang yang ‘kurang peka’, karena menggelar seminar ilmiah bertajuk “Mengupas Tuntas Janda Bolong” di kampusnya. “Judul ini tidak mendidik. Melecehkan harkat kaum wanita…,” katanya.

Tapi mau gimana lagi? ‘Janda Bolong’ adalah kata yang paling pas dan cepat difahami orang bila kita memerlukan atau mencari tumbuhan ini. Sebab kita semua faham bahwa tumbuhan di atas adalah satu dari sekian banyak jenis pohon rambat keluarga Philodendrum sp., yang antara lain punya varian jenis yang dikenal dengan nama Monstera. Nah, Monstera juga punya banyak jenis, diantaranya: Janda Bolong.

Orang Jawa, selain kata ‘godong’, juga menyebut daun dengan istilah kuno atau arkais, yakni ‘ron’. Mengingat tiap daun pohon jenis monstera satu ini pada bolong di bagian tengahnya, maka disebutlah sebagai ‘ron podo bolong’ atau ron (daun yang) pada bolong. Istilah atau kata ‘ron podo’ inilah dalam tradisi lisan yang panjang lantas terpenggal atau jadi lebih singkat menjadi ‘rondo’.

Kata ‘Ron podo bolong’ pun menjadi Rondo Bolong. Orang Jawa Barat menyebutnya dengan speeling khas Sunda, yakni Randa Bolong. Kita tahu, ‘rondo’ atau ‘randa’ adalah sinonim kata ‘janda’ dalam Bahasa Indonesia, ataupun dalam Bahasa Melayu-Betawi. Maka tak heran bila tukang tanaman di Jakarta yang umumnya orang Betawi lantas mempopulerkannya sebagai tanaman Janda Bolong.

Apalah artinya nama, begitu kata Shakespeare. Demikian juga dengan Rondo Bolong atau Randa Bolong atau Janda Bolong, itu sekadar nama dagang, nama populer untuk langsung menyebut varian jenis tumbuhan monstera (yang berjumlah ratusan varian) untuk langsung fokus pada sasaran yang tepat. Nama ini pula yang diadopsi pencinta tanaman di Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam menjadi “Janda Merana”.***

15/07/2021.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.