Seide.id – Vaginoplasty atau “reparasi” vagina dengan jalan operasi atau bedah terkesan memberi “angin surga”.
Namun, jangan menempuh cara itu demi mengejar kepuasan seksual.
Ada banyak indikasi medis yang harus dijadikan patokan untuk menjalani operasi tersebut.
Indikasi medis
Indikasi medis mutlak untuk vaginoplasty adalah kelainan vagina.
Kelainan pertama, vagina tidak terbentuk. Kondisi itu disebut atresia atau agenesis vagina.
Perempuan yang memiliki kelainan itu secara fisik sering diragukan identitasnya sebagai perempuan.
Kelainan yang juga dianggap sebagai indikasi medis untuk vaginoplasty adalah agenesis partial. Vagina yang bersangkutan hanya terbentuk sebagian.
Kelainan berikutnya adalah vagina “terbelah”. Vagina beraangkutan memiliki batas atas dan bawah yang disebut septum transversal, atau batas kiri dan kanan yang disebut septum longitudinal.
Ada pula kelainan berupa selaput dara tidak memiliki lubang. Istilah medisnya, hymen inferforata.
Satu lagi kelainan, labia atau bibir vagina terlalu lebar ataupun malah mengalami perlengketan satu sama lain.
Kelainan-kelainan tersebut umumnya terjadi secara genetik.
Diduga itu karena gangguan pertumbuhan semasa masih janin, ketika pembentukan organ-organ tubuh berlangsung.
Atau, pertumbuhan tidak sempurna pada fase selanjutnya.
Bisa juga akibat infeksi. Contohnya, keputihan menahun yang tidak diobati secara tuntas. Contoh lainnya, akibat persalinan terjadi penonjolan dinding vagina bagian depan (sistokel), pelebaran saluran vagina, atau pelebaran mulut vagina (vaginal introitus) akibat ruptura perinei atau perobekan perineum.
Grande multipara
Kemungkinan lain yang menjadi penyebab kelainan-kelainan tersebut adalah fistula.
Terjadi ketidaknormalan antara vagina dengan saluran cerna maupun dengan saluran kemih bawah yang membuat vagina jadi tercemar air kemih atau feses.
Normalnya, vagina dan lubang anus berjarak 0,5 cm sampai 2 cm.
Yang juga bisa dikedepankan sebagai indikasi medis untuk tindakan pemotongan otot-otot vagina adalah membantu para ibu yang pernah melahirkan banyak anak, lebih dari lima (grande multipara), secara normal. Atau, pernah melahirkan per vaginam bayi dengan berat lahir lebih dari 4.000 gram (giant baby).
Indikasi medis berikutnya adalah perempuan yang menderita prolapsus uteri atau turun berok.
Perempuan didiagnosis menderita turun berok bila dinding vagina bagian belakang dan bagian depan turun hingga berada di lubang vagina.
Kondisi ini tentu saja sangat menyiksa yang bersangkutan.
Mengapa dinding vagina bisa turun? Itu tak lain karena otot-otot penggantungnya sudah kendur dan menjadi sedemikian lemah “termakan” usia.
Rentan disalahgunakan
Ironisnya, meski secara medis vaginoplasty ditujukan untuk perempuan dengan kelainan dan kondisi-kondisi memprihatinkan seperti di atas, tak sedikit yang menjalani vaginoplasty justru demi mengejar kepuasan seksual.
Dengan otot-otot vagina dipotong, sangat mungkin vagina menjadi lebih sempit. Itu diidentikkan sebagai kepuasan bagi pihak suami jika mereka berhubungan intim.
Lalu, apakah si perempuan sendiri mengalami kepuasan seksual yang sama? Belum tentu!
Bisa jadi ia justru merasa sakit luar biasa. Bukankah karena pemotongan dan penjahitan kembali saat operasi membuat otot-otot vaginanya jadi tidak lentur?
Itulah mengapa, indikasi medis wajib dikedepankan untuk menjalani vaginoplasty.
Apalagi seperti tindakan bedah pada umumnya, sebelum menjalani vaginoplasty yang bersangkutan wajib menjalani rangkaian pemeriksaan. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, general check up yang mencakup pemeriksaan urine dan darah, tekanan darah, rontgen, maupun pemeriksaan ginekologis. (Puspayanti, kontributor)