Oleh ERIZELI JELY BANDARO
Pandemi ini sangat memukul pengusaha. Dari kelas kakap sampai kelas teri. Mari kita hitung sederhana kerugian kelas kakap. Pabrik pengolahan makanan. Sejak pandemi terpaksa berkerja satu shift. Bukan market tidak ada. Bukan karena pembatasan jam kerja. Bukan. Jadi apa? sulitnya dapatkan bahan untuk kemasan.
Maklum plastik sebagian besar kita masih impor dan China sebagai pemasok utama plastik mengurangi jam kerjaya. Mereka lebih utamakan pasar domestik akibat pengurangan produksi. Kalau margin 20% , kapasitas turun 2/3 maka itu sama saja makan modal. Bayangin kalau jumlah karyawan dan stakeholder ribuan. Kabayangkan ruginya.
Ada teman pedagang pakain dan aksesoris. Dia punya beberapa outlet di Mall. Dia juga punya jaringan restoran di mall. Selama Pandemi ini dia benar benar terpukul. Awal tahun 2021, semua outletnya di Mall tutup. Bukan hanya tutup sementara tetapi cutloss. Tutup selama lamanya. Bahkan dia tawarkan kalau ada yang mau beli outlet restoran dan cafe dia. Maklum sebelum pandemi, usahanya berkembang berkat kredit bank. Ketika pandemi cash flow seret akibat pembatasan jam kerja. Bisnis jadi kanibalisme, makan modal sendiri. Akhirnya tidak ada lagi tersedia cash flow untuk bertahan. Game is over.
Semua sektor tengkurep. Walau ada relaksasi dari pemerintah lewat PEN namun tidak menyelesaikan masalah. Karena yang dihajar itu bukan soal struktur bisnis tetapi jantung bisnis? apa itu ? Cash flow seret akibat market drop. Itu konsekuensi dari PSBB. Kensekuensi PKMM. Ibarat tubuh, cash flow itu aliran darah dari dan ke jantung. Kalau aliran darah seret ya hidup segan mati hanya masalah waktu saja.
Jadi kalau mau tahu berapa persen korban ekonomi akibat pandemi ini? Lihatlah data turunnya angka GNI kita. Sehingga Bank Dunia beralasan menurunkan status negara Indonesia dari kelompok negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income) pada 2019 menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income) pada 2020. Padahal Jokowi butuh waktu 5 tahun angkat status kita ke upper middle income, namun karena setahun pandemi, tumbang semua.
Ekonomi Indonesia itu suka tidak suka sangat tergantung kepada pasar domestik. Kalau ada goncangan eksternal, kita masih bisa bertahan. Tetapi kalau ada goncangan internal seperti pandemi atau chaos politik, maka itu cepat sekali mengkerutkan ekonomi kita. Makanya salah besar kalau di tengah pandemi ini, ada orang terdidik malah berusaha memicu terjadinya chaos politik dengan menebarkan aura pesimis. Itu benar benar menjadikan kita bangsa lemah dan tidak ada niat baik untuk bekerja sama memperbaiki situasi. Politisi yang menebarkan mudah menyalahkan dan berpikir negatif itu benar benar jahat.
Pandemi itu nyata dan korban juga nyata. Sebagai manusia yang berakal kalau ada masalah, maka kita harus berpikir positip. Kalau semua berpikir negatif maka masalah itulah yang akan menenggelamkan kita. Tetapi kalau kita berpikir positif, selalu ada peluang dibalik masalah. Yakinlah. Jangan dengar omongan politisi bermental kardus. Itu omongan loser atau pecundang. Anda percaya, anda sendiri yang akan korban. Tetap semangat dan percayalah kita akan baik baik saja selagi kita tetap bergandengan tangan sebagai bangsa.