REFLEKSI OLEH BELINDA GUNAWAN
Kepada teman-teman medsosku yang sepantaran anakku, keponakanku, bahkan cucuku,
Aku ingin menjelaskan sedikit, kenapa angkatan kami terkesan gagap teknologi. Itu karena kami adalah sekumpulan orang-orang tenang-menghanyutkan, yang betah berada di zona nyaman. Sementara di sisi lain teknologi berkembang demikian pesatnya sehingga sulit dikejar.
Di bidang komunikasi, contohnya. Dulu selama mungkin seratus tahun, hanya ada telepon rumah. Lantas keluar HP Nokia sebesar ulekan, HP merangkap kamera, si mungil Blackberry. Teringat tahun 2012, betapa aku berkutet dengan teknologi BB. Tapi berkat gigih, bisa juga. Waktu aku mau ganti HP anakku bilang, pilih yang Android saja karena BB sudah ketinggalan. Padahal aku sudah merasa nyaman dan piawai. Nyatanya aku ganti Android juga karena tuntutan zaman (buat aplikasi taksi online). Grup BBM punah, diganti grup WA.
Duluuuu kami mengetik tak-tok-tak-tok. Kursus mengetik menjaring banyak murid, khususnya wanita muda yang kepingin jadi sekretaris. Mesin tik Olympia atau Brother beberapa bulan sekali diservis. Dan untuk mengetes apakah semua tuts-nya oke kami mengetik “the quick brown fox jumps over the lazy dog,” yang lengkap memuat ke 26 huruf dalam alfabet. Btw setelah ada komputer tak ada lagi yang merasa perlu belajar mengetik 10 jari.
Komputer memaksa kami belajar menulis pakai Wordstar yang cukup rebyek (ingat “kontrol kb-kv-kk” dan perintah-perintah sejenisnya?). Teringat “masa susah” itu ketika penulis dan editor di kantor kami mulai memakai Wordstar. Sebentar-sebentar ada saja di antara kami yang memanggil bos IT kami, “Pak Amiiiiir…”
Lantas hadir internet dengan word wide web-nya. Muncul beragam media sosial. Mereka yang canggih mulai bisa membuat website, blog, vlog. Media komunikasi yang awalnya disebut portal kini mengganggu eksistensi media cetak. Tapi tanpa itu dari mana bisa kita membaca seruput-nya Denny Siregar atau tahu apa itu “salam kura-kura”? HP juga semakin canggih, hingga mungkin hanya aku yang mengakses Facebook melalui desktop.
Selain itu ada Skype, disusul teknologi video call yang membuat ortu dan anak, kakek nenek dan cucu tetap bisa saling menatap sekalipun terpisah samudera. Belum lagi zoom, duo, google meet dan sejenisnya yang membuat … misa dukacita pun bisa berlangsung online di masa pandemi ini.
Dan kami? Kami tetap generasi ortu kalian yang betah dan puas berada di comfort zone. Tidak sembarangan kami ketuk-sana-ketuk-sini bereksperimen. Itu karena kami takut, apa yang sudah kami kuasai sampai keringat dingin mengucur, mendadak amburadul hanya karena salah towel.
Sudah segitunya kami berusaha sampai kepontal-pontal, masih juga kalian juluki gaptek? Oh teganya.