Jika kita tak ingin dibandinbg-bandingkan, tak perlu kita membanding-bandingkan orang lain
Sebuah postingan tentang selebritis lewat timeline saya.
Kisah dua orang perempuan, satu mantan, satunya kekasih (terkini) seorang influencer atau kreator konten. Keduanya sedang dibandingkan dalam pertemuan mereka di sebuah even penghargaan. Tentu saja topik yang hangat tentang kecantikan atau penampilannya, toh itu yang tampak di kamera.
Komentar netizen tak jauh dari tipikal sang maha tahu, maha menilai. Padahal kita paham, tak ada skor penilaian, tiada ujian di situ. Keperluan konten tentu saja.Dan, dengan memosisikan seolah ikut simpati akan kejadian putus cintanya si mantan dan lelaki, netizen pun (dengan atau tanpa sadar) menjelek-jelekkan si kekasih sekarang.
Pertanyaan saya tentu saja, mengapa putusnya relasi seseorang berbuah masalah, toh kita juga tidak tahu bagaimana sesungguhnya hubungan mereka? Mengapa ikut bersimpati akan sesuatu yang tidak ada urusannya dengan hidup kita? Dan mengapa tiba-tiba netizen merasa ahli menjadi ‘juri’ kecantikan?
Jujur, mungkin saya dan pembaca tahu jawabannya. Semua demi konten, dan sebagai kreator konten semua seolah menjadi atau dianggap wajar. Meski kadang menjadi keterlaluan, dan tak semua figur publik mampu mengontrol emosi diri ketika berada dalam kondisi tersebut.
Dalam kasus lain yang hampir serupa, antara mantan dengan istri seorang penyanyi, sikap netizen hampir sama. Sepertinya membandingkan mantan dan yang sekarang, sangat seru untuk jadi topik pembicaraan. Dan kubu yang terbagi adalah siapa yang menyukai dan tidak.
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku membanding-bandingkan sudah ibarat kompetisi. Mulai dari cara melahirkan, ASI atau sufor, bekal makanan termasuk kotaknya, sekolah dan SPP-nya, termasuk bakat, minat, kursus apa yang diikuti dan prestasinya.
Semua diperlombakan antar saudara kandung, sepupu, dengan teman sekelas, kawan se-klub olahraga, bahkan dengan anak orang lain yang tak dikenal di media sosial.
Peliknya masalah membanding-bandingkan ini bila kita perhatikan seperti campuran perasaan iri hati, cemburu, atau sebaliknya malah digunakan untuk ‘menyerang’ seperti toxic positivity tidak bersyukurnya seseorang.
Perilaku sehari-hari tersebut akan menjadi sebuah problem, bila diwajarkan sebagai kebiasaan untuk ‘menyerang’ subyek yang dianggap tidak atau belum seperti yang kita bandingkan.
Meski tokoh pengasuhan paling ahli sudah mengingatkan untuk TIDAK melakukannya, omongan seperti, “Coba lihat si A, kok dia bisa kamu tidak. Padahal belajarnya sama.” Atau, “Mau sampai kapan kamu begitu, enggak bersyukur punya kondisi yang lebih baik. Coba lihat si B atau C yang lebih berkekurangan.”
Perbandingan Sosial dalam Definisi yang Terus Berkembang
Menurut definisi Buunk & Gibbons, perbandingan sosial merujuk perilaku manusia yang memperbandingkan aspek-aspek personal seperti perilaku, pendapat, status dan kesuksesan orang lain, dengan tujuan kita jadi bisa menilai diri sendiri.
Ahli lain, Festinger menyatakan, dengan melakukan perbandingan, seseorang akan bisa menilai diri sendiri, lalu berkembang menjadi proses memberdayakan dan meningkatkan performa diri.
Dari definisi tersebut, sesungguhnya akan baik sekali proses membanding-bandingkan itu bila DILAKUKAN oleh DIRI SENDIRI, dengan kesadaran agar MENJADI Orang yang Lebih Baik di segala aspek. Sayangnya yang terjadi, dilakukan oleh kita kepada orang lain, atau sebaliknya orang lain kepada kita.
Media Sosial Ajang Memperbandingkan Terkini
“Comparison is the death of joy”, Mark Twain sendiri mengakui hal itu. Ketika kita memperbandingkan sesuatu, kegembiraan perlahan menghilang. Ungkapan tersebut juga diamini oleh beberapa riset yang menemukan keinginan untuk saling membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menimbulkan rasa iri hati, rendahnya kepercayaan diri dan depresi.
Apalagi dengan munculnya media sosial dan eksistensi konten sebagai etalase diri terdepan. Istilah FYP atau For You Page, yang mendorong orang berlomba-lomba membuat konten agar muncul dalam rekomendasi TikTok. Belum lagi OOTD – Outfit Of The Day, atau Show your ….; tanpa sadar memaksa setiap pemilik akun untuk menjadi yang paling baik, yang sejujurnya tidak mengapa dan baik sebagai dorongan untuk menjadi versi terbaik .
Hanya saja ketika hal itu menjadi bahan perbandingan, dan yang dimaksud terbaik adalah versi orang lain yang tak selalu sesuai dengan diri kita; tanpa sadar kita mungkin ‘ikut’ atau menjadi follower saja arus tersebut. Candaan, “untung bukan tetanggaan” atau “sabar ya, tetangganya Disas” menjadi bukti kita pun akhirnya mengecilkan diri dari yang dibandingkan, dari cerita suksesnya, kecantikannya, barang yang dimiliki, atau kekasih dan keluarganya.
Buruknya Terbiasa Membandingkan Atau Dibandingkan
Sebagai kecenderungan bawaan manusia, kata Adam Galinsky dan Maurice Schweitzer, yang bisa membantu manusia mengenali diri dan (seharusnya) termotivasi, perilaku membanding-bandingkan atau sebaliknya, dibanding-bandingkan ini juga memiliki efek buruk dari sekadar menurunnya kepercayaan diri seseorang.
Salah satunya adalah memperburuk konsep diri, di mana kita akan selalu merasa tidak mampu. Menjadi orang yang apa-apa mudah mengeluh, mengabaikan potensi diri yang sebenarnya serta memiliki pola pikir yang sempit karena membatasi prestasi atau pencapaian hanya dengan orang yang dibandingkan. Jangan-jangan identitas diri kita pun lama-lama akan kita pertanyakan.
Posisikanlah kondisi tersebut bila kita menjadi orang tua. Akan tumbuhkah anak-anak menjadi sosok yang percaya diri? Akan berkembangkah potensi yang sebenarnya mereka miliki secara optimal?
Jadi,
Kalau sebagai anak, adik, kakak, teman, pacar, suami, istri, orang tua, kolega, pemimpin, kita tak pernah senang dibanding-bandingkan; ya sebaiknya kita tak melakukan hal itu juga kepada orang lain.
Mungkin perkataan Pablo Casals, seorang musikus berpengaruh abad 20, bisa menjadi bahan perenungan kita.
“Each second we live is a new and unique moment of the universe, a moment that will never be again. And what do we teach our children? We teach them that two and two make four, and that Paris is the capital of France. When will we also teach them what they are? We should say to each of them: Do you know what you are? You are a marvel. You are unique.
In all the years that have passed, there has never been another child like you. Your legs, your arms, your clever fingers, the way you move. You may become a Shakespeare, a Michaelangelo, a Beethoven. You have the capacity for anything.
Yes, you are a marvel. And when you grow up, can you then harm another who is, like you, a marvel? You must work, we must all work, to make the world worthy of its children.”